http://www.arrahmah.com/kontribusi/dampak-video-dan-pembubaran-densus-88-logis.html
(Arrahmah.com) - Dalam beberapa bulan terakhir tuntutan
pembubaran Densus 88 menggelinding seperti bola salju, makin membesar.
Munculnya video kekerasan dan kedzaliman Densus 88 yang diunggah di berbagai
jejaring sosial dan media online manambah “bola” makin besar. Selain video
tersebut, sejatinya masih banyak data lapangan tentang ekstra judicial killing
(pembunuhan diluar prosedur pengadilan) dan tindakan overacting oleh Densus 88.
Awalnya institusi Densus 88 seperti benteng kokoh yang tidak
tersentuh siapapun.Ibarat roda berputar, pada akhirnya menemukan titik
baliknya. Menyeruaklah dorongan dari berbagai element sipil masyarakat untuk
mengevaluasi kinerja Densus 88 dan BNPT, bahkan muncul rekomendasi
pembubaran.Disisi lain mucul perdebatan,
soal perlunya tuntutan hukum kepada pihak yang menyebarkan video hingga
persoalan dampak beredarnya video. Catatan berikut menghadirkan sebuah
prespektif untuk mengeja persoalan tersebut.
Tentang Dampak Video
Pasca Video diunggah dan tersebar luas di masyarakat telah
melahirkan kekhawatiran sebagian pihak tentang dampaknya.
Dikhawatirkan, pertama; video tersebut memicu keresahan
masyarakat khususnya di wilayah Poso dan sekitarnya, mengingat isi video tempat
kejadiannya ada di Poso. Bahkan membuka peluang menjadi provokasi terhadap
kelompok bawah tanah (“teroris” versi Densus88) melakukan balas dendam dengan
sasaran aparat kepolisian. Atau sebaliknya, kedua; dampaknya membuat pihak
Densus88 dan BNPT meradang, dan memicu perlawanan dengan beragam cara
berdasarkan kapasitasnya. Karena jelas, video tersebut membuat eksistensi
Densus88 dan BNPT terpojok. Sebelum video beredar saja sudah banyak muncul
opini dan pandangan kritis dari berbagai element terkait kinerja Densus 88 yang
dianggap arogan dan kerap melanggar HAM secara serius.
Untuk kekhawatiran pertama tidak ada data kuantitatif yang
bisa dibeberkan, seberapa besar eskalasi keresahan masyarakat di wilayah
tertentu seperti Poso. Mengingat tidak semua anggota masyarakat melek internet
dan punya interest untuk menggali informasi tentang isu tertentu. Mungkin
keresahan hanya bisa dibaca di kelompok kelas menengah atau tokoh masyarakat
yang menjadi representasi mereka. Tapi ini tidak bisa didramatisir menjadi
keresahan masyarakat luas. Keresahan itu betul adanya dilevel tertentu tapi
tidak bisa diklaim terjadi si semua lini. Yang perlu dicatat, keresahan itu
juga bernilai, tidak bisa dipandang sebelah mata dan semua tergantung sudut
pandang bagaimana menangkap keresahan tersebut.
Di sini perlu kiranya sebuah penjelasan, video yang diunggah
itu sama persisnya dengan video yang di bawa dan ditayangkan oleh tokoh umat
Islam dan MUI dihadapan Kapolri Jendral Timur Pradopo beberapa waktu lalu.
Langkah tokoh umat Islam dan MUI itu juga lahir dari keresahan yang cukup lama
dipendam. Dan langkah yang diperankan mereka sudah tepat, menjembatani sebuah
keresahan komunal yang “terbungkam” karena determinasi arogansi aparat Densus
88 yang didukung media-media (TV,online, radio dan cetak).Sikap ini bisa
dimaknai sebagai kecintaan masyarakat terhadap institusi Polri, wujudnya dengan
menasehati dan memberikan kritik agar menjadi penegak hukum yang professional.
Adil diatas semua warga negara, bukan bekerja diatas kepentingan politik
tertentu baik kepentingan Asing maupun kepentingan opurtunis orang-orang lokal.
Langkah tokoh dan MUI adalah contoh sebuah sikap dewasa dan
elegan untuk mengartikulasikan keresahan.Demikian juga, paska beredarnya video
jika ada representasi masyarakat di wilayah Poso dan sekitarnya merasa resah
dan marah itu juga wajar dan harus ditangkap sebagai sebuah sikap yang harus di
respon secara bijak oleh pihak terkait. Terlalu prejudice kalau secara implisit
menuduh keresahan para tokoh (representasi) masyarakat akan memicu tindakan
radikal fisik masyarakat atau sebagian dari mereka. Mereka (representator)
posisinya sebagai follower atas realitas (video) yang baru mereka cerap.Berbeda
tipis dengan tokoh umat dan MUI yang memegang dokumen video tersebut dan
meyampaikan kepada Kapolri.
Dan sangat naïf, jika sebagian pihak atau aparat justru
sibuk bernafsu mempersoalkan siapa penggungah video tersebut. Jika ini
dilakukan, sama artinya mengalihkan persoalan utama yakni fakta pelanggaran HAM
oleh aparat kepolisian. Harusnya terima kasih, dengan video itu pihak aparat
bisa mengaca wajahnya sebagai aparat penegak hukum. Dan menjadi entry point
melakukan pembersihan dari oknum yang merusak institusi dan merusak kepercayaan
masyarakat terhadap institusi aparat kepolisian. Semua aparat bekerja di gaji
dari uang rakyat, sangat naïf jika mereka apriori tidak mau mendengar kritik
dan masukan konstruktif dengan beragam cara. Bukankah banyak contoh,
terunggahnya video diruang publik yang berisi tindakan menyimpang dari oknum
aparat kemudian berdampak positif (bahan evaluasi) kepada institusi dari oknum
aparat dan juga lahirnya rasa keadilan masyarakat. Sekali lagi ini semua
tergantung sudut pandang, pilihannya sikap konstruktif atau sentiment-egoisme
institusi.
Tentang kemungkinan balas dendam kelompok bawah tanah ini
juga sebatas dugaan atau asumsi yang tidak pasti. Kalau melihat sikon terakhir
paska penangkapan banyak orang di berbagai tempat dengan tuduhan “terorisme”,
sejatinya jumlah kelompok ini menyusut drastis. Bahkan untuk di wilayah
tertentu seperti Poso dengan operasi Maleo –1 dan dilanjutkan Maleo-2 untuk
memulihkan keemanan dan perburuan dengan daftar yang berisi 24 DPO menjadikan
ruang gerak kelompok tertuduh “terorisme” makin sempit. Kekuatan menjadi tidak
signifikan untuk melakukan aksi-kasi balas dendam seperti yang dikhawatirkan.Cerita
yang diriwayatkan dari mulut kemulut tentang tindakan sadis aparat Densus
ketika menangkap tertuduh “teroris” menjadi barang yang jamak diketahui banyak
orang khususnya kelompok-kelompok yang jadi sasaran Densus88. Jadi isi video
yang diunggah itu bagi mereka hanya menjadi konfirmasi kebenaran cerita dari
mulut kemulut tersebut.Jadi naïf juga, jika berasumsi gara-gara video yang
diunggah serta merta menjadi stimulant balas dendam.
Tentang dampak kedua, kita perlu berimbang mencermati.Kritikan
yang datang silih berganti telah memposisikan Densus88 dan lembaga baru (BNPT)
terpojokkan. Tuntutan pembubaran Densus88 jika direalisasikan dianggap akan
melahirkan dampak politis serius. Hal ini bisa dipahami, karena kelahiran
Densus 88 dari sebuah kontek dinamika politik keamanan dilevel global dan
domestic. Sebuah institusi yang lahir ditopang kondisi politik keamanan yang
“memaksa” dan sarat dengan kepentingan politik global (asing). Karena itu
“Egoisme” institusi meniscayakan lahirnya langkah deffensif-offensif. Bahkan
demi eksistensi institusi meniscayakan lahirnya beragam strategi, mulai dari
cara yang soft (lunak) sampai cara-cara yang culas (operasi intelijen gelap).
Bukan tidak mungkin Densus88 atau BNPT melakukan personal approach kepada tokoh-tokoh
tertentu agar mereka bisa menjadi “juru bicara” kepentingan Densus88. Atau
langkah itu juga disasarkan kepada politisi Senayan, agar mereka bisa
memberikan second opini dengan target menjaga eksistensi Densus88. Yang tidak
boleh diabaikan juga, keniscayaan munculnya peristiwa “rusuh” atau accident
seperti bom sebagai produk operasi intelijen gelap dengan target kehadiran
Densus88 kembali di butuhkan dan melegitimasi keberadaannya perlu
dipertahankan. Disamping hal diatas, komunikasi dihadapan publik oleh pihak
aparat kepolisian dengan bangunan argumentasi yang terkesan “logis” terus akan
di lakukan dengan dukungan media.Termasuk upaya kooptasi media juga niscaya
dilakukan agar bisa mereduksi tuntutan pembubaran Densus 88.
Terlepas dari itu, video yang tersebar atau yang di putar
dihadapan Kapolri sesungguhnya hanya sebagian dari konten tentang episode
membangun keadilan yang beradab.Dalam isu terorisme, umat Islamlah yang
bersentuhan langsung dengan beragam “drama” terorisme yang ditayangkan secara vulgar
dan tendensius oleh media TV.Sepuluh tahun proyek perang melawan teroris sudah
berjalan, namun dari hari kehari semakin “aneh” dan terlihat kabur orentasinya.
Justru yang dirasakan dan dilihat oleh umat Islam adalah ketidakadilan dan
kedzaliman atas nama war on terrorism.Hari ini umat Islam makin melek politik,
dan kesadaran politik telah mendorong untuk bicara dan bersuara dengan sagala
kapasitasnya. Aneh rasanya, kalau sebuah kedzaliman yang dilakukan aparat
penegak hukum mendapatkan kritik malah berbuah respon balik yang tidak
proporsional. Bahkan mencari kambing hitam dan melupakan akar persoalan.
Contoh,ada pihak yang menuduh karena media-media Islam radikallah yang
menjadikan isu ini mencuat dan menggelinding bak bola salju. Tapi mereka tidak mau
jujur dan obyektif memahami kenapa isu pembubaran Densus88 menyeruak serta
memahami akar masalah secara holistik terkait isu terorisme dan upaya
kontra-terorisme yang diemban oleh Densus88 dan BNPT.
Bubarnya Densus 88, Logis?
Harus di akui bukan persoalan mudah untuk menghadirkan data
pembanding sebagai langkah advokasi atas kedzaliman Densus 88 dihadapan
pihak-pihak terkait. Kenapa demikian, satu contoh saja kita bisa berangkat dari
kasus terbunuhnya Abu Uswah (Asmar) dan Kholil
(Kholid) di teras masjid Nurul Afiyah komplek RS Wahidin Makassar-Sulsel
(Jumat, 4 Januari 2013) lalu. Banyak bukti dan kesaksian yang mengendap, dua
orang terbunuh tanpa ada perlawanan. Kejadian cukup singkat, aparat Densus 88
begitu selesai eksekusi dua orang kemudian segera membersihkan jejak tindakan
mereka. Darah yang menggenang di teras segara di siram bersih tanpa jejak,
seluruh selongsong peluru disekitar kejadian di pungut bersih termasuk
proyektil yang tidak bersarang di tubuh korban .Semua jejak berusaha
dihilangkan. Namun di hadapan publik pihak Humas Polri menyampaikan secara
sepihak tentang sebab tewasnya dua orang tersebut, dengan cerita mereka melawan
dan membahayakan bahkan di TKP ditemukan barang bukti berupa senjata
(senpi).Keterangan ini diaminkan oleh media tanpa ada informasi pembanding yang
di gali secara obyektif. Semua pernyataan aparat tidak pernah bisa di
konfirmasi kebenarannya, kebenaran yang tersimpan di balik mulut-mulut saksi
mata yang terkunci karena rasa takut tidak pernah di gali dan terungkap kepublik.Dan
pihak Densus 88 juga tidak pernah melakukan rekonstruksi ulang atas apa yang
mereka lakukan. Densus 88 melakukan apa yang mereka inginkan dan kemudian
membuat cerita (dramatisasi) yang bisa membenarkan tindakan tersebut. Inilah
salah satu contohnya, dan masih banyak realitas serupa dalam kasus ekstra
judicial killing oleh Densus 88 atas terduga “teroris”.
Maka tereksposnya video menjadi konfirmasi kebenaran cerita
tindakan luar biasa biadabnya yang dilakukan oleh aparat.Dan sekali lagi ini
menjadi starting point bagi semua pihak yang terkait untuk berani evaluasi
kinerja Densus 88 selama ini.Dan ini sangat logis, tidak perlu menunggu sampai
satu demi satu kedzaliman ini terpampang dihadapan publik secara
telanjang.Sekecil apapun kedzaliman adalah kedzaliman yang harus disikapi
sebagaimana mestinya. Bukan berusaha ditutupi dan dibela dengan berbagai cara
dan upaya. Apakah jika evaluasi dilakukan itu bisa berujung kepada pembubaran
Densus88? Kita harus obyektif juga, ada faktor kendala yang perlu di pahami.
Beberapa faktor atau kendala tersebut, pertama;kendala
ideologis, artinya perang melawan terorisme di Indonesia berdiri diatas
paradigma (ideologi) yang tendensius terhadap Islam dan umatnya. Para pengemban
kontra-terorisme berdiri diatas mindset yang sentiment terhadap Islam ideologis
dan pengusungnya. Karenanya orentasi perang melawan terorisme kehilangan arah
dan tidak murni sebuah perang melawan terorisme. Namun mindset ini terus
berusaha dipertahankan oleh pihak-pihak yang phobi Islam. Kedua; kendala
institusional, artinya seolah-olah jika tidak ada Densus88 maka Indonesia tidak
mampu menghadapi terorisme. Ini terkesan klise, tanpa memahami akar masalah dan
konteks lahirnya “terorisme”. Polri masih punya Brimob dengan unit Gegananya,
Densus 88 bisa saja kalau perlu dilikuidasi dan di masukkan dalam unit-unit
regular Polri yang sudah ada. Bisa masuk di Brimob, serse, reskrim atau lainya.
Di awal kehadiranhya wajar untuk di apresiasi karena dianggap berhasil
tuntaskan kasus bom Bali dan JW Mariot, tapi kedepannya kehadirannya tidak lagi
relevan. Karena persoalan intinya, terorisme adalah hanya propaganda dan
“bayang-bayang” spiral kekerasan akibat dari treatment Densus 88 dilapangan
yang kurang professional. Selama ini tidak ada mekanisme yang bisa kontrol
langkah Densus88, bahkan Kompolnas juga mandul terhadap Densus 88.
Ketiga; kendala politik dan regulasi, artinya Indonesia
sudah terlalu dalam terjebak dalam proyek global melawan terorisme ala Amerika
Serikat dan sekutunya. Indonesia sudah meratifikasi banyak resolusi PBB dan
politikus di Senayan juga mengakomodir dalam wujud lahirnya beragam undang-undang
yang menjaga kontinuitas kepentingan politik global Amerika Serikat (dari UU
Terorisme sampai yang terakhir UU terkait pendanaan Terorisme). Bahkan
pemerintah Indonesia melembagakan proyek kontra-terorisme ini dengan dibentuk
BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Hibah dana dan peralatan serta
kapasitas building bagi aparat Densus 88 dan BNPT diberikan oleh negara-negara
Barat. Pusat pelatihan juga di resmikan (seperti yang di belakang Akpol
Semarang). Tentu ini menjadi persoalan yang tidak mudah kecuali top leader dari
negara ini punya sikap politik yang independen dan bersanding dengan
kepentingan rakyatnya. Realitanya,
penguasa berdiri di satu sisi dan rakyat (umat Islam) berdiri disisi yang lain.
Keempat; kendala sosiologis, ini terkait munculnya
polarisasi ditengah umat Islam. Terminologi Islam moderat-Islam fundamentalis,
Islam liberal-Islam radikal sebagai contoh tolak ukur lahirnya polarisasi.
Sejatinya kondisi sosiologis umat Islam seperti itu juga karena ada kontribusi
desain para pengemban kontra-terorisme yang hendak menciptakan musuh bersama
terhadap kelompok Islam yang di cap radikal-fundamentalis. Karena paradigmanya,
ideologi radikal dan kelompok pengusungnya adalah hulu dari terorisme.Tentu ini
masalah tersendiri, seperti halnya hari ini ada sebagian tokoh umat yang membeo
membela mati-matian kerja BNPT (karena sebab imbalan maslahat), dan ada
sebagian tokoh umat yang masih hanif (bersih) malakukan muhasabah (koreksi)
atas tiap kedzaliman dan ketidak adilan yang menimpa umat Islam.
Oleh karena itu, pola-pola advokasi yang harus dilakukan
oleh element umat Islam harus terukur dan stretegis sesuai dengan posisi dan
kapasitas masing-masing. Namun yang paling penting dalam realitas politik
segalanya serba mungkin terjadi, berapa dan apapun faktor kendalanya. Sebuah
lidi tidak akan memiliki kekuatan berarti, tapi segenggam lidi yang terikat
akan jauh lebih kuat. Artinya jalinan komunikasi dan kordinasi serta menyamakan
sebuah visi dengan beragam teknik harus dilakukan.
Karena “kebenaran yang tidak terorganisir akan kalah oleh
kebatilan yang terorganisir”. Sementara menggugat keberadaan Densus 88 itu
berarti menggungat dominasi dan hegemoni politik negara teroris Amerika atas
Indonesia dengan bendera Global War on Terrorism (GWOT).
Bukan sekedar persoalan regulasi yang jadi payung Densus88
dan BNPT, juga bukan sekedar menggugat dan menasehati politisi senayan yang
mengaminkan kepentingan Asing dengan cara mengakomodir dalam tiap produk
Undang-undang.
Dan bukan sekedar menuntut seorang Kapolri untuk bubarkan
Densus88, atau bahkan menuntut oknum-oknum jendral Polri yang tangannya
berdarah-darah dalam kasus terorisme ini (seperti Goris Mere, Suryadarma,
Petrus Golose, Ansyad Mbai etc).Tapi juga menuntut sikap adil seorang Presiden
RI, apakah ia akan bijak mengapresiasi keresahan umat Islam atau sebaliknya;
makin loyal kepada kepentingan asing hanya karena imbalan kemaslahatan dunia
tapi melupakan besarnya tanggungjawab kelak di akhirat.
Diluar itu semua, kedepan kita akan melihat dan menunggu apa
yang dihasilkan dari investigasi Komnas HAM atas pelanggaran HAM serius yang
dilakukan aparat Densus 88. Dan waktu akan menjawab benarkah keadilan akan
berpihak kepada Islam dan umatnya, atau akankah umat ini dibuat frustasi yang
akhirnya mengambil jalan pintas sendiri-sendiri untuk menuntut keadilan yang
menjadi haknya. Wallahu a’lam bisshowab[]
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The
Community Of Ideological Islamic Analyst)