Tuntutan
pembubaran Densus merebak dimana-mana dan diserukan berbagai kalangan. Ini
terutama setelah kedatangan Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin ke
Mabes Polri (28/2) dengan membawa video kekejaman Densus kepada 18 umat Islam
di Poso. Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane dalam rilisnya (Sabtu
2/3) juga menyarankan agar Densus 88 dibubarkan dan personilnya yang terlibat
penyiksaan diadili sebagai pelaku tindak pidana penyiksaan. Bahkan saran Neta
sudah disampaikan di depan para kasat Brimob se Indonesia di Watukosek Jawa
Timur Februari lalu. Kabarnya Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin juga mendukung
usulan pimpinan Ormas Islam untuk pembubaran Densus 88 tersebut.
Permintaan-permintaan
Pembubaran Densus 88
Dalam acara
“Diskusi Pemberantasan Terorisme tanpa Teror dan Pelanggaran HAM” yang
diselenggarakan PP Muhammadiyah di Markas PP Muhammadiyyah Jl Menteng Raya
Kamis 11 April lalu menggambarkan tuntutan pembubaran itu secara lebih
signifikan. Sebab diskusi tersebut menghadirkan berbagai kalangan baik sebagai
pembicara di depan maupun peserta diskusi.
Tampak hadir antara lain sebagai pembicara KH. Adnan Arsal tokoh ulama
dari Poso, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar, Ketua PBNU dan
juga Ketua MUI KH. Slamet Efendi Yusuf, komisioner Komnas HAM Siane Indriyani.
Adapun di barisan peserta hadir Sekjen FUI KH M al Khaththat, Ketua BKSPP yang
juga Ketua MUI KH Cholil Ridwan , Sekjen MIUMI Ustadz Bachtiar Nasir, dan wakil
Amir Majelis Mujahidin Ustadz Abu Jibril, Ketua PP Syarikat Islam Ustadz Mufti,
Pegiat CIIA Haris Abu Ulya dan beberapa kawannya dari aktivis HTI .
Kehadiran
para tokoh itu membuat Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar cukup
kewalahan menghadapi berbagai pertanyaan dan pernyataan tuntutan baik dari
pembicara lain maupun dari peserta diskusi. Prof Dr. Din Samduddin dalam
pengantar pembukaannya mengatakan bahwa tidak ada akar terorisme dalam Islam.
Prof. Din mengutip firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Al Maidah 32.
Kesalahan fatal dari War on Terrorism
(WOT) yang dilakukan oleh George W Bush yang didukung oleh Blair dan PM
Australia adalah melakukan atribusi, mengaitkan dengan Islam, dan stigmatisasi.
Prof. Din mengkritik cara pembantaian terorisme seperti yang dilakukan di
Poso. Din mengingatkan kasus pembantaian
umat di Pesantren Muhammadiyyah Wali Songo oleh ribuan kaum Kristen yang merupakan
cikal bakal kasus poso.
Ketua PBNU
dan juga Ketua MUI KH Slamet Efendi Yusuf mengatakan bahwa pembentukan Densus
88 Anti Teror dibentuk berdasarkan peristiwa bom bali. KH Slamet mengatakan
bahwa nama Densus 88 itu dari jumlah
orang Australia yang meninggal dalam
kasus bom Bali. Dan apalagi sebagimana pengakuan Polri bahwa Densus 88
mendapatkan pelatihan anti teror dari AS dan Australia. Slamet menilai bahwa
ada masalah dalam pemberantasan terorisme.
Gejalanya terlihat dalam motif dan sasaran yang dulu adalah sasaran
Barat seperti kasus Bom Bali, Mariot, dan Kedubes Australia, tapi sekarang
sasarannya adalah aparat seperti kasus Poso dan Solo. Oleh karena itu, Slamet
mengusulkan agar keberadaan densus 88 ini dievaluasi kembali, apakah masih diperlukan
ataukah tidak.
KH. Adnan
Arsal membenarkan video pembantaian dan penyiksaan umat Islam oleh Densus 88.
Dan KH Adnan menggugat kenapa warga Poso dicap teroris dan Poso dituduh sebagai
dalang teroris. Padahal kasus-kasus Poso adalah kasus balas dendam warga muslim
yang hak-hak dan kehormatan mereka diinjak-injak oleh kaum Nasrani. Bahkan
mereka sudah membunuh ribuan umat Islam, termasuk pembantaian Pesantren
Walisongo yang berjumlah sekitar 200 orang. KH. Adnan Arsal memastikan
kebenaran vcd tentang pembantaian tersebut. KH Adnan menerangkan, kenapa ada
empat polisi ditembak, polisi tidak mencari para penembak tersebut, tapi justru
mengambil belasan masyarakat lalu menyiksa mereka. Boy Rafli membenarkan
keterangan KH Adnan Arsal dan mengatakan bahwa polisi yang menyiksa 18 warga
masyarakat muslim Poso sudah ditindak, yakni dengan mempidanakan lima orang dan
sisanya terkena hukuman indisipliner.
Komisioner
Komnas HAM Siane Indriyani menyampaikan hasil ivestigasinya kepada masyarakat
Poso tentang bagaimana cara pemberantasan terorisme yang dilakukan oleh Densus
88 di Poso dan Makassar. Siane menemukan banyak sekali pelanggaran HAM. Siane
menerangkan bagaimana penembakan Kholid yang dilakukan dalam jarak dekat,
posisi duduk ditembak dari atas, di masjid. Siane menjelaskan bahwa Komnas HAM
sudah mengirim surat kepada Kapolri agar mengevaluasi pekerjaan Densus. Situasi
di Poso ini dimana korban penembakan gantian antara rakyat yang diduga teroris
dengan aparat keamanan. Keluhan polisi terhadap Densus adalah tidak pernah
koordinasi dengan kepolisian daerah. Padahal polisi daerah sehari-hari tinggal
di daerahnya dan sangat rawan menjadi sasaran balas dendam. Sebenarnya ada
ivestigasi menyeluruh tentang Pelanggaran HAM oleh Densus 88 yang dilakukan Tim
Investigasi Komnas HAM periode sebelumnya namun sayangnya tidak diplenokan.
KH Muhammad
al Khaththath menyampaikan bahwa biang adanya kejahatan Densus adalah
terjadinya Bom Bali 12 Oktober 2002, padahal seminggu sebelum peristiwa
tersebut ada briefing kepada para pimpinan ormas keagamaan dan OKP tentang
terorisme di ruang aula utama Mabes Polri yang dipimpin oleh yang sekarang
menjadi Presiden dimana menyebut bahwa gembong-gembong teroris adalah Hambali,
Imam Samudera, dan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Sekjen FUI juga menyetujui
pernyataan KH. Slamet Efendi Yusuf agar keberadaan Densus 88 dievaluasi dan
kalau perlu dibubarkan. Namun Sekjen FUI
meminta sebelum dibubarkan diusut terlebih dahulu, termasuk Gories Mere yang
malang melintang di wilayah Polda Sumut yang membuat tersinggung Kapolda Sumut
Oegroseno dan juga membuat tersinggung dan Lanud Medan pada tahun 2010 lalu.
Dalam hal ini Sekjen FUI mengajukan usulan agar anggota Densus yang membunuh
sembarangan, termasuk membunuh Mr X di Cawang, dikenakan hukum qishash sesuai
syariat, atau kalau tidak Densus harus memberikan ganti rugi (diyat) 2,4 milyar
per kepala (lihat QS. Al Baqarah 178-179). Jadi perlu ada semacam rekonsiliasi
antara rakyat yang dituduh teroris dengan Densus yang keberadaannya
dipertahankan dengan operasi teroris.
Dan terkait briefing di atas Sekjen FUI mengusulkan agar Komnas HAM
memanggil pimpinan pertemuan, yakni yang sekarang jadi presiden, untuk dimintai
keterangannya.
Sekjen MIUMI
Ustadz Bachtiar Nasir yang menyampaikan
kekecewaan beliau karena tidak hadirnya Kepala BNPT Ansyad Mbai mengatakan
bahwa tidak setuju Densus dibubarkan
sebelum diusut tuntas kejahatan-kejahatannya. Ustadz Bachtiar Nasir mendesak
dibentuknya tim forensik independen yang melibatkan ormas-ormas Islam untuk
melakukan otopsi ulang terhadap korban penembakan Densus 88 agar didapatkan
akurasi kebenaran sehingga diketahui ada atau tidaknya menegaskan pelanggaran
HAM dilakukan korps berlambang Burung Hantu tersebut.
Wakil Amir
Majelis Mujahidin Ustadz Abu Jibril yang juga menyatakan kekecewaannya kenapa
Ansyaad tidak berani hadir juga menegaskan perlunya pengusutan pelanggaran HAM
oleh Densus 88 dan sekaligus pembubarannya.
Karopenmas
Mabes Polri Brigjen pol Boy Rafli Amar menyampaikan informasi bahwa korban
tindak pidana terorisme 303 yang meninggal, anggota Polri yang ditembak 38, yang terduga terorisme yang
sudah menjalani proses hukum 800 orang.
Boy
mengatakan polri ingin tidak ada terorisme. Terorisme menjadi ancaman global.
Ada keterkaitan di dalam dengan di luar. Kami tidak senang stigma bahwa teroris
adalah dari kelompok Islam. Namun perlu difahami bahwa terorisme adalah
nomenklatur dalam UU Terorisme. Boy menegaskan bahwa sebagai petinggi Polri dia
hadir dalam diskusi permintaan pembubaran densus untuk menyerap aspirasi
masyarakat. Namun dia mengatakan bahwa keberadaan Densus adalah dalam konteks
melindungi warga negara. Namun bila ada penyimpangan di lapangan akan diproses
seuai aturan. Sebagai contoh, pelanggaran oleh anggota polri yang disampaikan
Ustadz Adnan Arsal diproses.Polisi yang menganiaya masyarakat 5 orang dipidana
dan 13 orang diproses sesuai kode etik kepolisian. Selanjutnya Boy menyarankan
perlunya dibuat kajian akar masalah sehingga tidak perlu ada terorisme.
Di luar
ruang diskusi di atas masyarakat menuntut pembubaran Densus 88 yang selama ini
memang terasa menyakiti rakyat, khususnya kaum muslimin. Sehingga sering Densus
yang kepanjangannya adalah Detasemen khusus diplesetkan menjadi Detasemen
Yesus. Plesetan ini tentu bukan tanpa
alasan. Sebab selama ini Densus pilih bulu. Bulu Islam dicabut, bulu Kristen
dibiarkan. Contoh kasus RMS dan OPM. Walau gerombolan RMS jelas-jelas melakukan
tindakan terorisme dengan menembaki umat Islam dan mengeluarkan tembakan dan
pembakaran pemukiman di Ambon toh dibiarkan. Bahkan film latihan perang mereka
sudah disampaikan delegasi FUI ke pihak Kemenhan, tapi tidak ada tindakan
apa-apa. Demikian juga gerombolan OPM yang tindakan terorismenya sudah sangat
meluas, menelan korban aparat dan rakyat, bahkan terakhir mengancam akan
menembak mati Kapolda Irjen Pol Tito Karnavian yang pernah menjadi Komandan
Densus 88, tapi tidak ada reaksi apa-apa dari Densus (www.Suara-Islam.com).
Maka sebenarnya Densus ini dibuat untuk apa.
Pernah Densus memeriksa OPM, lalu ditegur Australia. Jadi Densus ini milik siapa? Jadi wajar kalau
rakyat Indonesia tidak perlu Densus, masyarakat malah terteror dengan adanya
Densus.
Dalam aksi
longmarch di Solo Ahad (31/3/2013) JAT Solo dan Elemen Muslim Surakarta
mendukung himbauan dari Majelis Ulama Islam (MUI) Pusat kepada Kapolri agar
Kinerja Densus 88 dievaluasi dan jika perlu dibubarkan. Aksi Longmarch JAT dan Elemen Muslim Surakarta ini juga merupakan
upaya mendukung temuan dan rekomendasi dari Komnas HAM sebagaimana, temuan
Komnas HAM atas Video Kekerasan dalam Penanganan Terorisme di Poso Sulawesi
Tengah.
JAT dan
Elemen Muslim Surakarta meminta kepada Kapolri untuk menindaklanjuti Hasil
Penyidikan Komnas HAM tentang dugaan pelanggaran Densus 88 terhadap :
Undang Undang Dasar 1945 pasal 28 I ayat 1
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM
Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik yang telah diratifikasi menjadi UU No 12 tahun 2005
Fakta-fakta
Pelanggaran HAM oleh Densus 88
Sebagaimana
dilaporkan Arrahmah.com, JAT Solo dan Elemen Muslim Surakarta dalam pernyataan
mereka pada aksi di atas menemukan 11 fakta tentang Densus 88 bahwa:
Densus 88 disponsori dan dilatih Negara
Barat untuk kepentingan Amerika dan Australia dalam memerangi Aktivis Muslim
dan Gerakan Islam di Indonesia.
Target operasi Densus 88 sebagian besar
adalah Ulama dan Aktivis Muslim.
Densus 88 mengabaikan asas praduga tak
bersalah, Densus 88 sering menembak mati seseorang yang statusnya baru terduga
tanpa ada adanya putusan pengadilan. Korban yang ditembak mati Densus 88
meninggal dengan luka tembak yang mengenaskan.
Densus 88 sering menembak mati seseorang
yang sama sekali tidak terkait dengan kasus terorisme.
Densus 88 juga sering salah tangkap
seseorang yang akhirnya dipulangkan
tanpa ada permintaan maaf, rehabilitasi maupun kompensasi
Sebagian besar tersangka teroris tidak
diberikan haknya dalam memilih pengacara oleh Densus 88
Dalam kurun waktu 7×24 jam sering terjadi
penganiayaan dan tekanan secara fisik dan psikis terhadap tersangka teroris
oleh Densus 88 yang mengakibatkan luka ringan, luka berat, luka permanen dan
menyebabkan trauma korban.
Densus 88 sering melakukan aksi arogansi
terhadap keluarga terorisme terlebih kepada anak–anak.
Densus 88 sering memperlambat pemulangan
jenazah yang statusnya baru terduga terorisme. Sehingga pemakaman jenazah yang
semestinya menurut hukum agama Islam disegerakan menjadi tertunda.
Densus
88 diskriminatif, kasus penembakan di Papua yang mengakibatkan
meninggalnya anggota TNI/Polri justru tidak bertindak.
Oknum Densus yang merusak, membunuh,
memenyiksa dan menganiaya terduga teroris belum pernah diadili di pengadilan
umum
Pegiat ICAF (Indonesian Crime Analyst Forum) Mustofa
B. Nahrawardaya dalam tulisannya bertajuk “Kekejaman Densus Bukan Desas-desus”
mengatakan bahwa pemberantasan terorisme ala Densus ini sudah sangat
keterlaluan, seperti yang dilakukan oleh Densus dalam simulasi pemberantasan
terorisme di Surabaya tahun 2009.
Astaghfirullahal Azhiim, simulasi pemberantasan terorisme itu dilakukan
di Masjid dan aparat Densus yang melakukan simulasi tidak mencopot sepatu
mereka. Jelas ini provokasi yang mengingatkan kita kepada masuknya seorang
anggota ABRI (sekarang TNI) tanpa melepas sepatu di sebuah masjid di Tanjung
Priok Jakarta yang menyulut meletusnya kasus Priok tahun 1985.
Bulan
Januari lalu dalam forum Temu Pembaca Suara Islam di Masjid Baiturrahman
Jakarta berkali-kali Ibu Hajjah Fatma, ibunda almarhum Anas Wiryanto, salah
satu korban penembakan Densus 88 di Dompu Nusa Tenggara Barat menjerit di depan
para hadirin “Bubarkan Densus 88 pak!
Mereka sudah zalim, telah membunuh anak saya yang tidak bersalah.!”
Ibu Hajah
Fatmah pun menegaskan bahwa keliru besar pemberitaan media massa yang menyebut
anaknya teroris apalagi mayatnya akan ditolak oleh penduduk Dompu, kampung
halaman almarhum Anas. Ibu Fatma yang sudah berhari-hari di Jakarta berusaha
untuk memulangkan jenazah anaknya menegaskan bahwa Anas sangat baik kepada
lingkungan dan dicintai masyarakat di kampung halamannya.
Ibu Hajah
Fatma datang bersama tiga keluarga korban penembakan ngawur Densus 88 lainnya
untuk mengadukan nasib mereka yang dizalimi Densus 88. Jenazah anaknya pun
tidak mereka kembalikan ke tempat mereka mengambil. Padahal anaknya yang tak
berdosa itu dibunuh dan dibawa ke Jakarta. Petugas menolak mengembalikan
jenazah tersebut dengan alasan tidak ada biayanya. Benar-benar tidak
bertanggung jawab! Setelah mendapatkan tekanan dari MUI dan komnas HAM akhirnya
pihak Densus memenuhi tuntutan Hj Fatma dan keluar para korban pelanggaran HAM
oleh densus lainnya.
Mantan
Komisioner HAM Dr. Saharudin Daming yang
pernah ditugasi memimpin Tim Investigasi Komnas HAM untuk pelanggaran HAM oleh
Densus 88 mengatakan bahwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan personil Densus
bisa menjadikan kepala Densus diseret ke Mahkamah Kejahatan Internasional
(International Criminal Courts) di Den Haag sebagaimana para penjahat perang
Serbia yang melakukan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusian dalam
perang di Bosnia Herzegovina (1992-1995).
Dalam
wawancara eksklusif dengan Tabloid Suara Islam edisi 154 (22 Maret – 5 April
2013), menjawab pertanyaan apakah selama ini Densus telah melakukan pelanggaran
HAM berat ? Daming menegaskan: Sangat jelas, Densus telah melakukan pelanggaran
HAM berat. Ciri cirinya telah diatur dalam Pasal 8 dan 9 UU Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, yakni genosida dan kejahatan kemanusian. Semua unsur
itu dengan sistimatis telah terpenuhi oleh Densus. Densus melakukan hukuman
mati tanpa peradilan (extra judicial killing) dan memberlakukan korban dengan
cara tidak manusiawi. Jadi kelakuan personil Densus itu jelas memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM
berat. Hanya orang bodoh saja yang tidak mengakuinya sebagai pelanggaran HAM
berat.
Contoh
Densus 88 menguhukum mati tanpa peradilan ini antara lain terjadi pada
penembakan MR X di Cawang oleh Densus tahun 2010. Setelah dua bulan mayat Mr X tidak ada yang
menjemput, akhirnya dikubur di TPU Pondok Ranggon tanpa identitas. Padahal waktu ditembak Mr X tidak sedang
melakukan aktivitas terorisme. Dan kalau
sudah diintai lama tentunya data intelijennya sudah jelas identitas MR X
siapa. Inilah keanehan operasi Densus
yang merupakan kezaliman yang nyata.
Bagaimana
Densus 88 Bisa Dibubarkan ?
Seruan
pembubaran Densus 88 ini pernah dilakukan Forum Umat Islam (FUI) sekitar bulan
Juni tahun 2010 lalu setelah kasus penembakan Mr X di Cawang. FUI telah
bergerak melaporkan pelanggaran Densus 88 ke Mabes Polri, Kompolnas, Komisi III
DPR, Komnas HAM, bahkan gugatan class action ke PN Jaksel, namun tidak ada
tanggapan serius. Dalam Surat Terbuka kepada Komisi III Sekjen FUI menyebut
bahwa kasus terorisme itu sarat rekayasa .
Mudah-mudahan
seruan Pak Din dengan baju MUI dan Ormas Islam kali ini ditanggapi serius.
Apalagi akhir-akhir ini Densus memang tampak lebih ngawur seperti kasus
pelanggaran Densus yang menghilangkan nyawa pedagang kue di Makasar dan Dompu
atas nama pemberantasan terorisme maupun penangkapan aktivis Masjid Baitul
Karim Tanah Abang saat membagi daging korban pada Idul Adha lalu. Alhamdulillah, atas kerjasama FUI, TPM,
Pushami, media massa Islam, dan MUI aktivis masjid tersebut dibebaskan dan
jenazah tukang kue dipulangkan ke kampung halaman.
Namun untuk
memaksimalkan seruan pembubaran Densus itu perlu dilakukan langkah-langkah
terpadu sebagai berikut:
Pertama,
Ekspose Laporan investigasi Komnas HAM
Perlu ada
gerakan massif menuntut Komnas HAM membuka sidang pleno untuk membahas secara
terbuka hasil laporan investigasi Komnas HAM periode lalu terhadap pelanggaran
HAM oleh Densus 88, dengan disaksikan oleh masyarakat, khususnya para korban
dan keluarga korban pelanggaran HAM oleh Densus 88 dan para pemerhati
pelanggaran HAM oleh Densus 88. Dalam
hal ini Komnas HAM harus jujur, terbuka, dan obyektif untuk menegakkan
keadilan dan menjamin HAM masyakat,
khususnya para korban pelanggaran HAM oleh Densus 88. Dr. Saharuddin Daming yang menjadi ketua Tim
Investigasi HAM untk pelanggaran HAM oleh Densus 88 perlu dipanggil kembali
untuk mempresentasikan hasil kerja timnya. Dalam hal ini para pimpinan Majelis
Ulama dan Ormas-ormas Islam, terutama yang selama ini aktif melakukan advokasi
terhadap hak-hak umat Islam yang dilanggar Densus 88 harus diundang dan
diberikan waktu untuk memberikan pendapat dan saran.
Kedua,
Silaturrahmi ulama dan pimpinan ormas Islam kepada Kapolri
Ketiga,
Delegasi ke Komisi III DPR-RI
Bilamana
langkah kedua di atas belum diterima dan belum ditindak lanjuti oleh Kapolri,
maka para ulama dan pimpinan berbagai ormas dan lembaga Islam dengan didampingi
TPM dan Pushami perlu mengambil langkah ketiga yakni menemui Komisi III untuk menuntut agar Kapolri segera
mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM oleh Densus 88 dan selanjutnya
membubarkan Densus 88 karena dirasa sudah tidak perlu. Dalam hal ini para ulama
perlu minta keseriusan Komisi III DPR menangani pelanggaran HAM oleh Densus 88.
Sebab sejak permintaan FUI agar Komsis III menangani kasus pelanggaran HAM oleh
Densus 88 sejak kasus dibunuhnya Mr X di Cawang hingga hari ini, Densus sudah sangat banyak makan korban.
Keempat,
perlu mengingatkan MUI yang hendak menguji UU no 15 tahun 2003 tentang Teorisme
di MK
Langkah
keempat yang bisa merupakan kelanjutan ketiga langgkah di atas adalah melakukan
uji materiil UU No 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme di MK. Dalam
audiensi FUI dan keluarga korban penculikan Densus 88 yakni Nanto aktivis
Masjid Yang diculik saat bagi-bagi daging korban pada hari raya Idul Adha lalu
dengan Komisi Hukum dan HAM MUI, Ketua MUI yang membidangi komisi tersebut
mengatakan bahwa MUI akan melakukan upaya uji materiil/judicial review ke MK.
Ini perlu diingatkan dan disupport oleh para ulama dan pimpinan ormas dan
lembaga Islam agar bisa segera diwujudkan. Sebab langkah Densus yang dikatakan
Boy Rafli adalah untuk melindungi masyarakat
nyatanya justru menteror masyarakat. Ini seperti fakta simulasi
pemberantasan terorisme di Masjid tahun 2009 dimana aparat Densus yang
melakukan simulasi tidak mencopot sepatu mereka simulasi pemberantasan
terorisme itu dilakukan di Masjid yang diungkap Pegiat ICAF (Indonesian Crime Analyst
Forum) Mustofa B. Nahrawardaya dalam tulisannya bertajuk “Kekejaman Densus
bukan Desas-desus”. Semua fihak harus menjaga jangan sampai kasus Tanjung Priok tahun 1985 jangan terulang
lagi.
Kelima, Aksi
Massa Besar-besaran Menuntut Pembubaran Densus 88
Perlunya
aksi massa dan pembentukan opini dan masyarakat untuk mengawal keempat langkah
di atas. Dan bila juga belum jelas tanda-tanda pembubaran Densus 88, maka
seluruh komponen umat perlu turun ke jalan menuntut Kapolri segera membubarkan
Densus 88 dan mengusust untas seluruh personil dan dan pengambil kebijakan
terkait pelanggaran HAM yang mereka lakukan. Kita harus mendorong Kapolri untuk
berani legowo seperti pimpinan TNI AD yang mengakui bahwa anggota TNI AD yang
melakukan serangan ke lapas Cebonbgan Yogyakarta dan mengeksekusi empat preman
yang membunuh anggota Kopassus Heru Santoso. Kita harus menuntut Kapolri agar
bisa diterapkan hukum Qishash kepada mereka yang sembarangan menyiksa dan
membunuh rakyat. Atau alternatifnya adalah memberikan tawaran ganti rugi atau
diyat kepada para korban dan keluarga korban
sebagaimana disebut di atas.
Khatimah
Semoga lima
langkah di atas bisa dilaksanakan oleh para ulama, pimpinan ormas, pegiat Hukum
dan HAM serta para aktivis umat Islam secara rapih. Dan semoga Allah menilai
hal itu sebagai amal menolong agama Allah yang layak mendapatkan pertolongan
Allah SWT. Dia SWT berfirman:
Hai
orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad 7).
Kita juga
mengingatkan kepada semua pihak, baik itu para ulama, pejabat dan anggota
Polri, Anggota DPR, Anggota Komnas HAM, dan siapapun pemerhati umat islam dan
hak-hak mereka yang dizalimi agar jangan cenderung memihak para anggota Densus
88 dan dan siapapun antek penguasa yang bertindak zalim. Allah SWT mengharamkan
pemihakan itu dan mengancam para pelaku pemihakan bahwa mereka akan disentuh
api neraka. Allah SWT berfirman:
Dan
janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu
disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun
selain daripada Allah, Kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Huud
113)
Penawaran
ganti rugi atau diyat sesuai syariat Allah Yang Maha Kuasa sebesar 2,4 Milyar
untuk tiap nyawa yang ditembak Densus tanpa kesalahan maupun pemberian ganti
rugi kepada para korban penganiayaan Densus 88 serta rehabilitasi nama mereka
maupun pembebasan dan amnesti mereka yang sudah ditahan dan dipidana serta
pembubaran Densus 88 adalah solusi yang insyaallah bisa diterima semua pihak.
Damai lebih baik (was shulhu khair) daripada dendam kesumat antara rakyat
dengan para anggota Densus 88.
Wallahua’lam Hadaanallah waiyyaakum ajmain!
Jakarta, 13
April 2013
tidak ada kata tidak untuk membubarkan DENSUS 88