assalaamu’alaikum wr. wb.
Ini adalah seni, bukan hawa nafsu !
Ini adalah pernyataan subjektif yang sulit sekali dicek kebenarannya, kecuali dengan lie detector, hipnotis atau penggunaan obat-obatan tertentu untuk mencegah si pengucapnya berbohong. Bagaimana pun, Taufik Ismail pernah memberikan sebuah parameter sederhana untuk mengecek apakah suatu karya sastra itu porno atau tidak.Caranya adalah dengan mengganti semua karakter perempuan dalam karya tersebut dengan ibu, bibi, kakak perempuan, adik perempuan, dan putri-putri kita. Jika kita merasa tidak nyaman, maka itulah indikasi pertama adanya unsur kepornoan dalam sebuah cerita. Logika yang sama bisa digunakan untuk Playboy. Meski demikian, dalam sebuah peradaban yang sudah buta mata hatinya, bisa jadi cara ini sudah tidak ampuh lagi. Saya pribadi lebih memilih lie detector, hipnotis, atau obat-obatan. Kalau memang jujur, mengapa harus takut?
Sensual tidak ekivalen dengan porno
Lagi-lagi masalah kejujuran.
Bagaimana pun kita mesti objektif dan melihat pada kenyataan di lapangan. Jaman sekarang, anak SMP memperkosa balita pun ada, bahkan mahasiswa yang menodai nenek-nenek pun ada.Polanya sudah kelihatan : mereka sama-sama mengkonsumsi video atau gambar-gambar porno sampai-sampai membuatnya tidak sabaran lagi. Dan produk-produk kotor semacam itu ada juga yang menyebutnya ‘adult entertainment’, ‘adult material’, ‘tujuh belas tahun ke atas’, dan sebagainya. Semua istilah tersebut (pada kenyataannya) merujuk pada satu hal : porno.
Kalau mau bicara soal kejujuran memang tidak akan ada habis-habisnya. Noam Chomsky pernah bercerita tentang sebuah buku tebal yang bercerita bahwa orang-orang Palestina bukanlah penduduk asli di tanah airnya itu, melainkan sama-sama pendatang sebagaimana orang-orang Yahudi. Buku itu dilengkapi dengan ratusan catatan kaki yang – setelah dicek secara seksama – semuanya fiktif! Manusia akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan mukanya, termasuk berbohong. Jadi, marilah kita bicara mengenai hal-hal yang kuantitatif, terukur, dan tidak subjektif.
Playboy
Kata “tidak” pada pernyataan di atas semestinya diganti dengan kata “belum”. Bagaimana punbrand Playboy sudah dikenal luas sebagai icon pornografi dunia. Jika memang tidak berniat memuat material pornografi, mengapa tidak berafiliasi dengan majalah-majalah lain saja? Masih banyak majalah lain yang tidak menyertakan muatan-muatan pornografi yang bisa dijual di
Bukan hanya Playboy ...
Seratus! Setuju sepenuhnya! Memang bukan hanya Playboy yang memuat pornografi! Oleh karena itu, setelah Playboy, insya Allah akan banyak majalah, tabloid, koran dan bahan bacaan lainnya yang harus dihabisi. Masalah siapa yang kebagian giliran duluan, itu tidaklah terlalu masalah.Justru Playboy sebagai icon pornografi paling terkenal di dunia sangatlah layak untuk dijadikan sasaran tembak pertama dan utama.
Playboy
Ini sama saja dengan bir yang mengaku tidak mengandung alkohol. Anggaplah memang benar sebuah perusahaan bisa memproduksi bir tanpa alkohol, namun jika perusahaan tersebut tetap memproduksi bir standar (yaitu yang mengandung alkohol), maka produknya tetaplah haram.Mereka yang bilang bahwa minuman beralkohol sajalah yang haram berarti tidak paham syariat Islam yang sesungguhnya. Islam selalu memboikot keburukan dan pelakunya. Khamr adalah suatu bagian dari sebuah dosa besar, dan karenanya, tidak hanya peminumnya yang mesti diluruskan, namun juga penjualnya, pabriknya, para pekerja di pabriknya, dewan direksi perusahaan produsennya, para pemegang saham di perusahaan tersebut, bahkan sampai tukang sapu dan satpam yang bekerja di perusahaan tersebut. Katakanlah Playboy Indonesia memang tidak memuat pornografi sebagaimana Playboy di negara lain, tetap saja tidak wajar bagi mereka untuk mengibarkan bendera Playboy dengan imbalan menyetor sekian persen dari keuntungan pada induk perusahaan yang memproduksi pornografi. Memberi uang pada pelaku kebejatan sama saja dengan mendukung usaha mereka.
Kalau tidak suka, jangan beli !
Nah, ini sudah jelas bukan ucapan orang yang mengerti Islam barang secuil pun. Dalam Islam, menolak dalam diam adalah bentuk terlemah dari iman. Ya, memang manusia dengan selemah-lemahnya iman pun tetap bisa dibilang beriman, dan setiap orang yang beriman pasti akan masuk surga, walaupun barangkali mesti ‘dicuci’ dulu dosa-dosanya di neraka. Akan tetapi, neraka bukanlah ancaman yang bisa dianggap remeh. Meskipun kemungkinan besar tidak akan abadi di
Bagaimana dengan FPI dkk. ?
Playboy
Cara pelarian seperti ini tipikal sekali untuk digunakan oleh kaum liberalis-sekularis untuk melarikan diri dari masalah. Ketika mempromosikan sekularisme, mereka akan segera merujuk pada tindakan-tindakan ekstrem yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka sebut ‘fanatikus agama’ atau ‘fundamentalis’. Padahal, tindakan yang dilakukan oleh kaum sekular fanatik juga tidak lebih baik. Apa yang dilakukan oleh para penjaga di penjara Abu Gharib bukanlah hasil perilaku orang-orang yang taat beragama, melainkan murni sekular. Kekejaman Zionisme juga bukan berasal dari keyakinan yang kuat terhadap agama Yahudi. Bahkan dengan sangat tidak masuk akalnya, ada pula yang melarang jilbab hanya karena ia menunjukkan simbol agamanya secara ‘ofensif’. Ofensif apanya? Siapa yang merasa diserang? Entahlah.
Jadi, berhentilah lari dari kenyataan. Playboy tetaplah Playboy yang misinya adalah menebar pornografi di seluruh dunia. Tidak mungkin berdamai dengan Islam.
wassalaamu’alaikum wr. wb.
semoga bermanfaat untuk kita