islampos—AJARAN
Islam amat sangat serius memperhatikan soal menjaga lisan sehingga Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
Menjaga
Lisan
Seorang
muslim wajib menjaga lisannya, tidak boleh berbicara batil, dusta, menggunjing,
mengadu domba dan melontarkan ucapan-ucapan kotor, ringkasnya, dari apa yang diharamkan
Allah dan Rasul-Nya. Sebab kata-kata yang merupakan produk lisan memiliki
dampak yang luar biasa.
Perang,
pertikaian antarnegara atau perseorangan sering terjadi karena perkataan dan
provokasi kata. Sebaliknya, ilmu pengetahuan lahir, tumbuh dan berkembang
melalui kata-kata. Perdamaian bahkan persaudaraan bisa terjalin melalui
kata-kata. Ironinya, banyak orang yang tidak menyadari dampak luar biasa dari
kata-kata. Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Sungguh
seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa keridhaan Allah, dan
dia tidak menyadarinya, tetapi Allah mengangkat dengannya beberapa derajat. Dan
sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa kemurkaan
Allah, dan dia tidak mempedulikannya, tetapi ia menjerumuskan-nya ke Neraka
Jahannam” (HR. Bukhari)
Hadis Hasan
riwayat Imam Ahmad menyebutkan, bahwa semua anggota badan tunduk kepada lisan.
Jika lisannya lurus maka anggota badan semuanya lurus, demikian pun sebaliknya.
Ath-Thayyibi berkata, lisan adalah penerjemah hati dan penggantinya secara
lahiriyah. Karena itu, hadits Imam Ahmad di atas tidak bertentangan dengan
sabda Nabi yang lain: “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat
segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan bila rusak, maka
rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
Berkata Baik
Atau Diam
Adab Nabawi
dalam berbicara adalah berhati-hati dan memikirkan terlebih dahulu sebelum
berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa kata-kata itu baik, maka hendaknya ia
mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata yang ingin diucapkannya jelek, maka
hendaknya ia menahan diri dan lebih baik diam. Rasulullah Shallallaahu alaihi
wa Salam bersabda:
“Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau
diam.” (HR. Al-Bukhari).
Adab Nabawi
di atas tidak lepas dari prinsip kehidupan seorang muslim yang harus produktif
menangguk pahala dan kebaikan sepanjang hidupnya. Menjadikan semua gerak
diamnya sebagai ibadah dan sedekah. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“… Dan kalimat yang baik adalah sedekah. Dan setiap langkah yang ia langkahkan
untuk shalat (berjamaah di masjid)adalah sedekah, dan menyingkirkan duri dari
jalan adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari).
Sedikit
Bicara Lebih Utama
Orang yang
senang berbicara lama-lama akan sulit mengendalikan diri dari kesalahan.
Kata-kata yang me-luncur bak air mengalir akan mengha-nyutkan apa saja yang
diterjangnya, dengan tak terasa akan meluncurkan kata-kata yang baik dan yang
buruk. Ka-rena itu Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang kita banyak
bicara. Beliau Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda artinya, …”Dan (Allah)
membenci kalian untuk qiila wa qaala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi
rahimahullah berkata, qiila wa qaala adalah asyik membicarakan berbagai berita
tentang seluk beluk seseorang (ngerumpi). Bahkan dalam hadits hasan gharib
riwayat Tirmidzi disebutkan, orang yang banyak bicara diancam oleh Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam sebagai orang yang paling beliau murkai dan paling
jauh tempatnya dari Rasulullah pada hari Kiamat. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu
berkata, ‘Tidak ada baiknya orang yang banyak bicara.’ Umar bin Khathab
Radhiallaahu anhu berkata, ‘Barangsiapa yang banyak bicaranya, akan banyak
kesalahannya.’
Dilarang
Membicarakan Setiap Yang Didengar
Dunia kata
di tengah umat manusia adalah dunia yang campur aduk. Seperti manusianya
sendiri yang beragam dan campur aduk; shalih, fasik, munafik, musyrik dan
kafir. Karena itu, kata-kata umat manusia tentu ada yang benar, yang dusta; ada
yang baik dan ada yang buruk. Karena itu, ada kaidah dalam Islam soal
kata-kata, ‘Siapa yang membicarakan setiap apa yang didengarnya, berarti ia
adalah pembicara yang dusta’. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Shallallaahu
alaihi wa Salam :
“Cukuplah
seseorang itu berdosa, jika ia membicarakan setiap apa yang di-dengarnya.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Cukuplah
seseorang itu telah berdusta, jika ia membicarakan setiap apa yang
didengarnya.” (HR. Muslim).
Jangan
Mengutuk dan Berbicara Kotor
Mengutuk dan
sumpah serapah dalam kehidupan modern yang serba materialistis sekarang ini
seperti menjadi hal yang dianggap biasa. Seorang yang sempurna akhlaknya adalah
orang yang paling jauh dari kata-kata kotor, kutukan, sumpah serapah dan
kata-kata keji lainnya. Ibnu Mas’ud Radhiallaahu anhu meriwayatkan, Nabi
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Seorang
mukmin itu bukanlah seorang yang tha’an, pelaknat, (juga bukan) yang berkata
keji dan kotor.” (HR. Bukhari).
Tha’an
adalah orang yang suka-merendahkan kehormatan manusia, dengan mencaci,
menggunjing dan sebagainya.
Melaknat
atau mengutuk adalah do’a agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah. Imam
Nawawi rahima-hullah berkata, ‘Mendo’akan agar seseorang dijauhkan dari rahmat
Allah bukanlah akhlak orang-orang beriman. Sebab Allah menyifati mereka dengan
rahmat (kasih sayang) di antara mereka dan saling tolong-menolong dalam
kebaikan dan takwa. Mereka dijadikan Allah sebagai orang-orang yang seperti
bangunan, satu sama lain saling menguatkan, juga diumpamakan sebagaimana satu
tubuh. Seorang mukmin adalah orang yang mencintai saudara mukminnya yang lain
sebagai-mana ia mencintai dirinya sendiri. Maka, jika ada orang yang mendo’akan
saudara muslimnya dengan laknat (dijauhkan dari rahmat Allah), itu berarti
pemutusan hubungan secara total. Padahal laknat adalah puncak doa seorang
mukmin terhadap orang kafir. Karena itu disebutkan dalam hadits shahih:
“Melaknat
seorang mukmin adalah sama dengan membunuhnya.” (HR. Bukhari). Sebab seorang
pembunuh memutus-kan orang yang dibunuhnya dari berbagai manfaat duniawi.
Sedangkan orang yang melaknat memutuskan orang yang dilaknatnya dari rahmat
Allah dan kenikmatan akhirat.”
Jangan
Senang Berdebat Meski Benar
Saat ini, di
alam yang katanya demokrasi, perdebatan menjadi hal yang lumrah bahkan malah
digalakkan. Ada debat calon presiden, debat calon gubernur dan seterusnya. Pada
kasus-kasus tertentu, menjelaskan argumen-tasi untuk menerangkan kebenaran yang
berdasarkan ilmu dan keyakinan memang diperlukan dan berguna. Tetapi, berdebat
yang didasari ketidak-tahuan, ramalan, masalah ghaib atau dalam hal yang tidak
berguna seperti tentang jumlah Ashhabul Kahfi atau yang sejenisnya maka hal itu
hanya membuang-buang waktu dan berpe-ngaruh pada retaknya persaudaraan. (Lihat
Tafsir Sa’di, 5/24, surat Kahfi: 22)
Maka, jangan
sampai seorang mukmin hobi berdebat. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam
bersabda:
“Saya adalah
penjamin di rumah yang ada di sekeliling Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan,
meski dia benar. Dan di tengah-tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta,
meskipun dia bergurau. Juga di Surga yang tertinggi bagi orang yang baik
akh-laknya.” (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).
Dilarang
Berdusta Untuk Membuat Orang Tertawa
Dunia
hiburan (entertainment) menjadi dunia yang digandrungi oleh sebagian besar umat
manusia.
Salah satu
jenis hiburan yang digandrungi orang untuk menghilangkan stress dan beban hidup
yang berat adalah lawak. Dengan suguhan lawak ini orang menjadi tertawa
terbahak-bahak, padahal di dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan,
seperti memaksa diri dengan mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka
inilah yang mendapat ancaman melalui lisan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Salam dengan sabda beliau:
“Celakalah
orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah
dia, dan celakalah dia!” (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).
Merendahkan
Suara Ketika Berbicara
Meninggikan
suaranya, berteriak dan membentak. Dalam pergaulan sosial, tentu orang yang
semacam ini sangat dibenci. Bila sebagai pemimpin, maka dia adalah pemimpin
yang ditakuti oleh bawahannya. Bukan karena kewibawaan dan keteladanannya, tapi
karena suaranya yang menakutkan. Bila sebagai bawahan, maka dia adalah orang
yang tak tahu diri. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, ‘Orang yang
meninggikan suaranya terhadap orang lain, maka tentu semua orang yang berakal
menge-tahui, bahwa orang tersebut bukanlah orang yang terhormat.’ Ibnu Zaid
berkata, ‘Seandainya mengeraskan suara (dalam berbicara), adalah hal yang baik,
tentu Allah tidak menjadikannya sebagai suara keledai.’ Abdurrahman As-Sa’di
berkata, ‘Tidak diragukan lagi, bahwa (orang yang) meninggikan suara kepada
orang lain adalah orang yang tidak beradab dan tidak menghormati orang lain.’
Karena
itulah termasuk adab berbicara dalam Islam adalah merendahkan suara ketika
berbicara. Allah berfirman, artinya:
“Dan
rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”
(QS. Luqman: 19)