Oleh:
Al-Ustadz Subki Saiman, MA. (Ketua LKS Al-Maqashid Syariah)
DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM. (Divisi Fatwa dan Pengkajian Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia DKI Jakarta, dan Peneliti Ahli LKS Al-Maqashid Syariah)
Al-Ustadz Subki Saiman, MA. (Ketua LKS Al-Maqashid Syariah)
DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM. (Divisi Fatwa dan Pengkajian Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia DKI Jakarta, dan Peneliti Ahli LKS Al-Maqashid Syariah)
(Arrahmah.com)
– Revolusi Iran dan kebangkitan Syi’ah
Iran pada
saat ini telah lebih maju dan berhasil melakukan politik konsolidasi, sehingga
mengantarkannya di level integrasi. Semenjak berdirinya revolusi Iran, Khomeini
dengan faksi ushulinya bekerja keras untuk mencapai kebangkitan Syi’ah
yang kita ketahui dalam perjalanan sejarahnya mengalami berbagai perpecahan dan
bahkan beberapa kali terjadi krisis imam.[1]
Saat ini,
perpecahan dan krisis imam tidak lagi menjadi masalah. Diyakini oleh kaum Syi’ah
bahwa Khomeni telah berhasil “mengatasi masalah tanpa masalah”. Namun, dalam
perjalanannya telah menimbulkan masalah baru, yang justru lebih hebat, yakni
pertentangan antara Sunni dengan Syi’ah yang semakin tinggi dan
meluas di berbagai negara, tak ketinggalan di Republik Indonesia. Terjadinya
konflik berdarah tidak dapat dilepaskan dari rencana besar Khomeini untuk
menguasai dunia melalui ekspansi ideologi imamah Syi’ah Iran.
Tidak ada
suatu negara di dunia ini yang mampu melahirkan ideologi yang bersumber dari
ajaran agama yang menyimpang. Tidak pula ada suatu negara yang berhasil
melakukan ekspansi ideologi politik dan ajaran keagamaan secara bersamaan ke
berbagai negara.[2] Hanya satu-satunya negara yang berhasil melakukan itu,
yakni Iran. Sejatinya jika kita meneliti suatu gerakan ideologi-keagamaan yang
hendak diekspansi ke suatu negara, dalam hal ini Iran, maka kita harus mengacu
kepada sistem politik dan sistem hukum serta faktor geopolitik[3] yang mempengaruhinya,
selain pendekatan sejarah keagamaan. Pasca revolusi Iran, Khomeini telah
mengambil bentuk ideologi-politik tersendiri yang dielaborasi melalui doktrin
keagaman Syiah Imamiyah-Itsna Asyariyah.
Terdapat
suatu teks makalah karya Mahdi al-Husaini, sebagaimana dikutip oleh Muhammad
Kamil al-Hasyimi dalam bukunya “Aqaidus-Syi’ah fil-Mizan,” disebutkan: “bahwa
Revolusi yang dikehendaki Allah adalah Revolusi Syi’ah pada permulaannya, Islam
pada lafalnya, dan Internasional pada tujuannya.” Islam yang dimaksudkan
oleh Iran adalah Madzhab Jafari-Itsna Asyariyah (dua belas imam), dan
itulah yang tertulis dalam Konstitusi Republik Syi’ah Iran yang menjadi
pedoman Revolusi Khomeini.
Membedah
Integrasi Syi’ah Iran dan Ekspansi Ideologi ke Negara-negara Sunni
Dalam
konstitusi Iran disebutkan bahwa:
“Republik
Islam adalah suatu rezim yang berdiri di atas Imamah dan pemerintahan yang
terus menerus.” (Pasal 2). “Agama
resmi Republik Iran adalah Islam yang bermadzhab Jafari dua belas Imam,dan
pasal ini tidak dapat dirubah sepanjang masa.“ (Pasal 12).
Kedua pasal
ini adalah pasal kunci (sentral). Namun, mohon pembaca perhatikan! adakah suatu
hal yang bersifat kebetulan? Substansi Pasal 2 adalah imamah dan
pemerintahan yang terus menerus, imamah bagian dari aqidah (Rukun
Iman Syi’ah) sedangkan “pemerintahan” (al-wilayah) bagian dari syariat
(Rukun Islam Syi’ah). Kedua rukun tersebut (imamah dan wilayah)
bersifat fundamental, dan menariknya kedua rukun tersebut ditempatkan di “Pasal
Dua”. Mungkin pembaca menganggap ini suatu hal yang tidak direncanakan oleh
pembentuk konstitusi, tetapi asumsi ini terbantahkan ketika kita melihat
rumusan Pasal 12, “Agama resmi Republik Iran adalah Islam yang bermadzhab
Jafari dua belas Imam dan pasal ini tidak dapat dirubah sepanjang masa.”
Dua belas Imam masuk ditempatkan dalam “Pasal Dua Belas”, apakah ini kebetulan?
Lebih
lanjut, keberlakuan kedua pasal tersebut harus kita cermati dan kritisi, apa
maksud filosofis pembentuk konstitusi Iran menentukan ketentuan imamah
dan wilayah serta sebutan madzhab Jafari dua belas Imam.
Setidaknya, terdapat beberapa alasan, sebagai berikut: pertama, mengapa
harus Jafari dua belas Imam (Itsna Asyariyah) yang tidak dapat dirubah
sepanjang masa. Kedua, Republik Islam adalah suatu rezim yang berdiri di
atas imamah dan pimpinan yang terus menerus.” Ketiga, adanya
kelembagaan otoritas ulama dengan konsep wilayat al-faqih(Iran: velayat-i
faqih)dalam memegang kendali kekuasaan baik dalam ranah keagamaan
(religius) maupun pemerintahan (politik), yang dikendalikan secara sentralisasi
melalui seorang wakil Imam Mahdi yang sedang dalam masa ghaib khubro,
yakni dengan sebutan rahbar atau wali faqih, saat ini dijabat
oleh Ali Khamenei yang menggantikan Khomeini. Mengapa pula sebutan “pemimpin
besar revolusi” masih masih melekat padanya. Mengacu kepada ketiga pertanyaan
di atas, maka kita tidak dapat hanya mengandalkan melalui pendekatan teologis Syi’ah
semata, melainkan juga dengan pendekatan ilmu politik dan ilmu hukum, dan
ilmu lainnya.
Bertemunya
paham keagamaan dan ideologi pasca berdirinya Revolusi Iran,[4] sebagaimana
tersebut dalam konstitusi menunjukkan adanya dualisme kekuasaan. Dualisme
kekuasaan dalam wilayat al-faqih sengaja dibangun sebagai eksistensi (legal
standing) wakil imam kedua belas (Imam Mahdi versi Syi’ah) yang
dalam masa ghaib khubro. Berdasar kenyataan ketiadaan imam, maka menjadi
masuk akal bagi penganut ajaran Syi’ah harus adanya wakil sang Imam
Ghaib. Tidaklah mungkin menurut pandangan faksi ushuli,Syi’ah dapat
tegak tanpa adanya wakil Imam Ghaib. Untuk meneguhkan abadinya ajaran Syi’ah,
maka harus ada suatu hukum dasar (konstitusi) yang berlaku universal, berlaku
sepanjang masa bagi semua pengikut Syi’ah dimana saja mereka berada.
Universalitas ajaran Syi’ah Iran inilah yang memberi semangat penganut Syi’ah
untuk selalu memperjuangkan berdirinya pemerintahan ala imamahSyi’ah
Iran, dimana pun mereka berada. Untuk menjaga agar paham ideologi-religius Syi’ah
Iran selalu eksis diadakanlah pelarangan penghapusan doktrin imamah dan
pemerintahan – yang disebutkan terus menerus – (al-wilayah), hukum imamah
harus ditegakkan walaupun “dunia akan runtuh,” persis slogan hukum
Yunani “fiat justitia et pereat mundus”.[5] Penyebutan agama Islam
sebagai agama resmi Iran sangat penulis ragukan, sesungguhnya Iran menyebut
Islam untuk taqiyyah, agar orang suka kepada madzhab Ja’fari dua
belas imam atau Syi’ah Imamiyah-Itsna Asyariyah, sehingga Republik Iran
dapat juga disebut “Republik Taqiyyah.”Ketika Imam Mahdi muncul menjelang
al-Mahamah al-Khubro, maka kekuasaan diserahkan kepadanya dan dengan sendirinya
sistem Reppublik berakhir secara otomatis.
Selanjutnya,
penggunaan nama Jafari yang disebut mendahului dua belas imam,menjadi
alat propaganda untuk menunjukkan bahwa Imam Jafar adalah sebagai pendiri madzhabJafari.
Klaim sebagai pendiri madzhab ini demikian kuat pengaruhnya di kalangan
para kaum Sunni yang awwam, mengingat semua keturunan Nabi
Muhammad SAW dari jalur Husain bin Ali Bin Abi Thalib ra harus melalui “pintu
nasab” Jafar As-Shadiq ra. Terlebih lagi para Imam Sunni pernah belajar
kepada Ja’far As-Shadiq ra[6], seperti Imam Malik ra dan Imam Hanafi ra.
Kepopuleran madzhab Jafari, pasca Revolusi Iran sampai ke negeri
Malaysia dan Indonesia. Sebagai contoh di Malaysia sebelum adanya pelarangan
ajaran Syiah pada tahun 1996, pengakuan dan kebolehan mengamalkan ajaran
Syiah disebutkan Syi’ahJafariyahatau Zaidiyah, bukan Itsna
Asyariyah. Syi’ah Jafariyah ini kemudian diklaim oleh Syi’ah sebagai
madzhabAhlul Bait, dan hingga sekarang istilah ini tetap melembaga,
suatu madzhab keluarga suci Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya,
pelekatan kata madzhab ini juga sengaja diarahkan oleh Syi’ah Iran, dimaksudkan
agar orang mempercayai bahwa Syi’ah adalah sebagai salah satu dari madzhab
resmi Islam. Seolah-olah perbedaannya dengan Sunni hanya di ranah furuiyyah/fiqiyyah
belaka dan bukan dalamranah ushuluddin (aqidah). Melalui propaganda
penamaan Madzhab Jafari dua belas imam inilah Iran telah berhasil
menghimpun pecehan-pecahan aliran Sy’iah yang terserak di berbagai
dunia, terlebih lagi dengan keberhasilan Khomeini membentuk Republik Islam
(baca: Syi’ah) Iran dan kampanye melawan AS dan Zionis Yahudi. Iran
melekatkan nama dua aliran – Jafariyah dan Itsna Asyariyah – yang
sesungguhnya berbeda, Jafariyah adalah salah satu aliran dalam Syi’ah
yang menganggap imamah berhenti pada Imam Jafar as-Shadiq, dengan
demikian terkenal dengan sebutan aliran sittah (enam imam). Sedangkan Itsna
Asyariyahberpendirian bahwa imamah itu masih berkelanjutan dari
turunan Ja’far As-Shadiq ra sampai kepada al Imam yang kedua belas, yakni al
Imam Muhammad bin Hasan Askari.
Penelusuran
literatur menunjukkan perpecahan Syi’ah paling banyak pasca Imam Jafar
As-Shadiq wafat, dengan lahirnya aliran Ismailiyah, Druze, Dawoodi
Bohra, Hafizi, Nizari, dan lain-lain. Adapun aliran Zaidiyah tidak
dimasukkan sebagai bagian dari Itsna Asyariyah, dikarenakan pemikirannya
yang dekat dengan Sunni.
Keuntungan
lain menggunakan term madzhab adalah meniadakan penetangan dari kalangan
Sunni, kalaupun ada penetangan maka pendekatan yang dibangun adalah
melalui media taqrib antara Sunni dengan Syi’ah. Media taqrib
inilah yang cenderung diperjuangkan oleh Syi’ah Iran sebagaimana
pertemuan antara tokoh-tokoh agama dari berbagai negara terkenal dengan
Deklarasi Amman (Amman Mesaage). [7]
Taqrib diberdayakan ketika posisi Syi’ah
dalam situasi dan kondisi yang lemah, tapi tidak berlaku ketika ia mampu
menandingi Sunni seperti yang terjadi di Irak, Lebanon dan Suria, apalagi
di Iran.
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya bahwa Syi’ah Iran menggunakan penamaan Jafari
dengan mengambil nama madzhab Ahlul Bait, dimaksudkan untuk mengelabui
kaum awwam Sunni agar percaya dan yakin bahwa ajaran itu memang berasal
dari keluarga suci Nabi Muhammad SAW. Sifat yang sangat berlebihan (ghuluw)
dan pengkultusan para imam yang melebihi derajat para malaikat dan para Rasul
memang dikehendaki agar menumbuhkembangkan kepatuhan dan ketaatan. Adapun
setiap orang yang menentang ajaran Syi’ah Iran akan selalu disematkan
tuduhan nawashib/khawarij (golongan anti Ahlul Bait).[8]
Pengakuan Syi’ah
bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq merupakan Imam dari golongan Syi’ah Imamiyah,
sejatinya tak lebih hanya sekedar apologi belaka, sebab kenyataannya keyakinan
dan perilaku beliau bertolak belakang dengan keyakinan dan perilaku Syiah.
Contoh kecil, sudah tidak asing bahwa komunitas Syiah sangat benci terhadap
Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra dan Sayyidina Umar bin Khathtab ra. Namun
sikap Imam Ja’far ash-Shadiq kepada beliau berdua sangat mengagumkan. Dalam
kitab al-Masyra’ ar-Rawi, juz I hlm.86 yang dikutip dari Mauqif
al-’Alawiyyin Tujjah as-Syiah, hlm.12, Imam Ja’far ash-Shadiq berkata “Aku
lepas tangan dari orang-orang yang membenci Abu Bakar dan Umar. Jika sekiranya
aku berkuasa, niscaya aku akan mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan
darah orang-orang yang membenci keduanya.”[9]
Ja’far
ash-Shadiq berkata : “Sesungguhnya Aku dilahirkan oleh Abu Bakr dua kali”.
Ibunya adalah Ummu Farwah, dan namanya adalah Qaribah binti Al-Qasim bin
Muhammad bin Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallaahu ‘Anhu. Dan Ibu dari Ummu
Farwah) adalah Asma binti ‘Abdur-Rahman bin Abu Bakr Ash-Shiddiq.
Contoh
konkrit propaganda penamaan madzhab Ahlul Bait ini dipraktekkan oleh
Tajul Muluk, yang mengatakan bahwa Syi’ah adalah ajaran yang diajarkan
para sesepuhnya dan Habaib dan mereka adalah Syi’ah sejati.
Dengan mengatasnamakan para Habaib, sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW
yang diklaim sebagai Syi’ah sejati menjadi alat penyebaran dakwah Syi’ah
yang sangat efektif. Salah satu Ormas Syi’ah mengambil nama “Ahlul Bait
Indonesia (ABI),” lebih kental bernuansa habaibisme dengan dibuktikan
para petingginya dari kalangan habaib,[10] antara lain, Umar Shahab,
Husein Shahab, Haidar Baqir, Hasan Daliel Alaydrus, dan lain-lain. Perlu
diketahui pembentukan Ormas DPP Ahlul Bait Indonesia (ABI) ini sangat bersifat
politis, pada awalnya ia hadir dalam rangka mengcounter peristiwa Sampang.[11]
Tentu
menjadi pertanyaan, kemana Jalaluddin Rakhmat selaku penanggung jawab (Ketua
Umum) IJABI, yang notabene Tajul Muluk adalah pengurus IJABI Sampang. Jawaban
atas pertanyaan itu adalah sebagai siasat mengedepankan ahlul bait
sebagai nama samaran memang ditujukan untuk membangun taqrib dan ukhuwah
Islamiyyah yang palsu. Dengan hadirnya ABI sebagai ormas Syi’ah yang
baru, tentunya agar lebih dapat diterima oleh kalangan Nahdliyin,
Untuk
memperjelas rekayasa Khomeini dalam mengembangkan ajaran Syi’ah Iran
dijelaskan melalui batu bangun perjuangan Iran dalam menegakkan
ideologi-religius sebagai berikut di bawah ini.
[1] Krisis
Imam pertama, ketika al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra menyerahkan kekuasaan
kepada Muawiyah ra yang terkenal dengan tahun jama’ah (tahun persatuan).
Krisis Imam kedua, ketika al-Husain bin Ali bin Abi Thalib ra terbunuh dalam
perang di Karbala. Krisis Imam ketiga, ketika Zaid bin Zainal Abidin tidak
mengakui pada pencela Syaidina Abu Bakar as-Shiddiq ra dan Syaidina Umar bin
Khathab ra, dan menyematkan julukan Rafidhah kepada mereka. Krisis Imam
keempat, ketika wafatnya Ismail bin Jafar as-Shiddiq. Krisis Imam kelima ketika
Al-Hasan Askari bin Ali al-Hadi wafat dan tidak meninggalkan keturunan,
kemudian direkayasa dalam riwayat mereka bahwa anak dari al-Hasan Askari yakni
Muhammad Al-Mahdi sebagai imam terakhir yang dalam masa ghaib khubro, kelak di
ahkir zaman akan muncul menjadi pemimpin umat Islam. Lihat lampiran perpecahan
imam Syi’ah.
[2] Ideologi
politik versi Ikhwanul Muslimin yang di Indonesia – sebagai salah satu
contohnya – dikembangkan melalui Hizbut Thahir Indonesia (HTI) dalam tataran
keagamaan tidaklah menyimpang sebagaimana Syi’ah. HTI mengusung konsep “khilafah”
bukan “imamah.” Tidak ditemukan adanya paham mendiskualifikasikan para khalifah
pengganti Nabi Muhammad SAW. Iran menjadilan dirinya sebagai pusat (basis)
kekuatan dan berbagai negara dijadikannya seperti negara bagian – sebagaimana
Suria dan Lebanon – dengan konsep Marjaiyat, dan ini telah terbukti.
Adapun HTI yang ada di Indonesia tidak menjadikannya sebagai bagian integral
dari Ikhwanul Muslimin yang dikembangkan di Mesir. Bahkan kekuatan Ikhwanul
Muslimin – negara asal pembentuk gerakah khilafah – keadaannya tidak
menentu dan mengalami kemunduran. Singkat kata, belum pernah ada negara
Ikhwanul Muslimin di dunia ini. Adapun gerakan “salafi” tidak dapat
dikatakan sebagai gerakan ideologi-politik, namun hanya gerakan keagamaan
semata yang tidak ada sangkutpautnya dengan perjuangan mendirikan suatu negara
dalam negara.
[3] Posisi
Iran sangat menguntungkan, karena menguasai selat Hormuz. Apabila Iran
melakukan blokade Selat Hormuz, berpotensi merusak perekonomian dunia.
Kapal-kapal tanker pembawa minyak mentah dari negara-negara produsen minyak di
Teluk Persia, seperti Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, dan
Iran sendiri, harus melewati selat sempit itu untuk menuju lautan lepas. Inilah
sebabnya AS tidak berani melakukan perang dengan Iran, beda halnya dengan Irak.
Jadi tidak benar jika dikatakan AS merasa takut dengan kekuatan militer Iran,
yang benar adalah ketakutan AS dan seluruh dunia jika dilakukan blokade yang
berdampak pada tidak adanya suplai minyak dan melambungnya harga minyak dunia,
akibat akhir “krisis ekonomi dunia.”
[4] Penulis
memandang Revolusi Khomeini bukanlah Revolusi Islam sebagaimana yang
didengungkan pada saat itu dan diyakini hingga saat ini. Revolusi itu melainkan
hanyalah Revolusi Syi’ah belaka, perseturuan antara faksi Ushuli versus
Akhbari yang kemudian dimenangkan oleh Ushuli, dimana Khomeini
termasuk dalam faksi Ushuli ini. Untuk mendalami perseturuan
faksi Ushuli vs Akhbari serta pengadopsian sistem kepausan dalam
konsep wilayat al-faqih(rahbar), baca: Mohammad Baharun, Epistemologi
Antagonisme Syi’ah dari Imamah sampai Mut’ah, Cet. V. Pustaka Bayan
bekerjasama dengan Bina Aswaja, Jawa Timur, 2013.
[5] Tidak
dapat dirubahnya ketentuan Pasal 12 ini jelas menunjukkan kediktatoran Iran
dalam memaksakan ideologinya dan mengekspornya ke seluruh pengikut Syi’ah dimana
saja mereka berada.
[6] Imam
Ja’far ash-Shadiq itu adalah guru besar para pendiri madzhab. Beliau
adalah ‘allamah besar yang pengajian-pengajiannya digelar di Madinah tanpa taqiyyah.
Beliau tidak menginggalkan satu buku standar tentang madzhab seperti
para imam pendiri madzhab. Tapi inspirasi para pendiri madzhab
itu didapati dari imam Ja’far ash-Shadiq. Beliaulah guru utama mereka.
[7] Kaum Rafidhah
selalu berlindung dibalik konsensus Deklarasi Ammanuntuk legitimasi penyebaran Syi’ah.
Risalah Amman yang selama ini selalu menjadi landasan bagi Syi’ah untuk
menebarkan pengaruhnya bukanlah kesepakatan pembenaran atas penyimpangan aqidah.
Menurut Mohammad Baharun, Risalah Amman bukanlah cek kosong, Risalah Amman
bukan pula kesepakatan pembenaran atas keyakinan menyimpang Rafidhah,
yaitu doktrin caci-maki kepada para pembesar Sahabat dan isteri Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wassalam, apalagi pembenar doktrin tahrif. Solusi
damai antara Syi’ah dan Sunni justru dengan membuat jarak yang
jelas dan tidak mengelabui umat. Karena perbedaannya bukan di ranah mazhab
fiqih saja, melainkan keyakinan aqidah. Risalah Amman tahun 2005juga
tidak mengikat seluruh ulama yang hadir. Faktanya adalah Syeikh Yusuf
Al-Qaradhawi (Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional) yang ikut tercantum
namanya sebagai penandatangan Risalah Amman,telah merilis tiga fatwa tentang Syi’ah
Imamiyah di dalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid 4 yang terbit pada
tahun 2009. Dalam fatwanya, beliau membongkar kesesatan Sy’iah Imamiyah
dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan aqidah antara Sunni dan
Syi’ah, hukum mencaci para sahabat Nabi dan sikapnya tentang pendekatan
(taqrib) Sunni-Syiah pasca Muktamar Doha-Qatar tanggal 20-22
Januari 2007. Lihat: Mohammad Baharun, “Pakar Syiah Indonesia Dukung Langkah Syeikh Al Azhar“,
http://www.hidayatullah.com. Diunduh pada tanggal 15 Mei 2014, jam: 16.50 WIB.
[8] Hal ini
adalah suatu yang lumrah terjadi, dan memang menjadi alat bagi mereka untuk
menekan perlawanan terhadap Syi’ah. Menarik untuk disimak adanya
pernyataan bahwa masalah Syi’ah adalah masalah habaib, masalah “duren
dengan duren”. Pernyataan ini tidak benar, penulis ketika mewancarai
Al-Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff, Al-Habib Achmad bin Zein Al-Kaff dan
Mohammad Baharun, menolak statemen tersebut. Pernyataan keras dikatakan oleh
Al-Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff, “memangnya agama ini milik Habaib!”.
[9]
Sebagaimana dikutip oleh Mohammad Baharun, Tantangan Syi’ah Terhadap
Ahlussunnah, Jawa Timur, Pustaka Sidogiri, 2008, hlm.57-58.
[10] Menurut
Al-Habib Achmad bin Zen Al-Kaff, tidak ada Habaib yang menjadi Syi’ah,
kalaupun ada orang tersebut bukan Habib tapi “Mantan Habib.”
Mereka otomatis telah melepaskan ke-Habaiban-nya ketika menjadi penganut
Syi’ah.
[11]
Pembentukan DPP ABI dengan menghadirkan kalangan para “mantan Habib” ini
didayagunakan untuk membela Tajul Muluk dan sekaligus mengkampanyekan bahwa Syi’ah
adalah madzhab Ahlul Bait. Dalam banyak kesempatan mulai dari
kegiatan safari petinggi ABI ke pondok-pondok pesantren Sunni pasca kasus
Sampang, dan memberikan kesaksian yang meringankan terdakwa Tajul Muluk hingga
acara Indonesian Lawyer Club, dengan berbagai pembelaannya. (azm/arrahmah.com)
- See more
at: http://www.arrahmah.com/kajian-islam/rekayasa-sistematis-khomeini-dalam-menyatukan-sekte-syiah-dan-mengelabui-umat-islam-bag-i.html#sthash.ElRKrLD4.dpuf