Genderang
perang melawan terorisme (war on terrorism) yang ditabuh bekas
Presiden Amerika Serikat George W Bush adalah lanjutan dari Perang Salib. Bush
kala itu menyebut perang perang melawan terorisme sebagai Crussade.
“Ini terusan
Perang Salib. Mestinya umat Islam menyadari, termasuk polisi yang beragama
Islam dan Densus 88 yang beragama Islam,” kata Wakil Ketua Umum Badan Kerjasama
Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) KH A Cholil Ridwan, dalam diskusi publik
tentang terorisme di Auditorium PP Muhammadiyah, Kamis pekan lalu.
Kiyai
Cholil, mengaku terus terngiang-ngiang dengan pernyataan Bush itu. “Saya tidak
pernah lupa, terngiang-ngiang terus di telinga saya,” katanya.
Hal
berikutnya yang menjadi kerisauan salah satu Ketua MUI Pusat itu adalah
mengenai nama Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88). Sebab angka 88 yang
tersemat dalam nama itu merupakan jumlah korban warga Australia dan peristiwa
Bom Bali. Kiyai Cholil meminta, jika Densus 88 tidak bisa dibubarkan, minimal
nama itu diganti.
“Karena nama
itu tidak nasionalis, tidak sesuai bangsa Indonesia. Kita ingin melaksanakan
program orang asing,” tandasnya.
Berkaitan
dengan Peristiwa Bom Bali I, Kiyai Cholil menceritakan bahwa MUI Pusat pernah
mengirim tim investigasi ke Bali. Salah satu anggotanya adalah seorang ahli
bom, doktor lulusan Inggris. Sepulang dari Bali, sang doktor melaporkan
hasilnya kepada MUI. “Itu tidak mungkin, mustahil Amrozi bisa buat bom itu. itu
mustahil bom produk Amrozi,” kata pengasuh Pesantren Husnayain itu
menirukan.
Bukti yang menguatkan dugaan itu, lanjut Kiyai
Cholil, hingga kini aparat keamanan tidak pernah melakukan rekonstruksi ulang
bagaimana bom itu dibuat. Sebab bom itu menghasilkan cendawan. “ZA Maulani,
mantan Kepala BAKIN, mengatakan mayat-mayat korban Bom Bali tulangnya remuk.
Itu artinya bukan bom tapi mikronuklir,” pungkasnya.