Saif Al Battar Sabtu, 26 Jumadil Akhir 1434 H /
23 Juni 2012 17:31
(Arrahmah.com) – Ada khianat dan dusta, di balik terhapusnya kalimat, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta yang juga Pembukaan UUD 1945. Sikap toleran tokoh-tokoh Islam, dibalas dengan tipu-tipu politik!
Sebagaimana
ditulis sebelumnya, sehari pasca pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Di
antara tokoh yang sangat gigih menolak penghapusan itu adalah tokoh
Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Saking gigihnya, sampai-sampai Soekarno dan
Hatta tak berani bicara langsung dengan Ki Bagus. Soekarno terkesan menghindar
dan canggung, karena bagi Ki Bagus, penegakan syariat Islam adalah harga mati
yang tak bisa ditawar lagi.
Untuk
meluluhkan pendirian Ki Bagus, Soekarno kemudian mengirim utusan bernama Teuku
Muhammad Hassan dan KH Wahid Hasyim agar bisa melobi Ki Bagus. Namun, keduanya
tak mampu meluluhkan pendirian tokoh senior di Muhammadiyah ketika itu.
Akhirnya, dipilihlah Kasman Singodimedjo yang juga orang Muhammadiyah, untuk
melakukan pendekatan secara personal, sesama anggota Muhammadiyah, untuk melunakkan
sikap dan pendirian Ki Bagus Hadikusumo.
Dalam
memoirnya yang berjudul ”Hidup Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa
ia mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (kromo
inggil). Kepada Ki Bagus, Kasman membujuk dengan mengatakan,
“Kiai,
kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus
cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan
masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan
perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama
pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?!
Kiai,
sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan
yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah
balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan
modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke
Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu
dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol.
Kiai, di dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang
sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6
bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk
membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini
adalah rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk
membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi
kejepit!
Kiai,
tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini
sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan
cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang
berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”
Kasman juga
menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Mohammad Hatta, bahwa kata
”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. KH A Wahid Hasyim
dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah AllahSubhanahu wa Ta’ala, bukan yang lainnya. Kasman
menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila.
”Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga
menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam
bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat
undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali
mengajukan gagasan-gagasan Islam. Karena Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan
ini adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti
kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu
akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat
Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
”Hanya
dengan kepastian dan jaminan enam bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan
dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat
Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam
undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk
menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.
Selain soal
jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi terjepit
dan sulit, dimana kalangan sekular selalu mengatakan bahwa kemerdekaan yang
sudah diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut
Kasman dalam memoirnya bahwa kalangan sekular pintar memanfaatkan momen
psikologis, dimana bangsa ini butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi
memicu perpecahan harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh
Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu
begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya
mempertahankan tujuh kata tersebut, meskipun begitu pahit rasanya hingga saat
ini. Sementara kalangan sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat move politik
yang memaksakan kehendak mereka.
Namun sikap
toleran dan legowo tokoh-tokoh Islam ternyata dikhianati. Kasman sendiri
akhirnya menyesal telah membujuk dan melobi Ki Bagus hingga akhirnya tokoh
Muhammadiyah itu menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah
berhasil melobi Ki Bagus, sebagaimana diceritakan Kasman dalam Memoirnya, ia
gelisah dan tidak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tidak bicara, diam membisu.
Ia menceritakan dalam memoirnya,
”Alangkah
terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa
balatentara Dai Nippon (Jepang, pen) telah mengepung Daidan, dan
kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan. Selesai laporan,
maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan
menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief
sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih
dahulu.
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa.
Saya mencari kesalahan pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain
bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya
sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi
panggilan Bung Karno!?
….Malamnya
tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu.
Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, saya pun lelah, letih sekali hari
itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”
Kasman
mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama,
penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah
senjata milik tentara Indonesia dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu
itu.
Kasman
menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang
Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa
enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat
memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk
melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman
telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik,
ingin bangsa ini bersatu.
“Sayalah
yang bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa
saya,” kata Kasman sambil meneteskan air mata, seperti diceritakan tokoh
Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18
Agustus itu.
Dengan
lantang dan berapi-api ia berpidato, “Saudara ketua, satu-satunya tempat yang
tepat untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan
dasar negara yang tentu-tentu itu ialah Dewan Konstituante ini! Justru itulah
yang menjadi way out daripada pertempuran sengit di dalam
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam
pidato saya dalam pandangan umum babak pertama.
Saudara
ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua
Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan Islam untuk dimasukkan dalam
muqoddimah dan Undang-Undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga
Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putra Aceh menyantuni
Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan
bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar yang tetap, maka
bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara
ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita
untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke rahmatullah. Beliau telah
menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan
kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya…
Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa
dipisahkan daripada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia
tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil
Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih
hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini…
Saudara ketua,
di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, saudara
ketua, di manakah kami golongan Islam menuntut penunaian “janji” tadi itu? Di
mana lagi tempatnya? Apakah Prof Mr Soehardi mau memaksa kita mengadakan
revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr Soehardi menjawab pertanyaan saya ini
secara tegas! Silakan!
Pidato
Kasman di Sidang Konstituante yang sangat menyengat dan mengusulkan Islam
sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang sangat luar
biasa.Dalam pidato tersebut, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya
mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan mempersilakan golongan lain
untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila.
Bagi Kasman,
Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada habisnya
untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini dilandaskan pada
Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti “air
dalam tempayan”, yang diambil diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang
universal itu, yaitu Islam.
Kasman mengatakan, “Ada yang mengira, si
penemu—katakan kalau mau, ‘si penggali’ air dalam tempayan itu adalah sakti
mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti Nabi atau lebih daripada itu,
dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu, lama kelamaan,
secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang keramat, ya
sebagai supergeloof (ideologi yang luar biasa, pen) yang
tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi
di Konstituante sini. Masya Allah!”
Begitulah
sekelumit kisah di balik penghapusan syariat Islam dalam naskah Piagam Jakarta.
Ada dusta dan khianat dari mereka yang memberi janji-janji muluk kepada
tokoh-tokoh Islam saat itu. Ada upaya-upaya yang jelas dan tegas untuk
memarjinalkan Islam. Menggunting dalam lipatan, menelikung di tengah jalan,
adalah politik yang dilakukan kelompok-kelompok yang tidak ingin negara ini
berlandaskan pada syariat Islam.
Inilah
pelajaran berharga bagi umat Islam, dimana sikap toleran kita terhadap kelompok
minoritas justru dihadiahi janji-janji palsu dan dusta. Umat Islam harus
menagih janji itu, bahwa Piagam Jakarta harus kembali diberlakukan!
Oleh: Artawijaya
– salam-online.com
- See more
at:
http://www.arrahmah.com/read/2012/06/23/21168-kisah-di-balik-terhapusnya-piagam-jakarta.html#sthash.Y4hHT8wV.dpuf