Cerita Saya

Foto saya
Selalu belajar dan mencari ilmu yang berguna/bermanfaat untuk pribadi dan masyarakat.

Senin, 07 Juli 2014

Maslahat medis di balik melepas hadats buang angin




(Arrahmah.com) – Pernahkah kita mendapatkan informasi bahwa dalam sebuah hadits dinyatakan “suara terompah Bilal telah mendahului Rasulullah salallahu ‘alayhi wasallam memasuki surga saat Isra Mi’raj”?
Subhanallah, ternyata Allah kabarkan suara terompah itu sebagai informasi bahwa Allah telah meridhoi dua kebiasaan Bilal selama di dunia. Pertama, tidaklah sekali-kali Bilal menyerukan adzan, melainkan terlebih dahulu ia melakukan shalat dua rakaat. Kedua, tidak sekali-kali ia mengalami hadast, melainkan ia segera berwudhu. Sesudahnya, ia mengerjakan shalat dua rakaat sebagai kewajibannya kepada Allah.
Maasyaa Allah, secara teknis, semua berpangkal pada kebiasaan Bilal istiqomah menjaga wudhu. Ada apa kiranya di sebalik syari’at wudhu hingga ia begitu istimewa? Mari kita cermati maslahatnya dengan kacamata medis.
Maslahat medis melepas hadats buang angin
Dari hadits tersebut, dapat diketahui sebuah kalimat kunci, yakni Bilal selalu bersegera dalam thaharah jika mengalami hadats, bukan menahan keluarnya hadats.
Salah satu hadats yang biasa ditahan adalah buang angin (flatus). Terdengarnya sepele bukan? Namun, dalam Kitab Thibbun Nabawi, Ibnul Qayyim Rahimahullah telah menerangkan bahwa buang angin termasuk 10 perkara memuncak yang jika tak segera dikeluarkan akan menimbulkan masalah bagi manusia.
Kekinian, bahaya menahan flatus diteliti pula oleh Frederic Saldman, seorang dokter asal Perancis. Berdasarkan hasil penelitiannya, terlalu sering mempertahankan udara di dalam perut dapat menimbulkan resiko kanker, penyakit jantung, hingga hiatal hernia (turun berok). Semua resiko tersebut kini banyak dialami masyarakat modern.
Sistem pembuangan gas terserap tubuh dan hasil pencernaan dari usus manusia melewati lubang pembuangan besar atau anus disebut flatulensi. Proses flatulensi terkadang disertai suara ataupun senyap, terkadang berbau ataupun tanpa aroma nitrogen, hydrogen,CO2, metana dan oksigen.
Gas dalam flatus terdiri atas 60% nitrogen, 30% karbondioksida dan 10% campuran dari metana dan hidrogen. Metana dan hydrogen adalah gas yang mudah terbakar. Tidak mustahil bila flatus yang mengandung gas metana dan hidrogen dalam jumlah tinggi, bisa menyebabkan rasa terbakar dari lubang anus atau dubur. “Apalagi jika dilakukan secara serempak dalam sebuah ruangan, itu dapat meledakkan semuanya,” kelakar seorang dokter.
Tidak jarang kita mendapati aroma tidak sedap ketika flatus, hal ini terjadi karena adanya kehadiran gas yang bernama hidrogen sulfida (H2S), indole, ammonia dan skatole. Dan gas-gas tersebut semuanya mengandung unsure sulfur yang mudah terbakar.
Tak heran bukan, ia harus segera dikeluarkan, bukan ditahan. Seseorang yang menahan buang angin tentu akan merasakan ketidaknyamanan. Hai itu disebabkan oleh meningkatnya tekanan gas dalam tubuh, sehingga usus melebar secara abnormal. Lebih lanjut, itu dapat menyebabkan kesulitan buang air besar (BAB).
Tersendatnya gas di dalam usus dapat mengakibatkan tekanan di sebagian rongga usus lebih tinggi pada tekanan pada pembuluh darah. Gas yang tertahan itu kemudian berdifusi masuk ke dalam pembuluh darah pada dinding usus, lalu beredar ke seluruh tubuh. Darah yang mencapai paru-paru barulah terlepas ke udara seiring kita bernafas. Dengan demikian, kita terancam bernafas tidak sedap. Ini dapat menghambat komunikasi kita dengan orang lain.
Flatus yang normal dapat menjadi menjadi acuan bagi tenaga medis untuk menakar kesehatan seseorang. Misalnya, seorang pasien pasca operasi dengan pembiusan baru diperbolehkan makan dan minum apabila telah buang angin. Dengan keluarnya flatus, kita dapat mengetahui bahwa kinerja usus pasien tersebut sudah kembali normal dan siap mencerna makanan. “Secara normal, gas flatus yang dikeluarkan dalam 24 jam mencapai sekitar 476-1490 ml atau rata-rata 750 ml dalam sekali waktu, dapat terjadi hingga 13 kali dalam sehari,” menurut peneliti Subdepartement of Human Gastrointestinal Physiology and Nutrition di Rumah Sakit Royal Hallamshire. Maka jika seseorang tidak dapat atau terus-menerus buang angin, dapat dipastikan ada ketidakwajaran pada pencernaannya.
Penelitian terkini yang dipublikasikan dalam jurnal Sexual Medicine oleh University Hospital of Singapore mengindikasikan buang angin merupakan obat disfungsi ereksi alias impotensi pada kaum pria. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya aliran darah dalam penis akibat terciptanya gas hidrogen oksida secara alami melalui flatulensi, setara dengan efek dari meminum obat ketahanan ereksi seperti Viagra.
Alhamdulillah, demikian banyak maslahat medis dari melepas hadats buang angin. Tentu saja, kita juga harus memperhatikan kapan dan di mana kita melepaskannya, agar tetap sesuai dengan norma kesopnan. Demikianlah flatus, salah satu nikmat Allah yang begitu luar biasa yang dapat memicu surga, yakni menjadi satu asbab kita untuk terus memperbaharui wudhu. Wallahu’alam bishowab.
(adibahasan/dbs/arrahmah.com)


Mantan Da'i Syiah: Kaderisasi Syi'ah bersumber dari YAPI



SURABAYA (Arrahmah.com) – Hampir seribuan umat Islam se surabaya dan sekitarnya, sejak jam 7 pagi sudah memadati ruang utama Masjid Mujahidin Perak Barat Surabaya, Ahad, (15/6/2014), untuk mengikuti pengajian rutin bertema “Fakta dan Data Syi’ah di Indonesia.” Pada acara itu menghadirkan pembicara Ustadz Basuki Rahmat (Mantan Da’i Syi’ah) dan Ustadz Farid Ahmad Okbah, MA. (Dewan Dakwah Islamiyah Jakarta).
Ustadz Basuki Rahmat menuturkan, pada tahun 80-an, dia berkeinginan untuk berangkat ke Afghanistan, namun karena Imamnya bai’at ke Al Habsyi Bangil, maka dia pun ditempatkan di YAPI Bangil Pasuruan Jawa Timur, sebagai kader yang dipersiapkan berangkat ke Iran. Saat itu dikatakan kepadanya bahwa sama saja, nanti kamu disana juga belajar agama Islam.
“Tapi setelah saya di YAPI, kejadiannya sangat mengejutkan, tiap bulan Ramadhan ada kajian Fiqh Syi’ah Itsna ‘Asy’ariyah dari sini saya tahu ajaran Syi’ah itu bagaimana,” tuturnya
Dari YAPI juga, lanjut Ustadz Basuki, dirinya mendengar sendiri, terjadinya pelecehan terhadap para Sahabat Nabi dan juga Al Qur’an, sementara tujuan semula saya untuk berangkat ke Afghanistan dalam rangka membela agama Islam mengorbankan nyawa untuk memenuhi panggilan Allah SWT dalam Al Qur’an, malah dilecehkan.
“Hampir seluruh kader Syi’ah di Indonesia dikader di YAPI, orang tua mereka banyak yang tidak paham kalau di YAPI itu Pesantren Syi’ah. Mereka hanya terpukau melihat yang punya pondok seorang Habib keturunan Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam. Mereka Tidak tahu kalau yang diajarkan bukan Islam tapi Syiah. Sehingga ketika mereka lulus dan kembali ke daerahnya masing-masing menggantikan orang tuanya – terjun ke masyarakat, mereka menyebarkan ajaran syi’ah, inilah yang menjadi sumber masalah,” lanjut ustadz Basuki.
Jika Syi’ah dibiarkan, semakin banyak konflik
Selanjutnya Ustadz Basuki memberikan peringatan akan bahaya memelihara Syiah.
“Kalau pemerintah Indonesia membiarkan Syi’ah berkembang apalagi sampai memberi ijin pengikut Syi’ah memperingati hari raya mereka semisal Idul Ghodir, Asyura’ yang berisi caci-maki, penghinaan dan pelaknatan kepada para sahabat dan ‘Aisyah istri Nabi saw, maka akan timbul konflik dimana-mana, seperti yang sudah terjadi di Madura, Jember, Situbondo dll,” ujarnya
Hal ini karena umat Islam tidak akan tinggal diam melihat orang-orang yang dicintai oleh Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin dicaci-maki, dihina dan dilaknat oleh orang-orang Syi’ah.
Mengapa Syiah dapat diterima dan cepat berkembang?
Pada acara itu diungkapkan sebab Syiah dapat diterima dan berkembang pesat di tengah-tengah masyarakat. Ustadz Basuki menyebut karena ada doktrin taqiyyah (penipuan). Mantan Da’i Syiah ini menuturkan, bahkan orang syi’ah berani merubah makna ayat Alqur’an, semisal ayat yang berbunyi, fatazawwaduu fa inna khoiroz zaadit taqwaa, mereka plesetkan maknanya berbekallah kamu karena sebaik-baik bekal adalah taqiyyah (tipu muslihat).
Kata taqwa diplesetkan menjadi taqiyyah. Contoh lain, “Ayat yang lain Inna akromakum ‘indalloohi atqookum diartikan sesungguhnya yang paling mulia diantaramu adalah yang paling pandai bertaqiyyah (berbohong). Kata atqookum (yang paling bertaqwa diantaramu) diplesetkan artinya menjadi yang paling pandai bertaqiyyah (berbohong),” ungkapnya.
Maka jangan heran, dengan berbekal ajaran taqiyyah inilah, kebanyakan mereka tidak mau dikatakan sebagai penganut paham syiah, karena semakin tinggi kesyiahannya, tidak mau dikatakan Syiah. “Kalau kita jeli, justru dari ucapan dan tingkah lakunya mereka ketahuan sebagai pengikut Syiah,” tuturnya.
Syi’ah memfitnah Buya Hamka
Disebut pula, Buya Hamka sempat berkunjung ke Iran. Namun sepulang dari kunjungannya itu, beliau mengambil kesimpulan dan menyatakan dengan tegas bahwa Syi’ah itu sesat dan menyesatkan.
“Tapi setelah beliau meninggal disebarkanlah isu oleh kalangan Syi’ah bahwa Buya Hamka sebelum meninggal bertaubat dan mengakui kebenaran Syi’ah,” lanjut Ustadz asal Gresik ini.
Akhirnya Ustdaz Basuki mengusulkan agar pihak kepolisian RI membentuk pasukan khusus pemburu Syiah. “
“Kalau di Malaysia dibentuk polisi khusus untuk memburu Syi’ah, seharusnya di Indonesia juga dibentuk Densus pemburu Syi’ah. Saya khawatir kalau Syi’ah ini tidak diberangus, maka tinggal tunggu waktu saja akan terjadi pertumpahan darah besar-besaran antara Islam dan Syi’ah, karena mereka merusak Islam dan kita pasti lawan. Allaahu Akbar,” pungkasnya. (azm/masarul/arrahmah.com)



Orang yang cerdas



Dari Syadad bin Aus radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
Orang yang cerdas adalah orang yang berintrospeksi diri dan beramal sebagai bekal untuk kehidupan setelah ia mati. Adapun orang yang lemah [bodoh] adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-angan [mendapat ampunan dan ridha] Allah Ta’ala [tanpa melakukan taubat nashuha dan amal shalih].” (HR. Tirmidzi no. 2459, Ibnu Majah no. 4260, Ahmad no. 17123, Al-Baihaqi no. 6588, Ath-Thabarani no. 7143, Al-Hakim no. 191 dan Al-Baghawi no. 4117)
Wallahu a’lam bish-shawab
Powered By Blogger

Entri Populer