Ada yang
rutin ditemukan pada ‘khazanah’ tradisi di Indonesia selama mengisi
sepuluh hari bulan Muharram. Na’am, beberapa perhelatan massal kerap
ditemui rutin di beberapa kota besar. Acara yang digelar tiap tahunnya ini
diikuti oleh hampir sebagian besar umat muslim, baik di perkotaan maupun di
pelosok dengan usungan tradisi yang berbeda-beda nama. Sebut saja dua macam
yang mewakilinya, yaitu perayaan Tabot di Bengkulu dan perayaan Tabuik di
Padang, Sumatera Barat.
Dua jenis
tradisi ini sangat dikenal di masyarakat dan selalu menyedot antusias
masyarakat. Uniknya, hal ini sudah dibakukan menjadi salah-satu ‘aset’ yang
memiliki nilai daya-jual dalam mengundang minat para wisatawan agar bertandang
ke daerah yang telah mencanangkan diri sebagai tujuan obyek wisata tersebut.
Wajar bila instansi pemerintah yang terkait, juga ‘turun-tangan’ dalam program
yang bisa mendongkrak popularitas budaya dan pariwisata daerahnya tersebut.
Hal ini
sesuai pernyataan Kadin Perhubungan Komunikasi & Informatika—Eko
Agusrianto, seperti yang dilansir ANTARA Bengkulu (rabu, 7/11/2012), bahwa
pemerintah propinsi Bengkulu menyediakan dana sebesar 800 juta rupiah untuk
membantu pemerintah kota Bengkulu dalam menggelar festival Tabot, dikatakannya,
“Seperti tahun sebelumnya, pemerintah propinsi Bengkulu dan pemerintah kota
Bengkulu akan berperan maksimal untuk menyukseskan agenda tahunan ini.” Festival
yang akan diadakan pada 14-24 November 2012 tersebut memang diharapkan mampu
untuk mengangkat khazanah budaya dan pariwisata di Bengkulu.
Serupa
dengan Bengkulu yang tengah bersiap mempercantik daerahnya, perayaan
Tabuik juga dikatakan selalu ‘laku’ dalam menarik minat masyarakat. Terbukti
dari setiap tahunnya, perayaan bernuansa religi ini tak pernah sepi
kunjungan. Konon, dahulunya perayaan yang sudah dimulai tahun 1824 ini
dilakukan oleh para pedagang Islam yang berasal dari Aceh, Bengkulu, India,
bahkan negeri Arab.
Berikut
sedikit info tentang kedua perayaan massal tersebut;
Perayaan
Tabot
Selain itu,
yang lain mengatakan pula bahwa adat tersebut diperkenalkan oleh para ahli
bangunan yang saat itu bekerja dalam membangun benteng Marlbourght di
Bengkulu. Mereka yang juga disebut masyarakat Sipai, berasal dari daerah Madras
dan Bengali. Dari sebagian mereka yang ‘kerasan’ berkehidupan di Bengkulu lah
tradisi perayaan Tabot bermula.
Kata ‘Tabot’
berasal dari bahasa Arab yaitu التَّابُوْتُ yang berarti sebuah kotak
atau peti. Seperti tertera keterangan di surat al-Baqarah di ayat ke-248 bahwa
tabut adalah sebuah peti yang berisikan kitab Taurat yang dapat membawa
ketenangan kepada kaum nabi Musa as yaitu bani Israil. Kala itu bani Israil
sangat mempercayai bahwa tabut akan mampu memberikan kebaikan selama berada di
kekuasaan pemimpin mereka, namun bila tabut itu raib, maka kegoncangan dan
bala-bencanapun diyakini akan menimpa kehidupan mereka. Oleh karena itulah,
mereka amat menjaga tabut ini dan menjadikannya sebuah ritual hingga kini.
Di setiap
perayaannya, jumlah tabut yang diusung tak hanya satu, namun bisa mencapai
puluhan yang biasanya terdiri dari belasan peti yang dianggap sakral dan
puluhan peti yang dikreasikan dengan bentuk bebas. Yang menjadi daya-pikatnya
adalah kemasannya yang sangat attractive dan dibentuk sedemikian rupa
dengan berbagai ornamen warna-warni yang amat mencolok-mata—membuat center-piece
inipun disukai masyarakat yang tetap mengikutinya hingga perayaan berakhir.
Selain itu,
pengarakan tabut-tabut yang penuh kemeriahan inipun disandingkan dengan
perayaan hari kematian Husain bin Ali bin Abi Thalib, salah-seorang cucu
Rasulullah saw yang tewas pada 10 Muharram 681 M dalam menghadapi pasukan
Ubaidullah bin Ziyad di daerah Padang Karbala, Irak.
Diyakini
oleh masyarakat Bengkulu yang aktif mengikuti perayaan ini bahwa perayaan Tabot
memiliki ragam nilai, baik dari segi agama, sejarah, sosial, maupun budaya.
Ditilik dari sudut agama katanya ritual ini merupakan ikut bersuka-citanya akan
kehadiran bulan Muharram, selain itu menanamkan rasa cinta sekaligus duka-cita
yang mendalam atas terbunuhnya Husain ra. Dari sudut sejarah, ia mengingatkan
akan peristiwa Asyuro’ di Padang Karbala yang sangat menyayat hati dan
mengundang kemurkaan. Sementara jika dilihat dari sisi sosial, perayaan Tabot
dipercaya dapat menumbuhkan sikap kebersamaan serta rasa solidaritas yang
tinggi. Dan untuk sisi budaya, ia merupakan aset kebanggaan yang menjadi
salah-satu ciri perkembangan tradisi di Bengkulu sejak ratusan tahun lalu.
Karena
ditinjau dari alasan itulah, maka kegiatan tahunan ini juga mendapat perhatian
serius dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata propinsi Bengkulu. Seperti
dikatakan Buyung Asril–sekretaris dinas lembaga pemerintah daerah tersebut yang
dilansir Info Publik (5/12/2011) bahwa festival Tabot tersebut sudah mendapat
dukungan lembaga pemerintah setempat yang salah-satu bentuk dukungannya adalah
dengan penggalangan dari sudut promosi untuk disyiarkan melalui media massa
sehingga gaungnya semakin meluas. Dikatakannya pula bahwa perayaan Tabot
menjadikan adanya ‘hubungan emosional’ dengan dunia internasional, yaitu
Irak dengan sejarah tragedi di Padang Karbalanya dan Iran dengan pesta
Asyura’nya.
Perayaan
Tabuik
Adapun
ritual yang terdapat di dalam perayaan Tabuik ini diantaranya adalah upacara Maatam
Panja yang dilaksanakan tanggal 7 Muharram dan ditunaikan setelah sholat
dzuhur. Ritual ini dikerjakan dengan mengitari sebuah daraga sambil
menangis sebagai tanda duka-cita atas terbunuhnya Husein ra. Ada pula ritual
Maarak Panja, yaitu pengarakan sebuah kubah yang terbuat dari bambu dan
kertas, dimana kertas ini digambari jari-jari yang terputus, yang diseolahkan
jari-jari Husein ra yang telah dipotong pada peristiwa Karbala. Kubah tersebut
akan diarak mengelilingi kampung dan mengisyaratkan kesedihan akan tewasnya
cucu Rasulullah tersebut. Kemudian di keesokkan harinya ada ritual Maarak
Sorban, yaitu pengarakan yang menggambarkan peristiwa kepala Husein ra yang
telah dipenggal dan juga memperlihatkan kekejaman Yazid bin Muawwiyah.
Sedianya,
bangunan-bangunan bambu tersebut diusung hingga ke laut untuk dihanyutkan di
hari terakhir yaitu hari ke-10 Muharram, bertepatan ketika waktu adzan maghrib
dikumandangkan. Perhelatan ini tentu saja selalu membuat suasana kota ‘tanduk
kerbau’ itu menjadi ramai bahkan padat karena kunjungan. Momen ini juga
dimanfaatkan sebagian besar pedagang untuk menjajakan barang dagangan yang
mereka beroleh laba karenanya. Para pedagang tampak bersemangat atas hasilnya
yang lumayan karena padatnya pengunjung, sehingga merasa adanya ‘berkah’ dari
perayaan ini. Apalagi ritual terakhir Hoyak Tabuik yang sisa-sisanya
menjadi obyek rebutan massa karena dianggap dapat mendatangkan berkah dan bisa
dijadikan ‘penglaris’. Dari sisi lain, salah-seorang tokoh masyarakat kota
Pariaman—H. Bagindo Fahmi, menyatakan bahwa perayaan Tabuik merupakan
salah-satu tradisi kebanggaan untuk masyarakatnya, bahkan dikatakannya pula
bahwa tradisi tersebut telah menjadi alat pemersatu bagi masyarakat daerah
tersebut sehingga dibuat komitmen agar tradisi perayaan Tabuik sejatinya akan
terus langgeng.
Pesta
Asyura’
Hari Asyura’
merupakan hari dimana dahulunya Allah Ta’ala telah menyelamatkan nabi Musa as
dari kejaran Fir’aun la’natullah beserta bala-tentaranya. Sebagai rasa
syukurnya, nabi Musa as melakukan shaum pada tanggal tersebut, yaitu 10
Muharram. Mengenai perihal ini, terdapat satu hadits yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Abbas ra,
Artinya,
”Sewaktu Rasululloh saw tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang
Yahudi shaum pada hari Asyura’. Lalu beliau bertanya, “Apakah ini?” Mereka
menjawab, “Hari ini adalah hari yang baik, hari yang Allah telah selamatkan
bani Israil dari musuh mereka. Kemudian, nabi Musa shaum. Lalu Rasululloh saw
bersabda, “Aku lebih berhak terhadap nabi Musa dari kalian (orang Yahudi)”.
Kemudian, beliau shaum dan memerintahkan (para sahabat) supaya berpuasa pada hari
tersebut.” (HR. Bukhari-Muslim)
Abu Qatadah
menyebutkan bahwa Rasulullah saw juga bersabda,
وَصِيَامُ
يَوْمِ عَاشُرَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي
قَبْلَهُ
Artinya, “Dan
( dalam) shiyam hari Asyura’, aku berharap kepada Allah agar hal itu dapat
menebus dosa dari tahun yang sebelumnya.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Dari
keterangan tersebut, maka jelaslah apa-apa yang seharusnya dikerjakan umat
muslim dalam upayanya mencontoh kehidupan Rasulullah berkenaan dengan tanggal
10 Muharram. Tidak ada satupun perayaan khusus atau peribadahan ritual yang
disandarkan kepada adat dan kebiasaan yang ada di daerah mereka seperti yang
biasa dirutinkan. Semuanya harus kembali kepada pakem apakah Rasulullah
mencontohkannya atau tidak. Bila ternyata tidak, umat harusnya berhati-hati
karena hal itu merupakan perangkap setan yang bisa mengundang laknat Allah azza
wa jalla. Naudzubillahi min dzaalika.
Bentuk
kebid’ahan yang paling pamor di bulan Muharram ini, yang menyesatkan dan sudah
berlangsung lama diantaranya adalah perayaan hari Asyura’ yang diadakan
oleh pemeluk agama Syi’ah (dimana mereka selalu menisbatkan-diri termasuk ke
dalam golongan muslim). Mereka menganggap bahwa hari Asyura’ adalah hari
berkabung atas kematian Husain ra. Di saat itu mereka akan mengungkapkan
kesedihannya dengan menangis seraya menampar-nampar wajah mereka sendiri,
merobek-robek pakaiannya, hingga mereka tak segan-segan melukai diri mereka
sendiri dengan berbagai alat yang bisa melukai, seperti cambuk, rantai besi,
pedang, dan sebagainya. Mereka menganggap dengan berprilaku begitu akan bisa
turut merasakan penderitaan dan kesakitan yang dialami cucu Rasulullah
tersebut.
Bagi pemeluk
agama Syi’ah, peristiwa terbunuhnya Husein ra merupakan peristiwa besar yang
sangat digung-agungkan. Begitupun dengan Padang Karbala yang telah dijadikan
tempat sakral mereka dalam melakukan peribadahan melebihi kota Mekkah dan
Masjidil Haram. Mereka justru lebih memuliakan tempat itu ketimbang dua tempat
yang telah dimuliakan Allah Ta’ala tersebut.
Ritual yang
dilaksanakan di hari Asyura’ yang mereka yakini diantaranya dengan mengenakan
busana berwarna hitam dengan saling mengucapkan kalimat bela-sungkawa yang
ditujukan kepada Husain ra. Mereka mengadakan Manakib Husainiyah atau
aksi arak-arakan kubah Husain yang terbuat dari kayu ke jalan-jalan sambil
melakukan niyahah. Sesekali terdengar teriakan keras mereka memekikkan
nama Husain ra. Sementara itu bagi mereka yang kebetulan membawa-serta
anak-anaknya, tampak mengajarkan ritual itu agar anak-anak tersebut dapat turut
menangis saat mengikuti jalannya prosesi. Seorang ulama’ Syi’ah dalam Man
Qatalal Husain menyatakan bahwa meratapi kematian Husein ra dengan
berteriak-teriak, hukumnya wajib ‘ain.
Para
penganut Syi’ah dewasa yang ekstrimis biasanya unjuk ‘keberanian’ dengan
melukai anggota tubuh mereka sendiri hingga mengalirnya darah. Aksi ekstrim
yang biasanya dilakukan di daerah Karbala ini, mereka tunaikan sebagai bentuk
ikut merasakan penderitaan Husain yang terluka kala itu. Ayatullah al-’Uzhma
Syaikh Muhammad Husain an-Nati dalam Man Qatalal Husain hal. 65
mengatakan, “Tidak ada masalah tentang hukumnya menampar pipi dan dada
dengan tangan sampai memerah dan menghitam. Dan lebih ditekankan lagi memukul
pundak dan punggung dengan rantai hingga kulit menjadi kemerahan dan gosong.
Bahkan lebih ditekankan lagi jika hal itu sampai mengeluarkan darah dari kening
dan puncak kepala dengan menggunakan pedang.”
Ritual
penyiksaan ini biasanya terlaksana di negara-negara yang penganut Syi’ahnya
mencapai jumlah mayoritas, seperti Iran, Irak, dan India. (Tidak tertutup
kemungkinan kelompok Syi’ah di Indonesia akan menunaikan bentuk penyiksaan diri
seperti demikian, apalagi isyu berkembangnya aliran sesat ini kian santer di
negara yang mayoritas berpenduduk muslim ini).
Di
tengah-tengah perayaan Asyura’ itu, mirisnya mereka juga tak ketinggalan
memaki-maki para khulafaur rasyidin yang amat dicintai Rasulullah saw.
Wal ‘iyadzubillahi.
Dalam
menyambut hari Asyura’ juga beredar hadits-hadits maudhu’, diantaranya
yang berbunyi, “Barangsiapa yang memakai celak di hari Asyuro’, maka ia
tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu.” Atau hadits lain berbunyi,
“Barangsiapa yang melebihkan nafkah bagi keluarganya di hari Asyura’, maka
Allah akan melapangkan rezekinya selama setahun itu.”
Penganut
Syi’ah juga menganggap hari Asyura’ sebagai hari penuh kesialan. Oleh karena
anggapan itu, maka mereka banyak menunda berbagai aktivitasnya, seperti menunda
pernikahan, tidak melakukan safar, tidak berpakaian bagus, dan sebagainya.
Riwayat
shohih tentang peristiwa Karbala
Riwayat yang
paling shohih berikut ini dibawakan oleh Imam al-Bukhari, no.3748:
Dia
mengatakan, “Kepala Husein ra dibawa dan didatangkan kepada Ubaidullah bin
Ziyad. Kepala itu ditaruh di bejana, lalu Ubaidullah bin Ziyad menusuk-nusuk
(dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husein. Anas
ra mengatakan, “Diantara ahlul bait, Husein adalah orang yang paling mirip
dengan Rasulullah. Saat itu Husein disemir rambutnya dengan wasmah ( tumbuhan
sejenis pacar yang warnanya condong ke warna hitam ).”
Kisahnya,
Husein bin Ali bin Abi Thalib tinggal di Mekah bersama beberapa para sahabat
seperti Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Zubair. Ketika Muawwiyah meninggal dunia pada
tahun 60 Hijriyah, anak beliau Yazid bin Muawwiyah menggantikannya sebagai
khalifah. Saat itu penduduk Iraq yang didominasi oleh pengikut Ali ra menulis
surat kepada Husein untuk meminta beliau berpindah ke Iraq. Mereka berjanji
akan membai’at Husein sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazid
bin Muawwiyah menjadi khalifah. Ternyata tidak hanya melalui surat, mereka pun
terkadang mendatangi Husein di Mekah dan mengajak beliau untuk berangkat ke
Kuffah dan berjanji akan menyediakan pasukan.
Para sahabat
seperti Ibnu ‘Abbas kerap kali menasehati Husein agar tidak memenuhi keinginan
mereka, karena ayah Husein, Ali bin Abi Thalib juga dibunuh di Kuffah sehingga
Ibnu ‘Abbas mengkhawatirkan keselamatan Husein pula. Namun Husein mengatakan
bahwa ia telah melaksanakan sholat istikharoh dan telah memutuskan akan
berangkat ke Kuffah. Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau mengambil
keputusan itu karena belum mendengar bahwa sepupunya yaitu Muslim bin ‘Aqil
telah dibunuh di tempat itu juga. Akhirnya berangkatlah Husein dan keluarganya
menuju ke Kuffah.
Sementara di
pihak lain, Ubaidullah bin Ziyad diutus oleh Yazid bin Muawwiyah untuk
mengatasi pergolakan di Iraq. Akhirnya Ubaidullah dan pasukannya berhadapan
dengan Husein yang sedang berada dalam perjalanan bersama keluarganya menuju
Iraq. Pergolakan itu sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan
Husein. Dua pasukan yang tidak imbang ini bertemu di Karbala, sementara
orang-orang Irak yang membujuk Husein untuk membantu dan menyiapkan pasukan
justru melarikan diri meninggalkan Husein dan keluarganya untuk berhadapan
dengan pasukan Ubaidullah. Hingga akhirnya terbunuhlah Husein sebagai orang
yang terzhalimi dan dalam keadaan syahid. Kepalanya lalu dipenggal dan dibawa
ke hadapan Ubaidullah bin Ziyad kemudian diletakkan di dalam bejana. Ubaidullah
yang tidak pernah diperintahkan untuk membunuh Husein ini pun lalu
menusuk-nusukkan pedangnya ke hidung, mulut, dan gigi Husein, padahal disana
ada Anas bin Malik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami. Melihat perbuatan
yang sangat tak manusiawi itu, Anas ra lantas mengatakan,
“Singkirkan
pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah mencium
mulut itu!” Mendengar
kata-kata Anas ra, Ubaidullah pun marah lalu mengatakan, “Seandainya aku
tidak melihatmu sebagai seorang-tua yang telah renta dan yang akalnya sudah
rusak, maka pasti kepalamu akan kupenggal!” Dalam riwayat At-Tirmidzi dan
Ibnu Hibban dari Hafshah binti Sirrin dari Anas ra dinyatakan, “Lalu
Ubaidullah mulai menusuk-nusukkan pedangnya ke hidung Husein ra.”
Adapun
riwayat palsu yang beredar tentang peristiwa ini menyatakan bahwa kepala Husein
diarak dan diletakkan di depan Yazid bin Muawwiyah. Ini sesuatu yang mustahil,
sebab saat itu Yazid bin Muawwiyah berada di negeri Syams, sedangkan peristiwa
yang menimpa Husein terjadi di Karbala, Irak. Sementara itu dikatakan
pula bahwa kaum perempuan dari keluarga Husein disebutkan diarak dengan
kendaraan tanpa pelana dan ditawan. Ini hanyalah kisah dusta yang
ditambah-tambah penganut Syi’ah semata. Tak cukup hanya merubah dan menambah
sehingga bercampur dengan cerita fiktif tentang peristiwa Karbala, mereka pun
nekat menyusun hadits-hadits maudhu’ untuk mendukung sikap ghuluw
mereka terhadap Husein ra.
Syaikhul
Islam rahimahullah telah membagi tiga kelompok manusia dalam kaitannya
menyikapi tragedi Karbala, yaitu:
1. Kelompok
yang menyatakan secara terang-terangan bahwa tragedi pembunuhan itu layak
diterima Husein ra karena adanya anggapan bahwa Husein ra telah memberontak
kepada Yazid bin Muawwiyah yang tengah berkuasa saat itu. Begitu juga dengan
tuduhan kelompok ini bahwa Husein ra berniat memecah-belah umat. Oleh sebab itu
kelompok ini selalu membawa hujjah sebuah hadits dari Rasulullah yang
berbunyi:
مَنْ
جَاءَكُمْ وَ أَمْرُكُمْ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يُفَرِّقَ
جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ.
Artinya, “Jika
ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu
kepemimpinan, lalu datanglah seseorang yang akan memecah-belah jama’ah kalian,
maka bunuhlah ia.” (HR. Muslim)
2. Kelompok yang sangat taklid
kepada Husein ra sehingga mengatakan bahwa keta’atan adalah dibawah perintah
Husein ra. Kelompok yang sangat mendewakan Husein ra ini dipimpin oleh Muchtar
bin Abi ‘Ubaid yang kemudian menugaskan pasukannya untuk membunuh dan memenggal
kepala Ubaidullah bin Ziyad.
3. Kelompok
yang menghormati Husein ra sebagai seorang ahli bait yang sholih dan menepis
tudingan kelompok pertama yang menghujat Husein ra sebagai pemberontak.
Kelompok ini berkeyakinan bahwa Husein ra tewas dalam keadaan dizhalimi dan
mendapat kesyahidan. Syaikhul Islam rahimahullah dalam Minhajus Sunnah
(IV/550) mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa Husein ra terbunuh
dalam keadaan terzhalimi dan syahid. Pembunuhan terhadapnya merupakan bentuk
kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya dari para pelaku pembunuhan dan
orang-orang yang membantunya. Selain itu, ini merupakan musibah yang menimpa
kaum muslimin, keluarga Rasulullah, dan yang lainnya. Husein ra berhak
mendapatkan gelar asy-syahid, kedudukan, serta derajat yang tinggi.
Kelompok ketiga inilah yang merupakan golongan ahlussunnah wal jama’ah.
Petunjuk
Allah Ta’ala ketika musibah menimpa seorang muslim
Dalam
tuntunan Allah Ta’ala yang telah disampaikan melalui Rasulullah saw, ada
beberapa yang seharusnya dijadikan rujukan bagi setiap muslim dalam menghadapi
sebuah musibah, misalnya kematian keluarga atau kerabat. Diantaranya adalah
firman-Nya,
Artinya, “Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan, ‘Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun’. Mereka itulah yang
mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka
itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Baqarah, 2:155-157)
Dalam Tafsir
Ibnu Katsir jelas dijabarkan bahwa Allah Ta’ala telah memastikan bahwa
setiap hamba akan menerima ujiannya masing-masing. Ujian tersebut kadang berupa
kebaikan dan kadang berupa keburukan yang sangat tidak disukai oleh seorang
hamba. Namun Allah Ta’ala juga memberikan petunjuk bahwa hanya orang-orang yang
bersabarlah yang akan beroleh kegembiraan, yaitu berupa pahala keberkahan yang
sempurna dan rahmat-Nya. Sebaliknya, bila ujian itu membuat hamba tersebut
selalu berkeluh-kesah, menyesalinya, bahkan bersuudzhon kepada Allah Ta’ala,
maka kemurkaan dan kerugianlah yang diperolehnya.
Dalam ayat
tersebut juga diperintahkan apabila seorang hamba tertimpa musibah, maka
disunnahkan membaca kalimat istirja’ yaitu ucapan “Innaa lillahi wa
innaa ilaihi raaji’uun”. Perbuatan ini memiliki nilai pahala di sisi Allah
azza wa jalla, yaitu seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah ra yang
mendengar Rasulullah bersabda,
مَا مِنْ
عَبْدٍ يُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ: إِنَّا لِلَّهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُوْنَ, اَللَّهُمَّ أَجِرْنِيْ فِي مُصِيْبَتِيْ وَ أَخْلُفْلِيْ خَيْرًا
مِنْهَا إِلاَّ ىاَجَرَهُ اللهُ فِيْ مُصِيْبَةِ وَ أَخْلَفَ لَهُ خَيْرَا مِنْهَا.
Artinya,
“Tiada seorang hamba yang mendapat musibah, lalu dia mengucapkan “Innaa lillahi
wa innaa ilaihi raaji’uun, Ya Allah, berilah aku pahala disebabkan musibah ini
dan gantilah ia dengan yang lebih baik daripadanya.” melainkan Allah memberinya
pahala atas musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya.”
(HR. Muslim)
Kemudian
Imam Ahmad meriwayatkan dalam sanadnya dari Husein bin Ali dari Rasulullah saw,
bahwa beliau pernah bersabda,
Artinya,
“Tiada seorang muslimpun, baik laki-laki maupun perempuan yang mendapat
musibah, lalu dia mengingatnya sesudah lama berlalu, kemudian membaca kalimat
istirja’ meskipun sudah berlalu lama, melainkan Allah akan memeberinya kembali
pahala bacaan yang sama dengan pahala bacaan ketika musibah itu pertama-kali
terjadi.” (HR. Imam Ahmad)
Rasulullah
pun sudah tegas dalam sabda lainnya yang melarang perbuatan yang bukan
mencerminkan sikap sebagai seorang muslim, yaitu
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْحُدُوْدَ وَ شَقَّ الْجُيُوْبَ وَ دَعَا بِدَعْوَى
الْجَاهِلِيَّةِ.
Artinya, “Tidak
termasuk golongan kami—orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju, dan
berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Merujuk
kepada ayat dan hadits-hadits Rasulullah diatas, jelas perbuatan penganut
Syi’ah yang selalu menisbatkan-diri kepada Islam itu tidak sejalan dengan
petunjuk dien Islam. Ritual yang mereka jalankan berupa menangis histeris,
memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, penyiksaan diri dengan melukai anggota
tubuh, mengucapkan kalimat-kalimat penuh kemarahan, dan sebagainya yang
terlarang merupakan cerminan sikap mereka yang berkiblat kepada adab-adab
jahiliyah. Selayaknya seorang muslim sudah sangat bisa memahami keyakinan
mereka yang sesat sebab perihal ini sudah sangat nyata dan gamblang Allah
Ta’ala sampaikan, baik melalui firman-Nya maupun hadits rasul-Nya. Bukan malah
ikut-ikutan apalagi memfasilitasi ritual sesat tersebut. Kenyataan ini memang
memprihatinkan, dimana kesesatan dianggap tradisi, lalu tradisi lebih mendapat
pengayoman sehingga dirasa patut untuk dijaga kelestariannya.
Dalam
menyambut hari Asyura’, Rasulullah mencukupkan diri dengan melaksanakan shaum
sunnah. Tidak ada perintah lain dan tambahan-tambahan perayaan didalamnya
sehingga tidaklah layak kita membuat-buat dalil yang justru menyelisihinya,
karena sebaik-baik pedoman bagi umat Islam adalah kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk rasul-Nya, yang tidak ada petunjuk
selainnya kecuali hanya dengan berpegang-teguh kepada kedua hal tersebut.
Selayaknya umat Islam hidup dengan mengikuti pemahaman para sahabat, tabi’in
dan tabi’ut-tabi’in. Berhati-hatilah terhadap bid’ah karena tak ada
balasannya melainkan an-Naar. Naudzubillahi min dzaalika.
Demikian,
semoga memberi manfaat.
Walhamdulillahi
Robbil ‘alamiin…
Oleh :
Ustadz Abu Jibriel Abdul Rahman
- See more
at:
http://www.arrahmah.com/read/2012/11/27/25075-pesta-kematian-padang-karbala.html#sthash.4rR89DtM.dpuf