JAKARTA (Arrahmah.com)
– Presiden SBY
menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi pada 21 Juli 2014 lalu. Dalam PP tersebut pengakhiran kehamilan
secara sengaja (aborsi) alias membunuh janin diperbolehkan dengan beberapa
syarat antara lain korban perkosaan.
“Tindakan
aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling
lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir,” bunyi Pasal 31
ayat (2) PP ini.
Sejumlah
kelompok yang tidak setuju mempermasalahkan legalisasi praktik aborsi.
“Aborsi sama
saja dengan menghilangkan hak hidup seseorang. Alasan pelaku adalah korban
pemerkosaan, tidak bisa menjadi legitimasi bagi tindakan aborsi,” kata Wakil
Ketua Komisi IX DPR, Irgan Chairul Mahfiz, tulis Harian Terbit, di Jakarta,
Senin (11/8/2014).
Menurutnya,
PP ini justru bisa berpotensi menjadi celah untuk melakukan aborsi dengan
alasan atau berpura-pura sebagai korban pemerkosaan. “Karena itu, legalisasi
aborsi bagi wanita korban pemerkosaan kurang tepat,” ujarnya
Saat
dimintai konfirmasi terkait PP tersebut, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes),
Ali Ghufron Mukti, enggan memberi berkomentar. Dia beralasan, komentarnya nanti
dikhawatirkan menjadi permasalahan. “Nanti jadi polemik. Tunggu saja penjelasan
resmi dari Kemenkes dalam waktu dekat yang akan disampaikan Ibu Menteri
Kesehatan (Menkes),” ucapnya singkat.
Kemenkes
masih susun aturan
Direktur
Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Anung
Sugihantono, dikutip dari Antaranews.com, menyatakan masih banyak peraturan
pendamping yang harus disusun sebelum PP No.61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi
atau yang sering dijuluki “PP Aborsi” karena memuat tentang pasal pengakhiran
kehamilan itu berlaku.
“Secara
operasional PP itu masih membutuhkan sekitar lima permenkes (Peraturan Menteri
Kesehatan) yang sedang dalam penyusunan,” kata Anung.
Anung juga
menegaskan bahwa PP itu bukan hanya mengatur mengenai aborsi namun
menitikberatkan terhadap kesehatan reproduksi mulai dari masa sebelum
kehamilan, masa kehamilan, melahirkan dan paska melahirkan.
“Di dalam PP
itu memang diatur satu dua pasal tentang kegiatan pengakhiran kehamilan terkait
perkosaan dan lainnya,” ujar Anung.
Sebelum
dapat dilaksanakan, PP tersebut membutuhkan peraturan turunan yang saat ini
sedang disiapkan oleh Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan pemangku
kepentingan lainnya.
“Kemenkes
mungkin ada sekitar empat permen (peraturan menteri) yang harus disiapkan,
Kementerian Pendidikan juga akan menyusun peraturan untuk memasukkannya
(kesehatan reproduksi) ke kurikulum,” kata Anung.
Para
akademisi dan praktisi kesehatan juga diminta untuk dapat menyiapkan substansi
yang dibutuhkan dalam penyusunan peraturan-peraturan tersebut, termasuk
sosialisasi kepada masyarakat yang akan disampaikan melalui jalur komunikasi,
informasi dan edukasi baik menggunakan pendekatan formal (pendidikan) maupun
informal.
“Tapi itu
akan didalami lagi, siapa saja yang bisa memberikan opini untuk mengakhiri
kehamilan, baik dari segi kesehatan maupun lainnya seperti agama. Tapi kita
(Kementerian Kesehatan) konsentrasinya di pelayanan kesehatan seperti standar
tenaga kesehatan yang boleh, fasilitas apa yang bisa,” terang Anung. (azm/arrahmah.com)
- See more
at: http://www.arrahmah.com/news/2014/08/12/pp-no-612014-legalisasi-aborsi-untuk-korban-perkosaan.html#sthash.p0Dopl7e.dpuf