Cerita Saya

Foto saya
Selalu belajar dan mencari ilmu yang berguna/bermanfaat untuk pribadi dan masyarakat.

Selasa, 12 Agustus 2014

Kaum Lesbian Dan Gay Sudah Berani Kecam Muslimah! Indonesia Darurat Kaum Tak Bermoral




Ketua Yayasan Anak Bangsa Mandiri dan Berdaya, Fahira Fahmi Idris, mendapat kritikan pedas dari kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).
Kritikan itu diterimanya setelah anggota DPD terpilih ini menolak propaganda LGBT termasuk dalam komik anak-anak yang sempat beredar di toko buku, termasuk salah satunya komik berjudul My Wondering Body terbitan Elex Media. 

"Saya tidak membenci atau memusuhi LGBT. Saya menghargai eksistensi mereka tapi saya menolak propoganda LGBT," ujar Fahira saat dihubungi ROL, Senin (11/8). 

Ia menyadari penolakannya itu telah membuat kaum LGBT merasa hak-haknya dirampas. "Kaum LGBT juga seharusnya sadar kalau hak-hak kita juga dirampas dengan beredarnya komik-komik tersebut di toko buku, intinya kita harus sama-sama toleransi,"
katanya.

Ia juga mengatakan masyarakat hanya tidak ingin propaganda LGBT terus terjadi. Hal tersebut dikarenakan dapat merusak ideologi Indonesia dan juga merusak tumbuh kembang anak-anak Indonesia. 

Ia menambahkan langkah yang ia tempuh dalam melakukan penolakan LGBT tetap akan terus dilakukan hingga terbentuknya UU yang melarang bentuk propaganda semua hal yang tidak sesuai dengan Pancasila di media apapun, termasuk propaganda LGBT.

"Saya akan tuntaskan ini semua, tuntas hingga terbentuk UU," paparnya.

Rekayasa Sistematis Khomeini dalam menyatukan sekte Syi'ah dan mengelabui umat Islam (bag II)





Oleh:
Al-Ustadz Subki Saiman, MA. (Ketua LKS Al-Maqashid Syariah)
DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM. (Divisi Fatwa dan Pengkajian Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia DKI Jakarta, dan Peneliti Ahli LKS Al-Maqashid Syariah)
(Arrahmah.com) – Menjadi jelas bagi kita, bahwa batu bangun perjuangan Syi’ah Iran demikian kokoh dan berlapis. Diawali dengan penyatuan aqidah, dibentuknya ideologi-politik yang praktis, diakhiri dengan aqidah pula. Menyakini Imam Zaman adalah wajib, tidak menyakini “mati dalam keadaan jahiliyah”.[1]
Lebih lanjut, doktrin imamah dan pemerintahan yang terus menerus yang tidak dapat dihapus sepanjang masa berimplikasi pada kontruksi politik hukum sistem ketatanegaraan Iran, yakni keterpaduan hubungan sang Rahbar dengan marja-marja di berbagai negara. Melalui kelembagaan sistem politik imamah, iran berupaya menegakkan pemerintahan ala imamah dengan membentuk terlebih dahulu marja al-taqlid [2].
Menurut Khomeini, usaha-usaha pendirian Negara Syi’ah merupakan bagian dari aplikasi iman terhadap wilayah (keimamahan).[3] Di sinilah letak watak ekspansif ideologi Syi’ah Iran, sebagaimana terjadi di Lebanon, Irak, Bahrain, dan Afganistan. Keberlangsungan pemerintahan yang terus menerus itu sangat terkait dengan agenda mempertahankan ruang hidup (geopolitik) Iran dari berbagai kemungkinan ancaman dari pihak lawan.
Kesadaran membangun komitmen ideologis-religius inilah yang membawa Syi’ah Iran pada masa kebangkitannya. Hal ini dapat dilihat dari keberanian dan kemampuannya menandingi Irak dalam perang teluk yang berlangsung selama kurang lebih 8 (delapan) tahun itu. Padahal Iran baru saja berdiri, selepas hengkangnya Shah Pahlevi, sedangkan Irak dalam adalah negara yang sudah lama berdiri, tentunya memiliki kemampuan yang lebih dari Iran, baik dukungan finansial maupun kekuatan militer. Ternyata deterent effect Irak tidak mampu mengalahkan Iran.[4]
Bangunan doktrin imamah dan pemerintahan terus menerus, telah mampu membawa Iran mengembangkan geopolitik dan geostrategi pada masa-masa selanjutnya. Tujuan Iran selanjutnya membangun kekuatan di Timur Tengah dengan mengungguli pesaing-pesaingnya. Iran telah mencapai superioritasnya ketika berhasil mengembangkan kekuatan di Lebanon melalui pembentukan Hizbullah di Lebanon dan kerjasamanya dengan rezim Bashar Assad di Suria.
Telah disebutkan di atas, bahwa pembentukan marjaiyat kaukus Persia merupakan resultan aplikasi ideologi imamah Iran. Ideologi adalah hukum dasar pemersatu bagi kelangsungan hidup negara, maka dari itu Iran membutuhkan geopolitik dan geostrategi demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tidak akan menjadi berarti, jika suatu ideologi hanya suatu simbol belaka tanpa ada upaya merekayasa masyarakat. Roscue Pond memberikan penjelasan bahwa hukum sebagai alat perekayasa masyarakat, “law is a tool of social engineering.” Rupanya Iran lebih maju dalam melakukan perekayasaan ini, menanamkan suatu keyakinan yang sangat kuat kepada pengikutnya untuk mempercayai keabsahan doktrin agama secara total. Totalitas inilah yang membuat perjuangan Syi’ah Iran mencapai klimaknya dengan membentuk wilayat al-faqih yang sangat sentralistik itu.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan doktrin imamah sangat fundamental dan spektakuler dalam ajaran Syi’ah Iran, yang mampu melakukan rekayasa sedemikian rupa. Rekayasa spektakuler yang sedang dipersiapkan oleh Syi’ah Iran adalah menanti kemunculan Imam Mahdi as (versi Syi’ah). Dalam rangka mendukung kemunculan Imam kedua belas inilah label “Pemimpin Besar Revolusi” masih terus disematkan pada diri Rahbar Ali Khamenei. Sebagaimana memang sudah menjadi keyakinan, bahwa Imam akhir zaman haruslah dari kalangan Syi’ah, dan penantian itu terkait pula dengan keyakinan perang akhir zaman (al-Mahamah al-Qubro). Tepatlah julukan Republik Iran adalah “Republik Taqiyyah”, yang menunggu sampai munculnya Imam Mahdi versi mereka.
Imam Mahdi sebagaimana dinubuwwatkan oleh Nabi Muhammad SAW, “namanya seperti namaku dan nama bapaknya seperti nama bapakku”. Menurut literatur Sunni,[5] Imam Mahdi adalah keturunan dari jalur Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, bukan dari jalur Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Syi’ah sama persis dengan Yahudi yang mengharap Nabi terakhir dari golongan (bangsa) mereka, namun ternyata dari keturunan Nabi Ismail AS, yang dalam rentang waktu lama (para keturunannya) tidak ada Nabi, ketika Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi penutup, mereka ingkar dan berbuat makar. Hal yang sama bisa saja terjadi, Syi’ah mengharap apa yang bukan menjadi haknya, kemudian ingkar dan makar sebagaimana kaum Yahudi. Singkat kata Imam Mahdi fiktif berada di pihak Syi’ah, mungkin yang dimaksud al-Masikhhul Dajjal al-Muntazar![6]
Ekspansi ideologi imamah Syi’ah Iran, juga tak luput dari penolakan dan dianggap sebagai suatu bid’ah Khomeini oleh sebagian tokoh dan ulama Syi’ah sendiri. Muhammad Kamil Al Hasyimi dalam bukunya “Hakikat Akidah Syiah” mengutip kata-kata Al Musawi (Ketua Majlis Ulama Syi’ah Amerika Serikat) yang menyatakan:
“Untuk kepentingan siapa Khomeini mengekspor revolusi pemikirannya yang rusak dan prinsip-prinsip yang sesat kepada bangsa-bangsa Islam yang aman untuk menimbulkan ketakutan dan kekacauan, peperangan, dan perselisihan? Semua itu adalah untuk kepentingan Zionis dan musuh-musuh Islam yang berusaha keras untuk menghabiskan kekuatan umat Islam dan mengalirkan darahnya dengan tangan mereka sendiri tanpa campur tangan dari luar.”[7] (garis bawah dari penulis)
Ali Gadhanfari Karari (Ketua Majlis Ulama Syi’ah Pakistan) dalam pernyataan yang mengingatkan ancaman bahaya revolusi Khomeini, ia menuturkan:
“Perlu sekali kita membuka sikap-sikap dan perbuatan-perbuatannya, menjelaskan penyelewengan -penyelewengannya, sehingga kita dapat menyelamatkan Islam dan umat Islam dari terjerumus dalam pengakuan-pengakuannya yang palsu. Dan cukup saya jelaskan bahwa konstitusi Iran pada dasarnya berdiri di atas teori Wilayat Faqih yang diciptakan oleh Khomeini.”[8] (garis bawah dari penulis)
Basyar Awwad, Sekretaris Jenderal Muktamar Rakyat Islam, senada menyatakan: “Tak diragukan lagi bahwa umat Islam sekarang menghadapi aksi-aksi agama Khomeini yang munafik dan yang telah difatwakan oleh ulama-ulama Islam sebagai gerakan yang keluar dari batas Islam.”[9] (garis bawah dari penulis)
Idealisme Khomeini tentang Revolusi Iran tahun 1979 menginspirasi aktivis Islam di belahan dunia, sekaligus menyingkap intrik-intrik politik Khomeini untuk internasionalisasi Syi’ah yang ambisius. Strategi dan perencanaannya sangat politis, namun tetap ideologis. Ambisinya boleh dikata melebihi batas-batas ajaran Syi’ah. Tapi memang, status ajaran Syi’ah pasca imam kedua belas ghaib tidak selalu stagnan, tapi berkembang. Mungkin mengikuti jalur pemikiran para pengganti sementara imam Syi’ah. Dia menegaskan, revolusi yang ia gerakkan bukan sekedar revolusi lokalitas Syi’ah Iran, namun mencitrakan Republik Iran sebagai pusat global Islam (baca: Syi’ah). Ambisinya bukan sekedar menjadikan dirinya pemimpin tertinggi Iran, atau pempimpin kaum Syi’ah di dunia, tapi juga memimpikan semua elemen dunia mengakuinya sebagai pemimpin tertinggi. Mimpi politis ini digerakkan oleh tuntutan ideologis dengan konsep imamahnya.
Negara-negara Syi’ah selalu bercirikan lima sifat sebagaimana disebutkan di bawah ini:[10]
  1. Ulama melakukan oposisi sekalipun pemerintahan dikontrol oleh kaum Syi’ah;
  2. Ayunan bandul komitmen politik antara posisi taqiyyah dan ta’bi’ah, yang keduanya menolak otoritas duniawi;
  3. Intensitas kehidupan ritual, yang membuat dampak agama dirasakan dalam kegiatan sehari-hari manusia;
  4. Variasi luas para spesialis agama, yang meresapi seluruh struktur komunitas agama; dan
  5. Unsur pemberontakan yang tersirat dalam berbagai bentuk ibadah dan ritus kolektif, yang hampir seluruhnya berasal dari kesyahidan Imam Husaindi pertempuran Karbala.
Unsur pemberontakan Syi’ahsangat terikat secara religius, memancar dari ajaran agama Syi’ah, perhatikan pidato Syaikh Mahdi Syamsuddin dalam peringatan Asyura di Lebanon tahun 1983:[11]“Islam (Syi’ah) adalah pemberontakan yang terus-menerus, gerakan yang terus-menerus, proses pembaruan yang terus-menerus dalam diri manusia.” (dalam kurung dari penulis)
Dukungan pemerintah Iran dalam gerakan Syiahisasi, dapat diketahui salah satunya dari Majalah Al Mujtama, Rabi’ul Awwal 1408H mengatakan:
“Bahwa pemerintah Teheran mengeluarkan belanja untuk propaganda sama persis dengan belanja perang. Mereka lebih mengutamakan untuk menyiarkan buku-buku yang lebih bercorak pemikiran revolusi Iran dan mengelirukan aqidah Ahlussunnah. Mereka telah mencetak berjuta-juta buku dalam berbagai tajuk di dalam berbagai bahasa di dunia.”
Syi’ah saat ini tengah berupaya memperkuat posisinya, terlebih lagi telah banyak dari mereka yang masuk ke Parpol dan menjadi anggota DPR, salah satunya adalah Gembong IJABI, Jalaluddin Rakhmat. Dia bersama isterinya Emilia Renita AZ termasuk orang yang paling aktif melecehkan Islam, paling gemar menista Ummahatul Mukminin dan Sahabat Nabi Muhammad SAW dalam banyak tulisannya. Kegemaran menista merupapakan amalan wajib bagi agama Syi’ahRafidhahmamiyah-itna asyariyah (Syi’ah Iran). Pengakuan Roeis Hukama, adik Tajul Muluk alias Ali Murtadlo, yang juga mantan penasehat IJABI Sampang, menyatakan bahwa:[12]
“Pada saat Shalat tidak pakai bacaan kiblati dan bacaan fardhu, kemudian sesudah salam ada takbir 3 (tiga) kali yang intinya melaknat ke 3 (tiga) sahabat Nabi Muhammad SAW, yakni Abu Bakar as-Shiddiq ra, Umar bin Khathab ra, dan Usman bin Affan ra, karena dianggap kafir.” (garis bawah dari penulis)
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh terpidana Tajul Muluk adalah sama dengan yang dilakukan oleh semua Syi’ah di Indonesia, dan apa yang dilakukan oleh Syi’ah di Indonesia adalah sama dengan yang dilakukan oleh Syi’ah Iran.
Lebih lanjut, menyangkut gerakan politik Syi’ah di Indonesia, mereka saat ini tengah memperjuangkan beridirnya marja al-taqlid[13], suatu otoritas yuridis perpanjangan wilayat al-faqih[14] di bawah kekuasaan wali al-faqih (rahbar) Ali Khamenei, imam Syi’ah sedunia, penerus Khomeini.
Keberlakuan marja al-taqlid yang bermuara kepada wilayat al-faqih menunjukkan adanya potensi intervensi dari wali faqih. Contoh aktual adalah sebagaimana yang terjadi di Lebanon dengan menguatnya gerakan Hizbullah. Sejak kemunculan Hizbullah hingga sekarang, fungsi wali faqih senantiasa tidak terpisahkan sari ideologinya.[15]Keberlakuan marja al-taqlid bersifat lintas negara atau nonteritorial. Sifat nonteritorial keberlakuan wilayat al-faqih dapat juga dilihat dari pernyataan Naim Qassem (Sekjen Hizbullah), yang menyebutkan bahwa Imam Khomeini sebagai pemimpin yang menetapkan instruksi politik yang umum bagi seluruh muslimin di manapun berada.[16]Dikatakan juga bahwa keberadaan wali al-faqih merupakan wali bagi seluruh umat Islam (baca: Syi’ah) dan yang kekuasaan perintahnya tidak terbatas pada lingkungan di dalamnya.[17] Naim Qassem, juga menyatakan bahwa negara asal seorang wali al-faqih tidak memiliki hubungan dengan ruang lingkup kekuasaannya. Hal yang sama juga berlaku bagi otoritas spiritual dan ruang lingkup geografis dari otoritas semacam itu. Boleh jadi, ia adalah orang Iran atau Irak, orang Lebanon atau Kuwait, atau negara lainnya. Karenanya, kebangsaannya tidak terkait dengan berbagai kualifikasinya, karena dia melaksanakan tugas Islam dan bekerja untuk agama ini yang merupakan rahmat bagi seluruh mahluk.”[18]Pendapat wali faqih sangat strategis dan menentukan dalam bidang partisipasi, oposisi atau pemberontakan.[19] Sehingga terlihat, wali faqih tampak sekali menentukan perintah yang terkait dengan masalah-masalah seluruh umat, seperti penentuan “lawan atau kawan.”[20]
Ideologi jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan lembaga wilayat al-faqih yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad. Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihadnya dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya.[21]Mohammed Hussein Fadlullah, sebagai marja mengatakan:
“Pendapat seorang faqih adalah pendapat yang memberikan legitimasi secara syari dan sebagai wakil Imam, dan Imam adalah wakil Nabi Salla Allahu alaihi wa Sallam. Karena Nabi Salla Allahu alaihi wa Sallam lebih lebih berhak untuk diutamakan daripada diri mereka sendiri, maka Imam juga demikian. Faqih yang adil juga demikian adanya.”[22]
Ideologi jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan lembaga wilayat al-faqih yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad. Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihadnya dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya.
Syi’ah Iran istilah yang tepat
Dengan menguatnya ekspansi ideologi transnasional Syi’ah Iran ke berbagai negara, menjadi bahan renungan bagi kita untuk mendefinisikan ulang tentang aliran-aliran Syi’ah sebagaimana banyak disebut dalam berbagai literatur. Terkait dengan ini, tahukah pembaca, bahwa pendefinisian atas Syi’ah bukan lagi disebut Syi’ah Jafariyah, Imamiyah, Itsna Asyariyah, Zaidiyah, dan lain sebagainya, semuanya sekarang sudah tidak relevan lagi! Apalagi nama samaran yang mereka kembangkan saat ini “Madzhab Ahlul Bait” adalah suatu kebohongan besar,mengatasnamakan keluarga Nabi Muhammad SAW, padahal mereka menghancurkan ajaran Islam yang ditransmisikan melalui sahabat dan para keturunan Nabi Muhamamd SAW. Untuk itu penulis menamakannya dengan “Syi’ah Iran.”Dikatakan demikian, oleh karena Syi’ah yang dikembangkan sekarang ini berpusat dan dikendalikan oleh Iran, hanya untuk kepentingan Iran belaka. Dalam analisis penulis, Khomeini dengan faksi ushulinya telah banyak melakukan perubahan-perubahan mendasar, penyimpangan di atas penyimpangan, kebohongan di atas kebohongan demi mewujudkan “kebangkitan bangsa Persia.”
Mendukung pernyataan bahwa Syi’ah yang ada di Indonesia dengan Syi’ah Iran, diakui oleh Jalaluddin Rakhmat, dalam rekaman wawancara, yang menanyatakan: “apa perbedaan Syi’ah di Indonesia dengan Iran?”, maka ia menjawab:
“Tidak ada. Syi’ah di Iran menganut Syi’ah Itsna Asyariyah atau Imamah, yakni ajaran yang mengutamakan masalah kepemimpinan. Ajaran itu tercantum dalam Undang-Undang Iran. Dan kami juga Syi’ah Itsna Asyariyah.”[23]
Dia menyebutkan ajaran yang mengutamakan masalah kepemimpinan, dimana ajaran itu tercantum dalam Undang-Undang Dasar Iran, dengan demikian ia sebenarnya hendak mengatakan bahwa Syi’ah Iran mengedepankan wilayat al-faqih dan dengannya Syi’ah di Indonesia memiliki pandangan yang sama yakni mengacu kepada wilayat al-faqih dimaksud.
Ketika kita menyebut Syi’ah Iran, maka yang dimaksudkan adalah Syi’ah yang dijuluki oleh Nabi Muhammad SAW yakni Syi’ah Rafidhah yang suka mencaci-maki para sahabat, sebagaimana juga perkataan Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Penyebutan Syi’ah Iran menggantikan penamaan Syi’ahImamiyah, Jafariyyah, Itsna Asyariyah dan semua Syi’ah yang dikendalikan dan tunduk kepada Iran.
Perlu juga diketahui bahwa berhasilnya Revolusi Iran dengan mempropagandakan “Tragedi Berdarah Karbala” yang dianggap oleh kalangan Syi’ah sebagai Revolusi Imam Husain as. Khomeini dengan sangat jelas mengatakan hal ini dalam berbagai ceramahnya, bahwa keberhasilan Revolusi Iran tidak lepas dari pelaksanaan tradisi Majelis Asyura.[24] Bahkan Ali Syari’ati menekankan pentingnya berkorban dan kalau perlu setiap orang menjadi martir bagi perjuangan yang mereka yakini. Dari hal itu muncul pernyataan, “Setiap tempat adalah Karbala, setiap hari adalah Asyura.” Begitu pun keberhasilan Hizbullah juga mengangkat tema sentral jihad Imam Husain pada setiap peringatan Asyura (10 Muharram). Ritual Karbala (Asyuro) semakin meningkatkan watak defensif ideologi jihad Hizbullah, sebagaimana juga dipraktekkan pada saat menjelang Revolusi Iran tahun 1979.
Syi’ah dalam banyak ajarannya khususnya tentang imamah dan pengorbanan Revolusi demi Imam Husain as telah menjadikan pengikutnya begitu sangat fanatik. Terkait dengan sifat fanatik ajaran Syi’ah ini, Saefuddin Buchori mengatakan bahwa suatu ajaran yang dipegang secara fanatik biasanya menimbulkan keinginan di kalangan pengikutnya untuk berkuasa.[25]
Bantahan klaim Syi’ah: “NU adalah Syi’ah minus Imamah”
Perlu penulis sampaikan terkait dengan banyaknya ungkapan yang beredar, “NU adalah Syi’ah minus Imamah“, dan “Syi’ah adalah NU plus Imamah.” Ungkapan ini berasal dari alm. Gus Dur, sayangnya kebanyakan orang tidak mengerti apa yang dimaksudkan alm. Gus Dur, dan memang ucapannya yang kadang membuat orang terkecoh.
Perlu diketahui, perbedaan pokok antara NU (termasuk kaum Sunni lainnya) dengan Syi’ah memang imamah, kalau disebut “NU adalah Syi’ah minus imamah” berarti imamah itu tidak ada artinya di mata NU. NU tidak mengakui imamah sebagai doktrin utama Syi’ah.
Sebaliknya jika disebut “Syi’ah adalah NU plus imamah“, maka bermakna Syi’ah telah jauh menyelisihi NU dan tentunya kaum Ahlussunnah lainnya, plus disini berarti Syi’ah sangat berlebihan sampai kepada taraf yang membuatnya terlepas dari persamaannya dengan NU (Sunni). Posisi “plus” sama dengan “Nasrani” yang berlebihan dengan mengatakan Isa AS adalah “anak Tuhan”. Itulah hakikat makna pernyataan alm. Gus Dur yang penulis pahami, walaupun Syi’ah dan sekutunya mengingkari.
Persamaan walaupun ada, tidak dapat dikatakan bisa menyatu, sebagaimana minyak tanah dengan air, sama-sama benda cair tapi keduanya sampai hari kiamat tidak akan pernah menyatu! Demikian pula antara Sunni dengan Syiah! Hanya orang dungu dan bodohlah yang mengatakan keduanya bisa menyatu.
Menghormati Ahlul Bait Rasulullah SAW adalah tradisi Sunni yang sudah berakar. Karena itu, maka pembacaan Diba’ hanya popular di kalangan Sunni. Diba’ di Iran tidak dibaca seperti di sini. Menghormati Ahlul Bait, sekali lagi, tidak identik dengan Syi’ah.[26] Ungkapan alm. Gus Dur, bahwa “NU itu lebih Syi’ah dari Syi;ah di Iran”, haruslah diartikan bahwa memang keduanya sama-sama menghormati Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW. Bahkan kaum Nahdhliyn tidak pernah membeda-bedakan para imam seperti yang dilakukan oleh kaum Syi’ah: ada yang meyakini enam imam, tujuh imam, ada pula yang 12 imam.[27]
Ketika Bung Karno menggagas konsep Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom), ketika itu pula kalangan Islam menolak, dan menyatakan protesnya, karena Islam dan Komunis tidak mungkin dapat bersatu walaupun untuk dan atas nama perjuangan revolusi. Jika sekarang ada segelintir orang menyataan Sunni-Syiah dapat dipersatukan, maka orang tersebut sama dengan pemikiran orang-orang terdahulu yang menganggap Islam dan Komunis dapat bersatu.
Penutup
Rafidhah semuanya berdiri atas dasar kecintaan kepada Ahlul bait, mereka menyatakan loyalitas terhadap mereka dan berlepas diri dari orang awam yaitu Ahlus Sunnah. Mereka membenci hampir seluruh sahabat Nabi Muhammad SAW, terutama ketiga Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar ra, Umar ra, dan Utsman bin Affan ra) dan ‘Aisyah binti Abu Bakar ra, hal ini mereka dasarkan dengan fitnah bahwa mereka menentang Ahlul Bait.[28] Sebagai tanda atau alamat Rafidhah mereka mencerca Abu Bakar ra dan Umar bin Khathab ra, sebagaimana perkataan imam Ahmad: “Telah berkata Abdulah bin Ahmad: Aku bertanya kepada ayahku, “Siapa Rafidhah itu?” Dia menjawab mereka adalah yang mencela Abu Bakar ra dan Umar ra.” (Abu Bakr bin Ahmad dalam Assunnah, 3/492)
Fitnah Syi’ah Iran telah merasuk sedemikian kuat ke dalam pemikiran-pemikiran intelektual serta kaum muda bangsa Indonesia. Sungguh kebenaran nubuwwat Nabi Muhammad SAW telah terbukti, beliau Rasulullah SAW bersabda,
“Jika telah muncul fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah serta para sahabatku dicaci-maki, maka seorang alim harus menampilkan ilmunya. Siapa yang tidak melakukan hal itu maka ia akan terkena laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia”.[29]
Oleh karena itu menjadi kewajiban penulis untuk menyampaikan makar provokasi Syi’ah Iran ini kepada ummat Islam, dengan harapan agar selalu waspada dan siaga terhadap gerakan-gerakan mereka yang penuh dengan tipudaya.
————————————–
[1] Ini doktrin fundamental Syi’ah, sangat efektif dalam rangka menjaring massa (kaum awwam Sunni).
[2] Dapat dikatakan marja al-taqlid merupakan resultan aplikasi konsep wilayat al-faqih sebagai kelanjutan ideologi imamah. Kelicikan Khomeini telah berhasil membangun Syi’ah yang agresif, ekspansif dan militan, sehingga Iran memiliki daya tawar di kancah dunia internasional.
[3] Khomeini,al-Hukumah al-Islamiyah, Teheran: Dar Kutub Islamiyyah, tt, hlm.20
[4] Kemampuan Iran menandingi Irak ternyata didukung oleh Amerika Serikat. Hal ini dibuktikan dengan adanya “Iran Gate” sebagaimana banyak dilaporkan media internasional pada waktu itu.
[5] Pendapat Ibnu Katsir mengatakan Imam Mahdi bukan dari Imam Syi’ah yang diklaimnya, melainkan dari keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Lihat al-Bidayah wa-Nihayah, pembahasan tentang Akhir Zaman (Imam Mahdi), karya Ibnu Katsir.
[6] Skenario dua imam menjelang kiamat bisa saja terjadi, sebagaimana keyakinan Syi’ah meyakini Ali bin Abi Thalib ra sebagai Imam yang sah dihadapkan dengan tiga khalifah: Abu Bakar ra, Umar bin Khaththab ra dan Utsman bin Affan ra. Bedanya Ali bin Abi Thalib ra dikatakan Syi’ah sedang bertaqiyyah pada saat itu, sedangkan pada masa akhir zaman nanti taqiyyah sudah tidak berlaku, digantikan dengan tabi’ah. Tabi’ah adalah suatu kondisi kebalikan dari taqiyyah, yakni menunjukkan jatidiri secara terang-terangan.
[7] M. Kamil Al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syiah, (Terjemah H.M. Rasyidi), Bulan Bintang. Jakarta, 1989, hlm.215.
[8] Ibid., hlm. 217.
[9] Ibid., hlm. 211.
[10] Fuad I. Khuri, Imam dan Emir, Negara, Agama, dan Sekte di Dalam Islam, Judul Asli: Imams and Emirs, State, Religion and Sects in Islam, Ctk Pertama, Bandung: Pustaka, 2002, hlm.121
[11]Ibid, hlm.119.
[12] Berdasarkan hasil wawancara dengan MUI Sampang, Sabtu tanggal 31 Desember 2011, bertempat di kantor Kejaksaan Negeri Sampang. Keanggotaan Tajul Mulul dan Roeis Hukama sebagai pengurus IJABI Sampang diakui oleh Jalaluddin Rakhmat, dia yang secara resmi melantik keduanya. Pengakuan Jalaluddin Rakhmat ini dapat dilihat pada: http://misykat.net/Kisah Kang Jalal Soal Syiah Indonesia.
[13]Kelembagaan marjaiyat sebenarnya hanya berlaku di wilayah Iran, namun dengan berhasilnya Khomeini meruntuhkan kekuasaan Shah Pahlevi, kelembagaan marjaiyat dikembangkan di berbagai negara. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pengembangan marjaiyat ke beberapa negara merupakan konsekuensi logis dari konsep wilayat al-faqih yang menempatkan seorang wali al-faqih sebagai satu-satunya pemimpin Syi’ah di dunia ini. Dengan hadirnya otoritas marjaiyat di berbagai negara membuktikan ekspansi ideologi Syi’ah Iran terbukti benar adanya.
[14]Otoritas kelembagaan wilayat al-faqih dibentuk dalam rangka menunggu hadirnya Imam Mahdi as selama dalam masa kegaibannya (ghaib kubro). Secara skematis, tata urutan kepemimpinan menurut Syi’ah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah hak para imam ma’shum(wilayat al-aimmah) mulai dari Ali bin Abi Thalib ra sampai dengan Imam Mahdi as. Ketika Imam Mahdi dalam masa kegaiban, maka kekuasaan kepemimpinan berada pada seorang yang faqih. Dengan demikian, imamah adalah adalah kelanjutan dari nubuwwah, dan wilayat al-faqih kelanjutan dari imamah, begitupun marja al-taqlid adalah pula konsekuensi logis dari wilayat al-faqih.
[15] Hizbullah berpandangan, semua dalil dan kemaslahatan yang meniscayakan kehadiran Nabi SAW dan pengganti belaiu dengan semua sifat dan kualifikasi tertentu yang wajib mereka miliki – dalam bobot yang sama – juga meniscayakan kehadiran wakil Imam di zaman kegaiban ini. Sehingga, keniscayaan ini mengantar Hizbullah untuk berpegang pada wali faqih yang mampu memimpin masyarakat Islam kepada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan mewujudkan keadilan sosial. Lihat: Musa Kazhim, Hizbullah Sebuah Gerakan Perlawanan ataukah Terorisme, Cet.ke-1, Mizan Media Utama, Jakarta, 2013, hlm.76.
[16]Naim Qassem Blue Print Hizbullah, Rahasia Manejemen Ormas Islam Tersukses di Dunia, Ufuk Press, Jakarta, 2008, hlm.80
[17] Ibid, hlm.83.
[18] Ibid, hlm.79.
[19] Ibid, hlm.78.
[20] Ibid, hlm.79.
[21] Ibid, hlm.65.
[22] Al Hukumah Al Islamiyah, Penerbit: Muassasah Tandhim Wa Nasyrut Turats Imam Khumaini, cet ke 4, hlm. 72
[23] Sumber : http://misykat.net/ Kisah Kang Jalal Soal Syiah Indonesia, diunduh pada tanggal 15 Mei 2014, jam: 16.45 WIB.
[24] Hatem Abu Shahba, The Word Finally Speaks at Karbala Tribunals, edisi Indonesia: Mahkamah Internasional Tragedi Karbala, Cet.ke-1, Nur Al-Huda, Jakarta, 2013, hlm.7.
[25] Saefuddin Buchori,Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009.hlm.249.
[26] Mohamamd Baharun, Tantangan Syiah…Op.Cit, hlm.122.
[27] Ibid, hlm.118.
[28] Abu Hazim Muhsin bin Muhammad Bashori, Bahaya Syiah Rofidhoh Bagi Dunia Islam, cet.2, (Sidorejo: Maktabah Daarul Atsar, 2013), hlm.11.
[29] Ditakhrij oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jami’ fi Adab al-Rawi wa al-Sami”,Kitab Muqaddimah Qanun Asasi Jam’iyah NU, hlm.25-26.
- See more at: http://www.arrahmah.com/kajian-islam/rekayasa-sistematis-khomeini-dalam-menyatukan-sekte-syiah-dan-mengelabui-umat-islam-bag-2-habis.html#sthash.x290F8SH.dpuf

Rekayasa Sistematis Khomeini dalam menyatukan sekte Syi'ah dan mengelabui umat Islam (bag I)




Oleh:
Al-Ustadz Subki Saiman, MA. (Ketua LKS Al-Maqashid Syariah)
DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM. (Divisi Fatwa dan Pengkajian Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia DKI Jakarta, dan Peneliti Ahli LKS Al-Maqashid Syariah)
(Arrahmah.com) – Revolusi Iran dan kebangkitan Syi’ah
Iran pada saat ini telah lebih maju dan berhasil melakukan politik konsolidasi, sehingga mengantarkannya di level integrasi. Semenjak berdirinya revolusi Iran, Khomeini dengan faksi ushulinya bekerja keras untuk mencapai kebangkitan Syi’ah yang kita ketahui dalam perjalanan sejarahnya mengalami berbagai perpecahan dan bahkan beberapa kali terjadi krisis imam.[1]
Saat ini, perpecahan dan krisis imam tidak lagi menjadi masalah. Diyakini oleh kaum Syi’ah bahwa Khomeni telah berhasil “mengatasi masalah tanpa masalah”. Namun, dalam perjalanannya telah menimbulkan masalah baru, yang justru lebih hebat, yakni pertentangan antara Sunni dengan Syi’ah yang semakin tinggi dan meluas di berbagai negara, tak ketinggalan di Republik Indonesia. Terjadinya konflik berdarah tidak dapat dilepaskan dari rencana besar Khomeini untuk menguasai dunia melalui ekspansi ideologi imamah Syi’ah Iran.
Tidak ada suatu negara di dunia ini yang mampu melahirkan ideologi yang bersumber dari ajaran agama yang menyimpang. Tidak pula ada suatu negara yang berhasil melakukan ekspansi ideologi politik dan ajaran keagamaan secara bersamaan ke berbagai negara.[2] Hanya satu-satunya negara yang berhasil melakukan itu, yakni Iran. Sejatinya jika kita meneliti suatu gerakan ideologi-keagamaan yang hendak diekspansi ke suatu negara, dalam hal ini Iran, maka kita harus mengacu kepada sistem politik dan sistem hukum serta faktor geopolitik[3] yang mempengaruhinya, selain pendekatan sejarah keagamaan. Pasca revolusi Iran, Khomeini telah mengambil bentuk ideologi-politik tersendiri yang dielaborasi melalui doktrin keagaman Syiah Imamiyah-Itsna Asyariyah.
Terdapat suatu teks makalah karya Mahdi al-Husaini, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Kamil al-Hasyimi dalam bukunya “Aqaidus-Syi’ah fil-Mizan,” disebutkan: “bahwa Revolusi yang dikehendaki Allah adalah Revolusi Syi’ah pada permulaannya, Islam pada lafalnya, dan Internasional pada tujuannya.” Islam yang dimaksudkan oleh Iran adalah Madzhab Jafari-Itsna Asyariyah (dua belas imam), dan itulah yang tertulis dalam Konstitusi Republik Syi’ah Iran yang menjadi pedoman Revolusi Khomeini.
Membedah Integrasi Syi’ah Iran dan Ekspansi Ideologi ke Negara-negara Sunni
Dalam konstitusi Iran disebutkan bahwa:
“Republik Islam adalah suatu rezim yang berdiri di atas Imamah dan pemerintahan yang terus menerus.” (Pasal 2). “Agama resmi Republik Iran adalah Islam yang bermadzhab Jafari dua belas Imam,dan pasal ini tidak dapat dirubah sepanjang masa.“ (Pasal 12).
Kedua pasal ini adalah pasal kunci (sentral). Namun, mohon pembaca perhatikan! adakah suatu hal yang bersifat kebetulan? Substansi Pasal 2 adalah imamah dan pemerintahan yang terus menerus, imamah bagian dari aqidah (Rukun Iman Syi’ah) sedangkan “pemerintahan” (al-wilayah) bagian dari syariat (Rukun Islam Syi’ah). Kedua rukun tersebut (imamah dan wilayah) bersifat fundamental, dan menariknya kedua rukun tersebut ditempatkan di “Pasal Dua”. Mungkin pembaca menganggap ini suatu hal yang tidak direncanakan oleh pembentuk konstitusi, tetapi asumsi ini terbantahkan ketika kita melihat rumusan Pasal 12, “Agama resmi Republik Iran adalah Islam yang bermadzhab Jafari dua belas Imam dan pasal ini tidak dapat dirubah sepanjang masa.” Dua belas Imam masuk ditempatkan dalam “Pasal Dua Belas”, apakah ini kebetulan?
Lebih lanjut, keberlakuan kedua pasal tersebut harus kita cermati dan kritisi, apa maksud filosofis pembentuk konstitusi Iran menentukan ketentuan imamah dan wilayah serta sebutan madzhab Jafari dua belas Imam. Setidaknya, terdapat beberapa alasan, sebagai berikut: pertama, mengapa harus Jafari dua belas Imam (Itsna Asyariyah) yang tidak dapat dirubah sepanjang masa. Kedua, Republik Islam adalah suatu rezim yang berdiri di atas imamah dan pimpinan yang terus menerus.” Ketiga, adanya kelembagaan otoritas ulama dengan konsep wilayat al-faqih(Iran: velayat-i faqih)dalam memegang kendali kekuasaan baik dalam ranah keagamaan (religius) maupun pemerintahan (politik), yang dikendalikan secara sentralisasi melalui seorang wakil Imam Mahdi yang sedang dalam masa ghaib khubro, yakni dengan sebutan rahbar atau wali faqih, saat ini dijabat oleh Ali Khamenei yang menggantikan Khomeini. Mengapa pula sebutan “pemimpin besar revolusi” masih masih melekat padanya. Mengacu kepada ketiga pertanyaan di atas, maka kita tidak dapat hanya mengandalkan melalui pendekatan teologis Syi’ah semata, melainkan juga dengan pendekatan ilmu politik dan ilmu hukum, dan ilmu lainnya.
Bertemunya paham keagamaan dan ideologi pasca berdirinya Revolusi Iran,[4] sebagaimana tersebut dalam konstitusi menunjukkan adanya dualisme kekuasaan. Dualisme kekuasaan dalam wilayat al-faqih sengaja dibangun sebagai eksistensi (legal standing) wakil imam kedua belas (Imam Mahdi versi Syi’ah) yang dalam masa ghaib khubro. Berdasar kenyataan ketiadaan imam, maka menjadi masuk akal bagi penganut ajaran Syi’ah harus adanya wakil sang Imam Ghaib. Tidaklah mungkin menurut pandangan faksi ushuli,Syi’ah dapat tegak tanpa adanya wakil Imam Ghaib. Untuk meneguhkan abadinya ajaran Syi’ah, maka harus ada suatu hukum dasar (konstitusi) yang berlaku universal, berlaku sepanjang masa bagi semua pengikut Syi’ah dimana saja mereka berada. Universalitas ajaran Syi’ah Iran inilah yang memberi semangat penganut Syi’ah untuk selalu memperjuangkan berdirinya pemerintahan ala imamahSyi’ah Iran, dimana pun mereka berada. Untuk menjaga agar paham ideologi-religius Syi’ah Iran selalu eksis diadakanlah pelarangan penghapusan doktrin imamah dan pemerintahan – yang disebutkan terus menerus – (al-wilayah), hukum imamah harus ditegakkan walaupun “dunia akan runtuh,” persis slogan hukum Yunani “fiat justitia et pereat mundus”.[5] Penyebutan agama Islam sebagai agama resmi Iran sangat penulis ragukan, sesungguhnya Iran menyebut Islam untuk taqiyyah, agar orang suka kepada madzhab Ja’fari dua belas imam atau Syi’ah Imamiyah-Itsna Asyariyah, sehingga Republik Iran dapat juga disebut “Republik Taqiyyah.”Ketika Imam Mahdi muncul menjelang al-Mahamah al-Khubro, maka kekuasaan diserahkan kepadanya dan dengan sendirinya sistem Reppublik berakhir secara otomatis.
Selanjutnya, penggunaan nama Jafari yang disebut mendahului dua belas imam,menjadi alat propaganda untuk menunjukkan bahwa Imam Jafar adalah sebagai pendiri madzhabJafari. Klaim sebagai pendiri madzhab ini demikian kuat pengaruhnya di kalangan para kaum Sunni yang awwam, mengingat semua keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Husain bin Ali Bin Abi Thalib ra harus melalui “pintu nasab” Jafar As-Shadiq ra. Terlebih lagi para Imam Sunni pernah belajar kepada Ja’far As-Shadiq ra[6], seperti Imam Malik ra dan Imam Hanafi ra. Kepopuleran madzhab Jafari, pasca Revolusi Iran sampai ke negeri Malaysia dan Indonesia. Sebagai contoh di Malaysia sebelum adanya pelarangan ajaran Syiah pada tahun 1996, pengakuan dan kebolehan mengamalkan ajaran Syiah disebutkan Syi’ahJafariyahatau Zaidiyah, bukan Itsna Asyariyah. Syi’ah Jafariyah ini kemudian diklaim oleh Syi’ah sebagai madzhabAhlul Bait, dan hingga sekarang istilah ini tetap melembaga, suatu madzhab keluarga suci Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya, pelekatan kata madzhab ini juga sengaja diarahkan oleh Syi’ah Iran, dimaksudkan agar orang mempercayai bahwa Syi’ah adalah sebagai salah satu dari madzhab resmi Islam. Seolah-olah perbedaannya dengan Sunni hanya di ranah furuiyyah/fiqiyyah belaka dan bukan dalamranah ushuluddin (aqidah). Melalui propaganda penamaan Madzhab Jafari dua belas imam inilah Iran telah berhasil menghimpun pecehan-pecahan aliran Sy’iah yang terserak di berbagai dunia, terlebih lagi dengan keberhasilan Khomeini membentuk Republik Islam (baca: Syi’ah) Iran dan kampanye melawan AS dan Zionis Yahudi. Iran melekatkan nama dua aliran – Jafariyah dan Itsna Asyariyah – yang sesungguhnya berbeda, Jafariyah adalah salah satu aliran dalam Syi’ah yang menganggap imamah berhenti pada Imam Jafar as-Shadiq, dengan demikian terkenal dengan sebutan aliran sittah (enam imam). Sedangkan Itsna Asyariyahberpendirian bahwa imamah itu masih berkelanjutan dari turunan Ja’far As-Shadiq ra sampai kepada al Imam yang kedua belas, yakni al Imam Muhammad bin Hasan Askari.
Penelusuran literatur menunjukkan perpecahan Syi’ah paling banyak pasca Imam Jafar As-Shadiq wafat, dengan lahirnya aliran Ismailiyah, Druze, Dawoodi Bohra, Hafizi, Nizari, dan lain-lain. Adapun aliran Zaidiyah tidak dimasukkan sebagai bagian dari Itsna Asyariyah, dikarenakan pemikirannya yang dekat dengan Sunni.
Keuntungan lain menggunakan term madzhab adalah meniadakan penetangan dari kalangan Sunni, kalaupun ada penetangan maka pendekatan yang dibangun adalah melalui media taqrib antara Sunni dengan Syi’ah. Media taqrib inilah yang cenderung diperjuangkan oleh Syi’ah Iran sebagaimana pertemuan antara tokoh-tokoh agama dari berbagai negara terkenal dengan Deklarasi Amman (Amman Mesaage). [7]
Taqrib diberdayakan ketika posisi Syi’ah dalam situasi dan kondisi yang lemah, tapi tidak berlaku ketika ia mampu menandingi Sunni seperti yang terjadi di Irak, Lebanon dan Suria, apalagi di Iran.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Syi’ah Iran menggunakan penamaan Jafari dengan mengambil nama madzhab Ahlul Bait, dimaksudkan untuk mengelabui kaum awwam Sunni agar percaya dan yakin bahwa ajaran itu memang berasal dari keluarga suci Nabi Muhammad SAW. Sifat yang sangat berlebihan (ghuluw) dan pengkultusan para imam yang melebihi derajat para malaikat dan para Rasul memang dikehendaki agar menumbuhkembangkan kepatuhan dan ketaatan. Adapun setiap orang yang menentang ajaran Syi’ah Iran akan selalu disematkan tuduhan nawashib/khawarij (golongan anti Ahlul Bait).[8]
Pengakuan Syi’ah bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq merupakan Imam dari golongan Syi’ah Imamiyah, sejatinya tak lebih hanya sekedar apologi belaka, sebab kenyataannya keyakinan dan perilaku beliau bertolak belakang dengan keyakinan dan perilaku Syiah. Contoh kecil, sudah tidak asing bahwa komunitas Syiah sangat benci terhadap Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra dan Sayyidina Umar bin Khathtab ra. Namun sikap Imam Ja’far ash-Shadiq kepada beliau berdua sangat mengagumkan. Dalam kitab al-Masyra’ ar-Rawi, juz I hlm.86 yang dikutip dari Mauqif al-’Alawiyyin Tujjah as-Syiah, hlm.12, Imam Ja’far ash-Shadiq berkata “Aku lepas tangan dari orang-orang yang membenci Abu Bakar dan Umar. Jika sekiranya aku berkuasa, niscaya aku akan mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah orang-orang yang membenci keduanya.”[9]
Ja’far ash-Shadiq berkata : “Sesungguhnya Aku dilahirkan oleh Abu Bakr dua kali”. Ibunya adalah Ummu Farwah, dan namanya adalah Qaribah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallaahu ‘Anhu. Dan Ibu dari Ummu Farwah) adalah Asma binti ‘Abdur-Rahman bin Abu Bakr Ash-Shiddiq.
Contoh konkrit propaganda penamaan madzhab Ahlul Bait ini dipraktekkan oleh Tajul Muluk, yang mengatakan bahwa Syi’ah adalah ajaran yang diajarkan para sesepuhnya dan Habaib dan mereka adalah Syi’ah sejati. Dengan mengatasnamakan para Habaib, sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW yang diklaim sebagai Syi’ah sejati menjadi alat penyebaran dakwah Syi’ah yang sangat efektif. Salah satu Ormas Syi’ah mengambil nama “Ahlul Bait Indonesia (ABI),” lebih kental bernuansa habaibisme dengan dibuktikan para petingginya dari kalangan habaib,[10] antara lain, Umar Shahab, Husein Shahab, Haidar Baqir, Hasan Daliel Alaydrus, dan lain-lain. Perlu diketahui pembentukan Ormas DPP Ahlul Bait Indonesia (ABI) ini sangat bersifat politis, pada awalnya ia hadir dalam rangka mengcounter peristiwa Sampang.[11]
Tentu menjadi pertanyaan, kemana Jalaluddin Rakhmat selaku penanggung jawab (Ketua Umum) IJABI, yang notabene Tajul Muluk adalah pengurus IJABI Sampang. Jawaban atas pertanyaan itu adalah sebagai siasat mengedepankan ahlul bait sebagai nama samaran memang ditujukan untuk membangun taqrib dan ukhuwah Islamiyyah yang palsu. Dengan hadirnya ABI sebagai ormas Syi’ah yang baru, tentunya agar lebih dapat diterima oleh kalangan Nahdliyin,
Untuk memperjelas rekayasa Khomeini dalam mengembangkan ajaran Syi’ah Iran dijelaskan melalui batu bangun perjuangan Iran dalam menegakkan ideologi-religius sebagai berikut di bawah ini.
[1] Krisis Imam pertama, ketika al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah ra yang terkenal dengan tahun jama’ah (tahun persatuan). Krisis Imam kedua, ketika al-Husain bin Ali bin Abi Thalib ra terbunuh dalam perang di Karbala. Krisis Imam ketiga, ketika Zaid bin Zainal Abidin tidak mengakui pada pencela Syaidina Abu Bakar as-Shiddiq ra dan Syaidina Umar bin Khathab ra, dan menyematkan julukan Rafidhah kepada mereka. Krisis Imam keempat, ketika wafatnya Ismail bin Jafar as-Shiddiq. Krisis Imam kelima ketika Al-Hasan Askari bin Ali al-Hadi wafat dan tidak meninggalkan keturunan, kemudian direkayasa dalam riwayat mereka bahwa anak dari al-Hasan Askari yakni Muhammad Al-Mahdi sebagai imam terakhir yang dalam masa ghaib khubro, kelak di ahkir zaman akan muncul menjadi pemimpin umat Islam. Lihat lampiran perpecahan imam Syi’ah.
[2] Ideologi politik versi Ikhwanul Muslimin yang di Indonesia – sebagai salah satu contohnya – dikembangkan melalui Hizbut Thahir Indonesia (HTI) dalam tataran keagamaan tidaklah menyimpang sebagaimana Syi’ah. HTI mengusung konsep “khilafah” bukan “imamah.” Tidak ditemukan adanya paham mendiskualifikasikan para khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW. Iran menjadilan dirinya sebagai pusat (basis) kekuatan dan berbagai negara dijadikannya seperti negara bagian – sebagaimana Suria dan Lebanon – dengan konsep Marjaiyat, dan ini telah terbukti. Adapun HTI yang ada di Indonesia tidak menjadikannya sebagai bagian integral dari Ikhwanul Muslimin yang dikembangkan di Mesir. Bahkan kekuatan Ikhwanul Muslimin – negara asal pembentuk gerakah khilafah – keadaannya tidak menentu dan mengalami kemunduran. Singkat kata, belum pernah ada negara Ikhwanul Muslimin di dunia ini. Adapun gerakan “salafi” tidak dapat dikatakan sebagai gerakan ideologi-politik, namun hanya gerakan keagamaan semata yang tidak ada sangkutpautnya dengan perjuangan mendirikan suatu negara dalam negara.
[3] Posisi Iran sangat menguntungkan, karena menguasai selat Hormuz. Apabila Iran melakukan blokade Selat Hormuz, berpotensi merusak perekonomian dunia. Kapal-kapal tanker pembawa minyak mentah dari negara-negara produsen minyak di Teluk Persia, seperti Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Iran sendiri, harus melewati selat sempit itu untuk menuju lautan lepas. Inilah sebabnya AS tidak berani melakukan perang dengan Iran, beda halnya dengan Irak. Jadi tidak benar jika dikatakan AS merasa takut dengan kekuatan militer Iran, yang benar adalah ketakutan AS dan seluruh dunia jika dilakukan blokade yang berdampak pada tidak adanya suplai minyak dan melambungnya harga minyak dunia, akibat akhir “krisis ekonomi dunia.”
[4] Penulis memandang Revolusi Khomeini bukanlah Revolusi Islam sebagaimana yang didengungkan pada saat itu dan diyakini hingga saat ini. Revolusi itu melainkan hanyalah Revolusi Syi’ah belaka, perseturuan antara faksi Ushuli versus Akhbari yang kemudian dimenangkan oleh Ushuli, dimana Khomeini termasuk dalam faksi Ushuli ini. Untuk mendalami perseturuan faksi Ushuli vs Akhbari serta pengadopsian sistem kepausan dalam konsep wilayat al-faqih(rahbar), baca: Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah dari Imamah sampai Mut’ah, Cet. V. Pustaka Bayan bekerjasama dengan Bina Aswaja, Jawa Timur, 2013.
[5] Tidak dapat dirubahnya ketentuan Pasal 12 ini jelas menunjukkan kediktatoran Iran dalam memaksakan ideologinya dan mengekspornya ke seluruh pengikut Syi’ah dimana saja mereka berada.
[6] Imam Ja’far ash-Shadiq itu adalah guru besar para pendiri madzhab. Beliau adalah ‘allamah besar yang pengajian-pengajiannya digelar di Madinah tanpa taqiyyah. Beliau tidak menginggalkan satu buku standar tentang madzhab seperti para imam pendiri madzhab. Tapi inspirasi para pendiri madzhab itu didapati dari imam Ja’far ash-Shadiq. Beliaulah guru utama mereka.
[7] Kaum Rafidhah selalu berlindung dibalik konsensus Deklarasi Ammanuntuk legitimasi penyebaran Syi’ah. Risalah Amman yang selama ini selalu menjadi landasan bagi Syi’ah untuk menebarkan pengaruhnya bukanlah kesepakatan pembenaran atas penyimpangan aqidah. Menurut Mohammad Baharun, Risalah Amman bukanlah cek kosong, Risalah Amman bukan pula kesepakatan pembenaran atas keyakinan menyimpang Rafidhah, yaitu doktrin caci-maki kepada para pembesar Sahabat dan isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam, apalagi pembenar doktrin tahrif. Solusi damai antara Syi’ah dan Sunni justru dengan membuat jarak yang jelas dan tidak mengelabui umat. Karena perbedaannya bukan di ranah mazhab fiqih saja, melainkan keyakinan aqidah. Risalah Amman tahun 2005juga tidak mengikat seluruh ulama yang hadir. Faktanya adalah Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi (Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional) yang ikut tercantum namanya sebagai penandatangan Risalah Amman,telah merilis tiga fatwa tentang Syi’ah Imamiyah di dalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid 4 yang terbit pada tahun 2009. Dalam fatwanya, beliau membongkar kesesatan Sy’iah Imamiyah dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan aqidah antara Sunni dan Syi’ah, hukum mencaci para sahabat Nabi dan sikapnya tentang pendekatan (taqrib) Sunni-Syiah pasca Muktamar Doha-Qatar tanggal 20-22 Januari 2007. Lihat: Mohammad Baharun, “Pakar Syiah Indonesia Dukung Langkah Syeikh Al Azhar“, http://www.hidayatullah.com. Diunduh pada tanggal 15 Mei 2014, jam: 16.50 WIB.
[8] Hal ini adalah suatu yang lumrah terjadi, dan memang menjadi alat bagi mereka untuk menekan perlawanan terhadap Syi’ah. Menarik untuk disimak adanya pernyataan bahwa masalah Syi’ah adalah masalah habaib, masalah “duren dengan duren”. Pernyataan ini tidak benar, penulis ketika mewancarai Al-Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff, Al-Habib Achmad bin Zein Al-Kaff dan Mohammad Baharun, menolak statemen tersebut. Pernyataan keras dikatakan oleh Al-Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff, “memangnya agama ini milik Habaib!”.
[9] Sebagaimana dikutip oleh Mohammad Baharun, Tantangan Syi’ah Terhadap Ahlussunnah, Jawa Timur, Pustaka Sidogiri, 2008, hlm.57-58.
[10] Menurut Al-Habib Achmad bin Zen Al-Kaff, tidak ada Habaib yang menjadi Syi’ah, kalaupun ada orang tersebut bukan Habib tapi “Mantan Habib.” Mereka otomatis telah melepaskan ke-Habaiban-nya ketika menjadi penganut Syi’ah.
[11] Pembentukan DPP ABI dengan menghadirkan kalangan para “mantan Habib” ini didayagunakan untuk membela Tajul Muluk dan sekaligus mengkampanyekan bahwa Syi’ah adalah madzhab Ahlul Bait. Dalam banyak kesempatan mulai dari kegiatan safari petinggi ABI ke pondok-pondok pesantren Sunni pasca kasus Sampang, dan memberikan kesaksian yang meringankan terdakwa Tajul Muluk hingga acara Indonesian Lawyer Club, dengan berbagai pembelaannya. (azm/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/kajian-islam/rekayasa-sistematis-khomeini-dalam-menyatukan-sekte-syiah-dan-mengelabui-umat-islam-bag-i.html#sthash.ElRKrLD4.dpuf

Powered By Blogger

Entri Populer