Oleh:
Al-Ustadz Subki Saiman, MA. (Ketua LKS Al-Maqashid Syariah)
DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM. (Divisi Fatwa dan Pengkajian Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia DKI Jakarta, dan Peneliti Ahli LKS Al-Maqashid Syariah)
Al-Ustadz Subki Saiman, MA. (Ketua LKS Al-Maqashid Syariah)
DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM. (Divisi Fatwa dan Pengkajian Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia DKI Jakarta, dan Peneliti Ahli LKS Al-Maqashid Syariah)
(Arrahmah.com)
– Menjadi
jelas bagi kita, bahwa batu bangun perjuangan Syi’ah Iran demikian kokoh
dan berlapis. Diawali dengan penyatuan aqidah, dibentuknya ideologi-politik
yang praktis, diakhiri dengan aqidah pula. Menyakini Imam Zaman adalah wajib,
tidak menyakini “mati dalam keadaan jahiliyah”.[1]
Lebih
lanjut, doktrin imamah dan pemerintahan yang terus menerus yang tidak
dapat dihapus sepanjang masa berimplikasi pada kontruksi politik hukum sistem
ketatanegaraan Iran, yakni keterpaduan hubungan sang Rahbar dengan marja-marja
di berbagai negara. Melalui kelembagaan sistem politik imamah, iran
berupaya menegakkan pemerintahan ala imamah dengan membentuk terlebih
dahulu marja al-taqlid [2].
Menurut
Khomeini, usaha-usaha pendirian Negara Syi’ah merupakan bagian dari
aplikasi iman terhadap wilayah (keimamahan).[3] Di sinilah letak watak
ekspansif ideologi Syi’ah Iran, sebagaimana terjadi di Lebanon, Irak,
Bahrain, dan Afganistan. Keberlangsungan pemerintahan yang terus menerus itu
sangat terkait dengan agenda mempertahankan ruang hidup (geopolitik) Iran dari
berbagai kemungkinan ancaman dari pihak lawan.
Kesadaran
membangun komitmen ideologis-religius inilah yang membawa Syi’ah Iran
pada masa kebangkitannya. Hal ini dapat dilihat dari keberanian dan
kemampuannya menandingi Irak dalam perang teluk yang berlangsung selama kurang
lebih 8 (delapan) tahun itu. Padahal Iran baru saja berdiri, selepas
hengkangnya Shah Pahlevi, sedangkan Irak dalam adalah negara yang sudah lama
berdiri, tentunya memiliki kemampuan yang lebih dari Iran, baik dukungan
finansial maupun kekuatan militer. Ternyata deterent effect Irak tidak
mampu mengalahkan Iran.[4]
Bangunan
doktrin imamah dan pemerintahan terus menerus, telah mampu membawa Iran
mengembangkan geopolitik dan geostrategi pada masa-masa selanjutnya. Tujuan
Iran selanjutnya membangun kekuatan di Timur Tengah dengan mengungguli
pesaing-pesaingnya. Iran telah mencapai superioritasnya ketika berhasil
mengembangkan kekuatan di Lebanon melalui pembentukan Hizbullah di
Lebanon dan kerjasamanya dengan rezim Bashar Assad di Suria.
Telah
disebutkan di atas, bahwa pembentukan marjaiyat kaukus Persia merupakan
resultan aplikasi ideologi imamah Iran. Ideologi adalah hukum dasar
pemersatu bagi kelangsungan hidup negara, maka dari itu Iran membutuhkan
geopolitik dan geostrategi demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tidak
akan menjadi berarti, jika suatu ideologi hanya suatu simbol belaka tanpa ada
upaya merekayasa masyarakat. Roscue Pond memberikan penjelasan bahwa hukum
sebagai alat perekayasa masyarakat, “law is a tool of social engineering.”
Rupanya Iran lebih maju dalam melakukan perekayasaan ini, menanamkan suatu
keyakinan yang sangat kuat kepada pengikutnya untuk mempercayai keabsahan
doktrin agama secara total. Totalitas inilah yang membuat perjuangan Syi’ah
Iran mencapai klimaknya dengan membentuk wilayat al-faqih yang sangat
sentralistik itu.
Tidaklah
berlebihan jika dikatakan doktrin imamah sangat fundamental dan
spektakuler dalam ajaran Syi’ah Iran, yang mampu melakukan rekayasa
sedemikian rupa. Rekayasa spektakuler yang sedang dipersiapkan oleh Syi’ah
Iran adalah menanti kemunculan Imam Mahdi as (versi Syi’ah). Dalam
rangka mendukung kemunculan Imam kedua belas inilah label “Pemimpin Besar
Revolusi” masih terus disematkan pada diri Rahbar Ali Khamenei. Sebagaimana
memang sudah menjadi keyakinan, bahwa Imam akhir zaman haruslah dari kalangan Syi’ah,
dan penantian itu terkait pula dengan keyakinan perang akhir zaman (al-Mahamah
al-Qubro). Tepatlah julukan Republik Iran adalah “Republik Taqiyyah”,
yang menunggu sampai munculnya Imam Mahdi versi mereka.
Imam Mahdi
sebagaimana dinubuwwatkan oleh Nabi Muhammad SAW, “namanya seperti namaku dan
nama bapaknya seperti nama bapakku”. Menurut literatur Sunni,[5] Imam
Mahdi adalah keturunan dari jalur Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, bukan dari
jalur Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Syi’ah sama persis dengan Yahudi
yang mengharap Nabi terakhir dari golongan (bangsa) mereka, namun ternyata dari
keturunan Nabi Ismail AS, yang dalam rentang waktu lama (para keturunannya)
tidak ada Nabi, ketika Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi penutup, mereka
ingkar dan berbuat makar. Hal yang sama bisa saja terjadi, Syi’ah
mengharap apa yang bukan menjadi haknya, kemudian ingkar dan makar sebagaimana
kaum Yahudi. Singkat kata Imam Mahdi fiktif berada di pihak Syi’ah,
mungkin yang dimaksud al-Masikhhul Dajjal al-Muntazar![6]
Ekspansi
ideologi imamah Syi’ah Iran, juga tak luput dari penolakan dan dianggap
sebagai suatu bid’ah Khomeini oleh sebagian tokoh dan ulama Syi’ah
sendiri. Muhammad Kamil Al Hasyimi dalam bukunya “Hakikat Akidah Syiah” mengutip
kata-kata Al Musawi (Ketua Majlis Ulama Syi’ah Amerika Serikat) yang
menyatakan:
“Untuk
kepentingan siapa Khomeini mengekspor revolusi pemikirannya yang rusak dan
prinsip-prinsip yang sesat kepada bangsa-bangsa Islam yang aman untuk
menimbulkan ketakutan dan kekacauan, peperangan, dan perselisihan? Semua itu
adalah untuk kepentingan Zionis dan musuh-musuh Islam yang berusaha keras untuk
menghabiskan kekuatan umat Islam dan mengalirkan darahnya dengan tangan mereka
sendiri tanpa campur tangan dari luar.”[7] (garis bawah dari penulis)
Ali
Gadhanfari Karari (Ketua Majlis Ulama Syi’ah Pakistan) dalam pernyataan
yang mengingatkan ancaman bahaya revolusi Khomeini, ia menuturkan:
“Perlu
sekali kita membuka sikap-sikap dan perbuatan-perbuatannya, menjelaskan penyelewengan
-penyelewengannya, sehingga kita dapat menyelamatkan Islam dan umat Islam dari
terjerumus dalam pengakuan-pengakuannya yang palsu. Dan cukup saya jelaskan
bahwa konstitusi Iran pada dasarnya berdiri di atas teori Wilayat Faqih yang
diciptakan oleh Khomeini.”[8] (garis bawah dari penulis)
Basyar
Awwad, Sekretaris Jenderal Muktamar Rakyat Islam, senada menyatakan: “Tak
diragukan lagi bahwa umat Islam sekarang menghadapi aksi-aksi agama Khomeini
yang munafik dan yang telah difatwakan oleh ulama-ulama Islam sebagai gerakan
yang keluar dari batas Islam.”[9] (garis bawah dari penulis)
Idealisme
Khomeini tentang Revolusi Iran tahun 1979 menginspirasi aktivis Islam di
belahan dunia, sekaligus menyingkap intrik-intrik politik Khomeini untuk
internasionalisasi Syi’ah yang ambisius. Strategi dan perencanaannya
sangat politis, namun tetap ideologis. Ambisinya boleh dikata melebihi
batas-batas ajaran Syi’ah. Tapi memang, status ajaran Syi’ah
pasca imam kedua belas ghaib tidak selalu stagnan, tapi berkembang. Mungkin
mengikuti jalur pemikiran para pengganti sementara imam Syi’ah. Dia
menegaskan, revolusi yang ia gerakkan bukan sekedar revolusi lokalitas Syi’ah
Iran, namun mencitrakan Republik Iran sebagai pusat global Islam (baca: Syi’ah).
Ambisinya bukan sekedar menjadikan dirinya pemimpin tertinggi Iran, atau
pempimpin kaum Syi’ah di dunia, tapi juga memimpikan semua elemen dunia
mengakuinya sebagai pemimpin tertinggi. Mimpi politis ini digerakkan oleh
tuntutan ideologis dengan konsep imamahnya.
Negara-negara
Syi’ah selalu bercirikan lima sifat sebagaimana disebutkan di bawah
ini:[10]
- Ulama melakukan oposisi sekalipun pemerintahan dikontrol oleh kaum Syi’ah;
- Ayunan bandul komitmen politik antara posisi taqiyyah dan ta’bi’ah, yang keduanya menolak otoritas duniawi;
- Intensitas kehidupan ritual, yang membuat dampak agama dirasakan dalam kegiatan sehari-hari manusia;
- Variasi luas para spesialis agama, yang meresapi seluruh struktur komunitas agama; dan
- Unsur pemberontakan yang tersirat dalam berbagai bentuk ibadah dan ritus kolektif, yang hampir seluruhnya berasal dari kesyahidan Imam Husaindi pertempuran Karbala.
Unsur
pemberontakan Syi’ahsangat terikat secara religius, memancar dari ajaran
agama Syi’ah, perhatikan pidato Syaikh Mahdi Syamsuddin dalam peringatan
Asyura di Lebanon tahun 1983:[11]“Islam (Syi’ah) adalah pemberontakan yang
terus-menerus, gerakan yang terus-menerus, proses pembaruan yang terus-menerus
dalam diri manusia.” (dalam kurung dari penulis)
Dukungan
pemerintah Iran dalam gerakan Syiahisasi, dapat diketahui salah satunya dari
Majalah Al Mujtama, Rabi’ul Awwal 1408H mengatakan:
“Bahwa
pemerintah Teheran mengeluarkan belanja untuk propaganda sama persis dengan
belanja perang. Mereka lebih mengutamakan untuk menyiarkan buku-buku yang lebih
bercorak pemikiran revolusi Iran dan mengelirukan aqidah Ahlussunnah. Mereka
telah mencetak berjuta-juta buku dalam berbagai tajuk di dalam berbagai bahasa
di dunia.”
Syi’ah saat ini tengah berupaya memperkuat
posisinya, terlebih lagi telah banyak dari mereka yang masuk ke Parpol dan
menjadi anggota DPR, salah satunya adalah Gembong IJABI, Jalaluddin Rakhmat.
Dia bersama isterinya Emilia Renita AZ termasuk orang yang paling aktif
melecehkan Islam, paling gemar menista Ummahatul Mukminin dan Sahabat
Nabi Muhammad SAW dalam banyak tulisannya. Kegemaran menista merupapakan amalan
wajib bagi agama Syi’ahRafidhahmamiyah-itna asyariyah (Syi’ah Iran).
Pengakuan Roeis Hukama, adik Tajul Muluk alias Ali Murtadlo, yang juga mantan
penasehat IJABI Sampang, menyatakan bahwa:[12]
“Pada saat
Shalat tidak pakai bacaan kiblati dan bacaan fardhu, kemudian sesudah salam ada
takbir 3 (tiga) kali yang intinya melaknat ke 3 (tiga) sahabat Nabi Muhammad
SAW, yakni Abu Bakar as-Shiddiq ra, Umar bin Khathab ra, dan Usman bin Affan
ra, karena dianggap kafir.” (garis bawah dari penulis)
Dengan
demikian, apa yang dilakukan oleh terpidana Tajul Muluk adalah sama dengan yang
dilakukan oleh semua Syi’ah di Indonesia, dan apa yang dilakukan oleh Syi’ah
di Indonesia adalah sama dengan yang dilakukan oleh Syi’ah Iran.
Lebih
lanjut, menyangkut gerakan politik Syi’ah di Indonesia, mereka saat ini
tengah memperjuangkan beridirnya marja al-taqlid[13], suatu otoritas
yuridis perpanjangan wilayat al-faqih[14] di bawah kekuasaan wali
al-faqih (rahbar) Ali Khamenei, imam Syi’ah sedunia, penerus
Khomeini.
Keberlakuan marja
al-taqlid yang bermuara kepada wilayat al-faqih menunjukkan adanya
potensi intervensi dari wali faqih. Contoh aktual adalah sebagaimana
yang terjadi di Lebanon dengan menguatnya gerakan Hizbullah. Sejak
kemunculan Hizbullah hingga sekarang, fungsi wali faqih
senantiasa tidak terpisahkan sari ideologinya.[15]Keberlakuan marja
al-taqlid bersifat lintas negara atau nonteritorial. Sifat nonteritorial
keberlakuan wilayat al-faqih dapat juga dilihat dari pernyataan Naim
Qassem (Sekjen Hizbullah), yang menyebutkan bahwa Imam Khomeini sebagai
pemimpin yang menetapkan instruksi politik yang umum bagi seluruh muslimin di
manapun berada.[16]Dikatakan juga bahwa keberadaan wali al-faqih
merupakan wali bagi seluruh umat Islam (baca: Syi’ah) dan yang kekuasaan
perintahnya tidak terbatas pada lingkungan di dalamnya.[17] Naim Qassem, juga
menyatakan bahwa negara asal seorang wali al-faqih tidak memiliki
hubungan dengan ruang lingkup kekuasaannya. Hal yang sama juga berlaku bagi
otoritas spiritual dan ruang lingkup geografis dari otoritas semacam itu. Boleh
jadi, ia adalah orang Iran atau Irak, orang Lebanon atau Kuwait, atau negara
lainnya. Karenanya, kebangsaannya tidak terkait dengan berbagai kualifikasinya,
karena dia melaksanakan tugas Islam dan bekerja untuk agama ini yang merupakan
rahmat bagi seluruh mahluk.”[18]Pendapat wali faqih sangat strategis dan
menentukan dalam bidang partisipasi, oposisi atau pemberontakan.[19] Sehingga
terlihat, wali faqih tampak sekali menentukan perintah yang terkait
dengan masalah-masalah seluruh umat, seperti penentuan “lawan atau kawan.”[20]
Ideologi
jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan lembaga wilayat
al-faqih yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap
aktivitas jihad. Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan
strategi jihadnya dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan
ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya.[21]Mohammed Hussein
Fadlullah, sebagai marja mengatakan:
“Pendapat
seorang faqih adalah pendapat yang memberikan legitimasi secara syari dan
sebagai wakil Imam, dan Imam adalah wakil Nabi Salla Allahu alaihi wa Sallam.
Karena Nabi Salla Allahu alaihi wa Sallam lebih lebih berhak untuk diutamakan
daripada diri mereka sendiri, maka Imam juga demikian. Faqih yang adil juga
demikian adanya.”[22]
Ideologi
jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan lembaga wilayat
al-faqih yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap
aktivitas jihad. Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan
strategi jihadnya dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan
ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya.
Syi’ah Iran istilah yang tepat
Dengan
menguatnya ekspansi ideologi transnasional Syi’ah Iran ke berbagai
negara, menjadi bahan renungan bagi kita untuk mendefinisikan ulang tentang
aliran-aliran Syi’ah sebagaimana banyak disebut dalam berbagai
literatur. Terkait dengan ini, tahukah pembaca, bahwa pendefinisian atas Syi’ah
bukan lagi disebut Syi’ah Jafariyah, Imamiyah, Itsna Asyariyah,
Zaidiyah, dan lain sebagainya, semuanya sekarang sudah tidak relevan
lagi! Apalagi nama samaran yang mereka kembangkan saat ini “Madzhab Ahlul
Bait” adalah suatu kebohongan besar,mengatasnamakan keluarga Nabi Muhammad
SAW, padahal mereka menghancurkan ajaran Islam yang ditransmisikan melalui
sahabat dan para keturunan Nabi Muhamamd SAW. Untuk itu penulis menamakannya
dengan “Syi’ah Iran.”Dikatakan demikian, oleh karena Syi’ah yang
dikembangkan sekarang ini berpusat dan dikendalikan oleh Iran, hanya untuk
kepentingan Iran belaka. Dalam analisis penulis, Khomeini dengan faksi ushulinya
telah banyak melakukan perubahan-perubahan mendasar, penyimpangan di atas
penyimpangan, kebohongan di atas kebohongan demi mewujudkan “kebangkitan bangsa
Persia.”
Mendukung
pernyataan bahwa Syi’ah yang ada di Indonesia dengan Syi’ah Iran,
diakui oleh Jalaluddin Rakhmat, dalam rekaman wawancara, yang menanyatakan: “apa
perbedaan Syi’ah di Indonesia dengan Iran?”, maka ia menjawab:
“Tidak ada.
Syi’ah di Iran menganut Syi’ah Itsna Asyariyah atau Imamah, yakni ajaran yang
mengutamakan masalah kepemimpinan. Ajaran itu tercantum dalam Undang-Undang
Iran. Dan kami juga Syi’ah Itsna Asyariyah.”[23]
Dia
menyebutkan ajaran yang mengutamakan masalah kepemimpinan, dimana ajaran itu
tercantum dalam Undang-Undang Dasar Iran, dengan demikian ia sebenarnya hendak
mengatakan bahwa Syi’ah Iran mengedepankan wilayat al-faqih dan
dengannya Syi’ah di Indonesia memiliki pandangan yang sama yakni mengacu
kepada wilayat al-faqih dimaksud.
Ketika kita
menyebut Syi’ah Iran, maka yang dimaksudkan adalah Syi’ah yang
dijuluki oleh Nabi Muhammad SAW yakni Syi’ah Rafidhah yang suka
mencaci-maki para sahabat, sebagaimana juga perkataan Zaid bin Ali Zainal
Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Penyebutan Syi’ah Iran
menggantikan penamaan Syi’ahImamiyah, Jafariyyah, Itsna Asyariyah dan
semua Syi’ah yang dikendalikan dan tunduk kepada Iran.
Perlu juga
diketahui bahwa berhasilnya Revolusi Iran dengan mempropagandakan “Tragedi
Berdarah Karbala” yang dianggap oleh kalangan Syi’ah sebagai Revolusi
Imam Husain as. Khomeini dengan sangat jelas mengatakan hal ini dalam berbagai
ceramahnya, bahwa keberhasilan Revolusi Iran tidak lepas dari pelaksanaan
tradisi Majelis Asyura.[24] Bahkan Ali Syari’ati menekankan pentingnya
berkorban dan kalau perlu setiap orang menjadi martir bagi perjuangan yang
mereka yakini. Dari hal itu muncul pernyataan, “Setiap tempat adalah
Karbala, setiap hari adalah Asyura.” Begitu pun keberhasilan Hizbullah
juga mengangkat tema sentral jihad Imam Husain pada setiap peringatan Asyura
(10 Muharram). Ritual Karbala (Asyuro) semakin meningkatkan watak
defensif ideologi jihad Hizbullah, sebagaimana juga dipraktekkan pada
saat menjelang Revolusi Iran tahun 1979.
Syi’ah dalam banyak ajarannya khususnya
tentang imamah dan pengorbanan Revolusi demi Imam Husain as telah
menjadikan pengikutnya begitu sangat fanatik. Terkait dengan sifat fanatik
ajaran Syi’ah ini, Saefuddin Buchori mengatakan bahwa suatu ajaran yang
dipegang secara fanatik biasanya menimbulkan keinginan di kalangan pengikutnya
untuk berkuasa.[25]
Bantahan klaim Syi’ah: “NU adalah Syi’ah
minus Imamah”
Perlu
penulis sampaikan terkait dengan banyaknya ungkapan yang beredar, “NU adalah Syi’ah
minus Imamah“, dan “Syi’ah adalah NU plus Imamah.”
Ungkapan ini berasal dari alm. Gus Dur, sayangnya kebanyakan orang tidak
mengerti apa yang dimaksudkan alm. Gus Dur, dan memang ucapannya yang kadang
membuat orang terkecoh.
Perlu
diketahui, perbedaan pokok antara NU (termasuk kaum Sunni lainnya)
dengan Syi’ah memang imamah, kalau disebut “NU adalah Syi’ah minus
imamah” berarti imamah itu tidak ada artinya di mata NU. NU tidak
mengakui imamah sebagai doktrin utama Syi’ah.
Sebaliknya
jika disebut “Syi’ah adalah NU plus imamah“, maka bermakna Syi’ah
telah jauh menyelisihi NU dan tentunya kaum Ahlussunnah lainnya, plus
disini berarti Syi’ah sangat berlebihan sampai kepada taraf yang
membuatnya terlepas dari persamaannya dengan NU (Sunni). Posisi “plus”
sama dengan “Nasrani” yang berlebihan dengan mengatakan Isa AS adalah “anak
Tuhan”. Itulah hakikat makna pernyataan alm. Gus Dur yang penulis pahami,
walaupun Syi’ah dan sekutunya mengingkari.
Persamaan
walaupun ada, tidak dapat dikatakan bisa menyatu, sebagaimana minyak tanah
dengan air, sama-sama benda cair tapi keduanya sampai hari kiamat tidak akan
pernah menyatu! Demikian pula antara Sunni dengan Syiah! Hanya
orang dungu dan bodohlah yang mengatakan keduanya bisa menyatu.
Menghormati Ahlul
Bait Rasulullah SAW adalah tradisi Sunni yang sudah berakar. Karena
itu, maka pembacaan Diba’ hanya popular di kalangan Sunni. Diba’
di Iran tidak dibaca seperti di sini. Menghormati Ahlul Bait, sekali lagi,
tidak identik dengan Syi’ah.[26] Ungkapan alm. Gus Dur, bahwa “NU itu
lebih Syi’ah dari Syi;ah di Iran”, haruslah diartikan bahwa memang keduanya
sama-sama menghormati Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW. Bahkan kaum Nahdhliyn
tidak pernah membeda-bedakan para imam seperti yang dilakukan oleh kaum Syi’ah:
ada yang meyakini enam imam, tujuh imam, ada pula yang 12 imam.[27]
Ketika Bung
Karno menggagas konsep Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom), ketika itu pula
kalangan Islam menolak, dan menyatakan protesnya, karena Islam dan Komunis
tidak mungkin dapat bersatu walaupun untuk dan atas nama perjuangan revolusi.
Jika sekarang ada segelintir orang menyataan Sunni-Syiah dapat
dipersatukan, maka orang tersebut sama dengan pemikiran orang-orang terdahulu
yang menganggap Islam dan Komunis dapat bersatu.
Penutup
Rafidhah
semuanya berdiri atas dasar kecintaan kepada Ahlul bait, mereka menyatakan
loyalitas terhadap mereka dan berlepas diri dari orang awam yaitu Ahlus Sunnah.
Mereka membenci hampir seluruh sahabat Nabi Muhammad SAW, terutama ketiga
Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar ra, Umar ra, dan Utsman bin Affan ra) dan ‘Aisyah
binti Abu Bakar ra, hal ini mereka dasarkan dengan fitnah bahwa mereka
menentang Ahlul Bait.[28] Sebagai tanda atau alamat Rafidhah mereka mencerca
Abu Bakar ra dan Umar bin Khathab ra, sebagaimana perkataan imam Ahmad: “Telah
berkata Abdulah bin Ahmad: Aku bertanya kepada ayahku, “Siapa Rafidhah itu?”
Dia menjawab mereka adalah yang mencela Abu Bakar ra dan Umar ra.” (Abu Bakr
bin Ahmad dalam Assunnah, 3/492)
Fitnah Syi’ah
Iran telah merasuk sedemikian kuat ke dalam pemikiran-pemikiran intelektual
serta kaum muda bangsa Indonesia. Sungguh kebenaran nubuwwat Nabi
Muhammad SAW telah terbukti, beliau Rasulullah SAW bersabda,
“Jika telah
muncul fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah serta para sahabatku dicaci-maki, maka
seorang alim harus menampilkan ilmunya. Siapa yang tidak melakukan hal itu maka
ia akan terkena laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia”.[29]
Oleh karena
itu menjadi kewajiban penulis untuk menyampaikan makar provokasi Syi’ah
Iran ini kepada ummat Islam, dengan harapan agar selalu waspada dan siaga
terhadap gerakan-gerakan mereka yang penuh dengan tipudaya.
————————————–
[1] Ini
doktrin fundamental Syi’ah, sangat efektif dalam rangka menjaring massa
(kaum awwam Sunni).
[2] Dapat
dikatakan marja al-taqlid merupakan resultan aplikasi konsep wilayat
al-faqih sebagai kelanjutan ideologi imamah. Kelicikan Khomeini
telah berhasil membangun Syi’ah yang agresif, ekspansif dan militan,
sehingga Iran memiliki daya tawar di kancah dunia internasional.
[3]
Khomeini,al-Hukumah al-Islamiyah, Teheran: Dar Kutub Islamiyyah, tt,
hlm.20
[4]
Kemampuan Iran menandingi Irak ternyata didukung oleh Amerika Serikat. Hal ini
dibuktikan dengan adanya “Iran Gate” sebagaimana banyak dilaporkan media
internasional pada waktu itu.
[5] Pendapat
Ibnu Katsir mengatakan Imam Mahdi bukan dari Imam Syi’ah yang
diklaimnya, melainkan dari keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Lihat al-Bidayah
wa-Nihayah, pembahasan tentang Akhir Zaman (Imam Mahdi), karya Ibnu Katsir.
[6] Skenario
dua imam menjelang kiamat bisa saja terjadi, sebagaimana keyakinan Syi’ah
meyakini Ali bin Abi Thalib ra sebagai Imam yang sah dihadapkan dengan tiga
khalifah: Abu Bakar ra, Umar bin Khaththab ra dan Utsman bin Affan ra.
Bedanya Ali bin Abi Thalib ra dikatakan Syi’ah sedang bertaqiyyah pada
saat itu, sedangkan pada masa akhir zaman nanti taqiyyah sudah tidak
berlaku, digantikan dengan tabi’ah. Tabi’ah adalah suatu kondisi
kebalikan dari taqiyyah, yakni menunjukkan jatidiri secara
terang-terangan.
[7] M. Kamil
Al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syiah, (Terjemah H.M. Rasyidi), Bulan
Bintang. Jakarta, 1989, hlm.215.
[8] Ibid.,
hlm. 217.
[9] Ibid.,
hlm. 211.
[10] Fuad I.
Khuri, Imam dan Emir, Negara, Agama, dan Sekte di Dalam Islam, Judul
Asli: Imams and Emirs, State, Religion and Sects in Islam, Ctk Pertama,
Bandung: Pustaka, 2002, hlm.121
[11]Ibid,
hlm.119.
[12]
Berdasarkan hasil wawancara dengan MUI Sampang, Sabtu tanggal 31 Desember 2011,
bertempat di kantor Kejaksaan Negeri Sampang. Keanggotaan Tajul Mulul dan Roeis
Hukama sebagai pengurus IJABI Sampang diakui oleh Jalaluddin Rakhmat, dia yang
secara resmi melantik keduanya. Pengakuan Jalaluddin Rakhmat ini dapat dilihat
pada: http://misykat.net/Kisah Kang Jalal Soal Syiah Indonesia.
[13]Kelembagaan
marjaiyat sebenarnya hanya berlaku di wilayah Iran, namun dengan
berhasilnya Khomeini meruntuhkan kekuasaan Shah Pahlevi, kelembagaan marjaiyat
dikembangkan di berbagai negara. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pengembangan
marjaiyat ke beberapa negara merupakan konsekuensi logis dari konsep wilayat
al-faqih yang menempatkan seorang wali al-faqih sebagai satu-satunya
pemimpin Syi’ah di dunia ini. Dengan hadirnya otoritas marjaiyat di
berbagai negara membuktikan ekspansi ideologi Syi’ah Iran terbukti benar
adanya.
[14]Otoritas
kelembagaan wilayat al-faqih dibentuk dalam rangka menunggu hadirnya
Imam Mahdi as selama dalam masa kegaibannya (ghaib kubro). Secara
skematis, tata urutan kepemimpinan menurut Syi’ah setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW adalah hak para imam ma’shum(wilayat al-aimmah) mulai dari
Ali bin Abi Thalib ra sampai dengan Imam Mahdi as. Ketika Imam Mahdi dalam masa
kegaiban, maka kekuasaan kepemimpinan berada pada seorang yang faqih.
Dengan demikian, imamah adalah adalah kelanjutan dari nubuwwah,
dan wilayat al-faqih kelanjutan dari imamah, begitupun marja
al-taqlid adalah pula konsekuensi logis dari wilayat al-faqih.
[15] Hizbullah
berpandangan, semua dalil dan kemaslahatan yang meniscayakan kehadiran Nabi SAW
dan pengganti belaiu dengan semua sifat dan kualifikasi tertentu yang wajib
mereka miliki – dalam bobot yang sama – juga meniscayakan kehadiran wakil Imam
di zaman kegaiban ini. Sehingga, keniscayaan ini mengantar Hizbullah
untuk berpegang pada wali faqih yang mampu memimpin masyarakat Islam
kepada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan mewujudkan keadilan sosial.
Lihat: Musa Kazhim, Hizbullah Sebuah Gerakan Perlawanan ataukah Terorisme,
Cet.ke-1, Mizan Media Utama, Jakarta, 2013, hlm.76.
[16]Naim
Qassem Blue Print Hizbullah, Rahasia Manejemen Ormas Islam Tersukses di
Dunia, Ufuk Press, Jakarta, 2008, hlm.80
[17] Ibid,
hlm.83.
[18] Ibid,
hlm.79.
[19] Ibid,
hlm.78.
[20]
Ibid, hlm.79.
[21] Ibid,
hlm.65.
[22] Al
Hukumah Al Islamiyah, Penerbit: Muassasah Tandhim Wa Nasyrut Turats Imam
Khumaini, cet ke 4, hlm. 72
[23] Sumber
: http://misykat.net/ Kisah Kang Jalal Soal Syiah Indonesia, diunduh pada
tanggal 15 Mei 2014, jam: 16.45 WIB.
[24] Hatem
Abu Shahba, The Word Finally Speaks at Karbala Tribunals, edisi
Indonesia: Mahkamah Internasional Tragedi Karbala, Cet.ke-1, Nur
Al-Huda, Jakarta, 2013, hlm.7.
[25]
Saefuddin Buchori,Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermasa,
2009.hlm.249.
[26]
Mohamamd Baharun, Tantangan Syiah…Op.Cit, hlm.122.
[27] Ibid,
hlm.118.
[28] Abu
Hazim Muhsin bin Muhammad Bashori, Bahaya Syiah Rofidhoh Bagi Dunia Islam,
cet.2, (Sidorejo: Maktabah Daarul Atsar, 2013), hlm.11.
[29]
Ditakhrij oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jami’ fi Adab al-Rawi
wa al-Sami”,Kitab Muqaddimah Qanun Asasi Jam’iyah NU, hlm.25-26.
(azm/arrahmah.com)
- See more
at:
http://www.arrahmah.com/kajian-islam/rekayasa-sistematis-khomeini-dalam-menyatukan-sekte-syiah-dan-mengelabui-umat-islam-bag-2-habis.html#sthash.x290F8SH.dpuf