Para ulama berselisih pendapat di dalam menentukan awal bulan Ramadhan apakah dengan cara melihat bulan langsung (rukyat) atau dengan cara hisab.
Pendapat
Pertama mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan cara
melihat bulan secara langsung (rukyat) dan tidak boleh menggunakan hisab. Ini
adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam
Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad).
Dalil mereka
adalah sebagai berikut:
1. Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ» و في
رواية: فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ»
“Jangan
kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai
melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan
tersebut sampai tiga-puluh.” (HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080)
2. Sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam:
«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ»
“Berpuasalah
karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan. Jika
bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi
tiga-puluh hari.” (HR.
Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081)
3. Sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam:
«إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَأَفْطِرُوا»
“Jika kalian
melihat hilal (Ramadhan), maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal), maka
berbukalah.” (HR Muslim no. 1081)
Hadits-hadits
di atas menunjukkan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan
melihat bulan secara langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh awan,
hendaknya disempurnakan bilangan bulan hingga tiga puluh hari. Inilah maksud
lafadh “faqduru lahu” dalam hadits di atas setelah menjama’ beberapa riwayat
yang ada.
Pendapat
kedua mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan
hisab. Ini adalah pendapat Mutharrif bin Abdullah, Ibnu Suraij, dan Ibnu
Qutaibah. Mereka berdalil dengan hadits riwayat muslim di atas ( lihat hadits
no 1), hanya saja kelompok ini menafsirkan lafadh ” faqduru lahu ” dengan ilmu
hisab. Yaitu jika bulan tersebut tertutup dengan mendung, maka pergunakanlah
ilmu hisab.
Dari dua
pendapat di atas, maka pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama yang
mengatakan bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan
cara melihat bulan secara langsung (rukyat). Boleh memakai alat bantu seperti
teropong dan lain-lainnya. Demikian pula diperbolehkan menggunakan hitungan
hisab, tetapi hanya sebagai pembantu dan penopang dari rukyat.
Selain
dalil-dalil yang telah diungkap di atas, ada dalil lain yang menguatkan
pendapat mayoritas ulama,yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ،
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا» يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً
ثَلاَثِينَ
“Sesungguhnya
kita (umat Islam) adalah umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung, bulan
itu jumlahnya 29 hari atau 30 hari.”(HR Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080)
Artinya
hadits di atas adalah untuk menentuan awal bulan, umat Islam tidak
diwajibkan untuk mempelajari ilmu hisab. Karena Allah telah memberikan cara
yang lebih mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang, yaitu
rukyat. Ini bukan berarti umat Islam dilarang mempelajari ilmu
tersebut, karena Allah swt telah memerintahkan kepada umatnya agar selalu
menuntut ilmu pengetahuan selama hal itu membawa maslahat dalam kehidupan
manusia ini. Akan tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini mudah dan bisa
dicerna oleh semua kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua orang.
Selain itu
di dalam ilmu hisab (ilmu falak) telah terjadi perbedaan pendapat yang sangat
banyak. Ada yang menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam
matahari setelah terjadi ijtima’. Sebagian yang lain
menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah
terjadi ijtima’ ditambahkan bahwa pada saat terbenam matahari tersebut, Hilal
(bulan) sudah wujud di atas ufuk. Ini sering disebut dengan model ”
wujudul hilal.”
Bahkan ada
kelompok yang mensyarakatkan wujud bulan di atas ufuk tersebut
dengan imkanur rukyat (berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal
dirukyat). Kelompok yang menggunakan model “imkanu al rukat” inipun
berbeda pendapat di dalam menentukan batasannya. Ada yang memegang dengan
batasan 2 derajat, ada yang memakai 5 derajat. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan
yang tidak mungkin diungkap di sini.
Inilah
mengapa umat Islam di Indonesia belum bisa bersatu di dalam menentukan awal
bulan Ramadhan dan Syawal, karena masing-masing dari aliran ilmu hisab (ilmu
falak) memegang prinsipnya dan merasa paling benar, sehingga tidak mau mundur
sedikitpun demi persatuan umat. Wallahu Musta’an.
Untuk
mengurangi perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam dalam menyikapi
perbedaan cara menentukan awal bulan tersebut, para ulama menfatwakan bahwa
sebaiknya umat Islam mengikuti awal bulan Ramadhan dan Syawal yang telah
ditentukan oleh pemerintah dalam negara masing-masing. Untuk negara
Indonesia umpamanya, hendaknya seluruh rakyat mengikuti apa yang telah
diputuskan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Itu semua demi maslahat
persatuan.
Wallahu
A’lam.
Penulis: Dr.
Ahmad Zain an-Najah, MA.
ahmadzain.com
(muhibalmajdi/arrahmah.com)