Cerita Saya

Foto saya
Selalu belajar dan mencari ilmu yang berguna/bermanfaat untuk pribadi dan masyarakat.

Selasa, 26 April 2011

20 HUBUNGAN APAKAH YANG TERDAPAT ANTARA PENCIPTAAN DAN ILMU PENGETAHUAN?

20
HUBUNGAN APAKAH YANG TERDAPAT ANTARA PENCIPTAAN DAN ILMU PENGETAHUAN?


Seperti telah ditunjukkan dalam semua pertanyaan yang telah kami paparkan sejauh ini, teori evolusi benar-benar bertentangan dengan berbagai penemuan ilmiah. Teori ini, yang lahir pada saat tingkat ilmu pengetahuan masih terbelakang di abad ke-19, telah digugurkan oleh berbagai penemuan ilmiah secara berturut-turut.
Kaum evolusionis, yang secara membabi-buta mendukung teori tersebut, mencari jalan keluar dengan ungkapan dusta, karena tidak ada lagi dasar ilmiah yang tersisa. Yang paling sering dilakukan adalah penggunaan ucapan yang seringkali dilontarkan “penciptaan adalah keyakinan atau iman, jadi bukan bagian dari ilmu pengetahuan”. Selanjutnya, pernyataan ini menegaskan bahwa evolusi adalah teori ilmiah, sedangkan penciptaan hanyalah sebuah keyakinan. Namun, pengulangan ucapan “evolusi adalah ilmiah, sedangkan penciptaan adalah keyakinan” sebenarnya berasal dari sudut pandang yang salah. Mereka yang terus mengulanginya adalah orang-orang yang mengacaukan ilmu pengetahuan dengan filsafat materialis. Mereka yakin bahwa ilmu pengetahuan harus tetap berada dalam batas-batas materialisme, dan mereka yang tidak materialis tidak berhak membuat pernyataan apa pun. Namun, ilmu pengetahuan itu sendiri menolak materialisme.


Mengkaji materi tidak sama dengan
menjadi seorang materialis

Marilah, secara singkat, kita tentukan arti materialisme agar masalah ini dapat kita pelajari dengan lebih rinci. Materialisme adalah filsafat yang sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Dasar filsafat ini adalah gagasan yang menyatakan bahwa yang ada hanyalah materi. Berdasarkan filsafat materialis, materi sudah ada sejak awal, dan akan selalu ada untuk selamanya. Tidak ada sesuatu apa pun selain materi. Namun, pernyataan ini tidaklah ilmiah, karena tidak bisa diuji dalam percobaan dan pengamatan. Ini hanyalah suatu keyakinan, suatu dogma.
Akan tetapi, dogma ini berbaur dengan ilmu pengetahuan di abad ke-19, bahkan menjadi landasan berpijak bagi ilmu pengetahuan. Walaupun begitu, ilmu pengetahuan tidak harus menerima materialisme. Ilmu pengetahuan mengkaji alam dan jagat raya, dan hasil kajian tersebut tidaklah dibatasi oleh penggolongan filsafat apa pun.
Menghadapi hal ini, beberapa orang materialis sering membela diri dengan sekedar permainan kata. Mereka berkata, “Materi adalah satu-satunya bahan kajian ilmu pengetahuan, karena itu, ilmu pengetahuan haruslah bersifat materialis.” Ya, ilmu pengetahuan hanya mengkaji materi, tetapi “mengkaji materi” adalah hal yang sangat berbeda dengan “menjadi seorang materialis”. Sebabnya adalah, saat kita mengkaji materi, kita sadar bahwa materi mengandung pengetahuan dan rancangan yang begitu dahsyat, sehingga mustahil dihasilkan oleh materi itu sendiri. Kita paham bahwa pengetahuan dan rancangan tersebut adalah hasil karya sebuah kecerdasan, walaupun kita tidak bisa melihatnya secara langsung.
Sebagai contoh, bayangkanlah sebuah gua. Kita tidak tahu apakah gua itu pernah dimasuki orang atau belum. Jika, saat kita memasuki gua itu, yang ditemukan hanyalah tanah, debu dan batu, dapat kita simpulkan bahwa di sana tak ada apa-apa selain materi yang tersebar secara acak. Namun, apabila di dinding gua terdapat lukisan-lukisan yang bagus dengan warna-warni mengagumkan, dapat kita duga bahwa ada makhluk cerdas yang pernah masuk di gua itu sebelum kita. Mungkin kita tidak dapat langsung melihat makhluk itu, tetapi keberadaannya dapat kita simpulkan dari apa yang dihasilkannya.


Ilmu pengetahuan menentang materialisme

Ilmu pengetahuan mengkaji alam ini dengan cara yang sama seperti dijelaskan dalam contoh di atas. Jika semua rancangan di alam ini dapat dijelaskan dengan penyebab-penyebab yang bersifat materi semata, maka ilmu pengetahuan memperkuat materialisme. Namun, ilmu pengetahuan modern telah mengungkapkan bahwa di alam ini terdapat suatu rancangan yang tak bisa dijelaskan dengan penyebab bersifat materi, dan bahwa segenap materi mengandung suatu rancangan yang diciptakan oleh Sang Pencipta.
Contohnya, semua percobaan dan pengamatan membuktikan bahwa materi itu sendiri tidak dapat menghasilkan kehidupan. Karena itu, makhluk hidup pastilah hasil dari sebuah penciptaan metafisik. Semua percobaan evolusionis ke arah ini berakhir dengan kegagalan. Kehidupan tidak mungkin diciptakan dari materi tak-hidup. Ahli biologi evolusionis Andrew Scott membuat pengakuan berikut mengenai masalah tersebut dalam jurnal terkenal New Scientist:
Ambillah sejumlah materi, panaskan sambil diaduk, dan tunggulah. Itulah Genesis versi modern. Gaya-gaya “dasar”, yakni gravitasi, elektromagnetisme, serta gaya ikat inti atom yang kuat dan lemah dianggap sebagai gaya yang menyempurnakan proses tersebut… Tetapi, seberapa jauhkah kisah yang disusun sangat baik ini telah benar-benar terbukti, dan seberapa besarkah yang masih berupa dugaan yang penuh harap? Sebenarnya, mekanisme dari hampir seluruh tahapan utama, dari zat-zat kimiawi pembentuk, hingga sel-sel yang paling awal diketahui, masih menjadi bahan persengketaan, atau, kalau tidak, pastilah merupakan kebingungan yang menyeluruh. 75
Akar kehidupan didasarkan pada dugaan dan perdebatan karena dogma materialis bersikeras menyatakan bahwa kehidupan merupakan hasil dari materi. Akan tetapi, fakta-fakta ilmiah menunjukkan bahwa materi tidak memiliki kekuatan seperti itu. Profesor Fred Hoyle, ahli matematika dan astronomi yang dianugerahi gelar kebangsawanan untuk sumbangsihnya bagi ilmu pengetahuan, memberi ulasan berikut tentang hal ini:
Jika terdapat sifat mendasar materi yang melalui suatu cara dapat mendorong sistem organik mengarah pada terbentuknya kehidupan, maka keberadaannya haruslah dapat diperlihatkan di laboratorium. Misalnya, seseorang bisa saja menggunakan bak kolam renang sebagai ganti “ramuan sop purba”. Isilah bak itu dengan zat-zat kimia non-biologis mana pun yang Anda sukai. Pompakan gas ke atasnya, atau ke dalamnya, sesuka Anda, dan sinarilah dengan radiasi jenis apa pun yang Anda kehendaki. Biarkan percobaan ini berlangsung selama setahun, dan lihatlah ada berapa dari 2000 tersebut (protein yang dibuat dan dihasilkan sel hidup) yang muncul dalam bak ramuan itu. Saya akan memberi jawabannya, dan ini akan menghemat waktu, tenaga dan biaya melakukan percobaan secara sungguhan. Anda tak akan mendapatkan apa pun, selain (mungkin) endapan berlendir terapung yang terdiri atas asam-asam amino serta zat-zat kimia organik sederhana lainnya.76
Sebenarnya, materialisme sedang menghadapi kesulitan yang lebih buruk. Materi tak bisa membentuk kehidupan, walaupun diberi waktu serta digabungkan dengan pengetahuan manusia – apalagi tanpa faktor-faktor tersebut.
Kebenaran, yang baru saja kita tinjau sekilas adalah kebenaran bahwa materi itu sendiri tidak dapat merancang dan tidak berpengetahuan. Namun, jagat raya dan makhluk hidup di dalamnya mengandung rancangan dan pengetahuan yang luar biasa kompleks. Ini menunjukkan bahwa rancangan dan pengetahuan dalam jagat raya serta makhluk hidup adalah karya Pencipta yang memiliki kekuasaan serta pengetahuan yang tak terhingga – Pencipta yang telah ada sebelum materi itu sendiri ada, serta menguasai dan mengendalikannya.
Jika kita teliti dengan cermat, inilah kesimpulan yang ilmiah sepenuhnya. Ini bukanlah “keyakinan”, melainkan kebenaran yang diperoleh sebagai hasil pengamatan akan jagat raya dan makhluk hidup yang menghuninya. Karena itulah, pendapat evolusionis “Evolusi adalah ilmiah, sedangkan penciptaan adalah keyakinan di luar wilayah ilmu pengetahuan” merupakan tipuan yang dangkal. Memang, pada abad ke-19, materialisme dikacaukan dengan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan terbawa ke luar jalur oleh dogma materialis. Namun, perkembangan selanjutnya, di abad ke-20 dan ke-21, telah sepenuhnya menggugurkan keyakinan kuno itu. Dan, kebenaran penciptaan, yang tadinya terhalang materialisme, kini pun tampak. Seperti jelas dinyatakan majalah terkenal Newsweek, dalam edisi 27 Juli 1998-nya yang bersejarah, dengan berita utama yang berjudul Science Finds God (Ilmu Pengetahuan Menemukan Tuhan) – di balik penipuan materialis, ilmu pengetahuan menemukan Tuhan, Pencipta alam semesta dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya.

CATATAN


1. Francis Crick, Life Itself: Its Origin and Nature, New York, Simon & Schuster, 1981, hal. 88
2. Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Inheritance and evolution), Meteksan Publishing Co., Ankara, 1984, hal. 39
3. Homer Jacobson, “Information, Reproduction and the Origin of Life,” American Scientist, Januari 1955, hal. 121.
4. Douglas J. Futuyma, Science on Trial, Pantheon Books, New York, 1983, hal. 197
5. Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, hal. 25 (penekanan ditambahkan).
6. Stephen C. Meyer, P. A. Nelson, dan Paul Chien, The Cambrian Explosion: Biology’s Big Bang, 2001, hal. 2
7. Richard Monastersky, “Mysteries of the Orient,” Discover, April 1993, hal. 40. (penekanan ditambahkan)
8. Phillip E. Johnson, “Darwinism’s Rules of Reasoning” dalam Darwinism, Science and Philosophy oleh Buell Hearn, Foundation for Thoughts and Ethics, 1994, hal. 12. (penekanan ditambahkan)
9. Ian Anderson, “Who made the Laetoli footprints?” New Scientists, vol. 98, 12 Mei 1983, hal. 373.
10. D. Johanson & M. A. Edey, Lucy: The Beginnings of Humankind, New York: Simon & Schuster, 1981, hal. 250
11. R. H. Tuttle, Natural History, Maret 1990, hal. 61-64
12. D. Johanson, Blake Edgar, From Lucy to Language, hal. 169
13. D. Johanson, Blake Edgar, From Lucy to Language, hal. 173
14. Boyce Rensberger, Washington Post, 19 Oktober 1984, hal. A11
15. “Is This The Face of Our Past,” Discover, Desember 1997, hal. 97-100
16. Villee, Solomon dan Davis, Biology, Saunders College Publishing, 1985, hal.1053
17. Hominoid Evolution and Climatic Change in Europe, Volume 2, disunting oleh Louis de Bonis, George D. Koufos, Peter Andrews, Cambridge University Press
18. Daniel E. Liebermann, “Another face in our family tree,” Nature, 22 Maret, 2001 (penekanan ditambahkan).
19. John Whitfield, “Oldest member of human family found”, Nature, 11 Juli 2002
20. D. L. Parsell, “Skull Fossil From Chad Forces Rethinking of Human Origins,” National Geographic News, 10 Juli, 2002
21. John Whitfield, “Oldest member of human family found”, Nature, 11 Juli 2002
22. The Guardian, 11 Juli 2002
23. Arda Denkel, Cumhuriyet Bilim Teknik Eki (Bagian iptek pada surat kabar Cumhuriyet di Turki), 27 Februari, 1999
24. G. W. Harper, “Alternatives to Evolution,” School Science Review, volume 61, September 1979, hal. 26
25. http://www.cnn.com/2002/TECH/science/09/24/human.chimps.ap/index.html
26. http://www.newscientist.com/news/news.jsp?id=ns99992833
27. Karen Hopkin, “The Greatest Apes”, New Scientist, vol. 62, nomor 2186, 15 Mei 1999, hal. 27 (penekanan ditambahkan)
28. Hurriyet, 24 Februari 2000 (penekanan ditambahkan)
29. Harun Yahya, Darwinism Refuted, hal. 207 – 222
30. Nature, vol. 382, 1 Agustus, 1996, hal. 401
31. Carl O. Dunbar, Historical Geology, John Wiley and Sons, New York, 1961, hal. 310
32. Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, hal. 280-281
33. L. D. Martin, J.D. Stewart, K. N. Whetstone, The Auk, vol. 97, 1980, hal. 86
34. L. D. Martin, J.D. Stewart, K. N. Whetstone, The Auk, vol. 97, 1980, hal. 86; L. D. Martin, “Origins of the Higher Groups of Tetrapods,” Ithaca, Comstock Publishing Association, New York, 1991, hh. 485-540
35. S. Tarsitano, M. K. Hecht, Zoological Journal of the Linnaean Society, vol. 69, 1980, hal. 149; A. D. Walker, Geological Magazine, vol. 117, 1980, hal. 595
36. A. D. Walker, deskripsi dalam Peter Dodson, “International Archaeopteryx Conference,” Journal of Vertebrate Paleontology 5(2):177, Juni 1985
37. Jonathan Wells, Icons of Evolution, Regnery Publishing, 2000, hal. 117
38. Richard L. Deem, “The Demise of the ‘Birds Are Dinosaurs’ Theory,” http://www.yfiles.com/dinobird2.html
39. “Scientists say ostrich study confirms bird ‘hands’ unlike those of dinosaurs,” http://www.eurekalert.org/pub_releases/2002-08/uonc-sso081402.php
40. “Scientists say ostrich study confirms bird ‘hands’ unlike those of dinosaurs,” http://www.eurekalert.org/pub_releases/2002-08/uonc-sso081402.php
41. Ann Gibbons, “Plucking the Feathered Dinosaur,” Science, vol. 278, no. 5341, 14 November 1997, hh. 1229-130
42. “Forensic Paleontology: The Archaeoraptor Forgery,” Nature, 29 Maret, 2001
43. Storrs L. Olson “OPEN LETTER TO: Dr. Peter Raven, Secretary, Committee for Research and Exploration, National Geographic Society Washington DC 20036,” Smithsonian Institution, 1 November 1999.
44. Tim Friend, “Dinosaur-bird link smashed in fossil flap,” USA Today, 25 Januari 2000 (penekanan ditambahkan)
45. G. G. Simpson, W. Beck, An Introduction to Biology, Harcourt Brace and World, New York, 1965, hal. 241
46. Ken McNamara, “Embryos and Evolution,” New Scientist, vol. 12416, 16 Oktober 1999, (penekanan ditambahkan)
47. Keith S. Thompson, “Ontogeny and Phylogeny Recapitulated,” American Scientist, vol. 76, Mei/Juni 1988, hal. 273
48. Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong, Ticknor and Fields, New York, 1982, hal. 204
49. Elizabeth Pennisi, “Haeckel’s Embryos: Fraud Rediscovered,” Science, 5 September
50. Elizabeth Pennisi, “Haeckel’s Embryos: Fraud Rediscovered,” Science, 5 September (penekanan ditambahkan)
51. Massimo Pigliucci, Rationalists of East Tennessee Book Club Discussion, Oktober 1997
52. Evrim Kurami Konferansi (Conference on the Theory of Evolution), Istanbul Universitesi Fen Fakultesi (Universitas Istanbul, Jurusan Ekonomi), 3 Juni 1998
53. Leonard M. S., 1992. Removing third molars: a review for the general practitioner. Journal of the American Dental Association, 123(2): 77-82
54. M. Leff, 1993. Hold on to your wisdom teeth. Consumer reports on Health, 5(8):4-85
55. Daily T. 1996. Third molar prophylactic extraction: a review and analysis of the literature. General Dentistry, 44(4):310-320
56. Evrim Kurami Konferansi (Conference on the Theory of Evolution), Istanbul Universitesi Fen Fakultesi (Universitas Istanbul, Jurusan Sains), 3 Juni 1998
57. http://www.icr.org/creationproducts/creationscienceproducts/Variation_and_Fixity_in_Nature.html (penekanan ditambahkan)
58. David Raup, “Conflicts Between Darwin and Paleontology,” Bulletin, Field Museum of Natural History, vol. 50, Januari 1979, hal.24
59. Charles Darwin, The Origin of Species, 1859, hal. 313-314, (penekanan ditambahkan)
60. Derek A. Ager, “The Nature of the Fossil Record,” Proceedings of the British Geological Association, vol. 87, 1976, hal. 133, (penekanan ditambahkan).
61. Science, Philosophy and Religion, A Symposium, diterbitkan oleh Conference on Science, Philosophy, and Religion in Their Relation to the Democratic Way of Life, Inc., New York, 1941 (penekanan ditambahkan)
62. Max Planck, Where Is Science Going?, Allen & Unwin, 1933, hal. 214, (penekanan ditambahkan)
63. “Hoyle on Evolution”, Nature, vol. 294, 12 November, 1981, hal. 105
64. Collin Patterson, “Cladistics,” wawancara Brian Leek, pewawancara Peter Franz, 4 Maret, 1982, BBC (penekanan ditambahkan)
65. B. G. Ranganathan, Origins?, Pennsylvania: The Banner of Truth Trust, 1988
66. N. Eldredge dan I. Tattersall, The Myths of Human Evolution, Columbia University Press, 1982, hal. 59
67. R. Wesson, Beyond Natural Selection, MIT Press, Cambridge, MA, 1991, hal. 45
68. “Human Genome Map Has Scientists Talking About the Divine” oleh Tom Abate, San Francisco Chronicle, 19 Februari 2001 (penekanan ditambahkan).
69. Dr. Lee Spetner, “Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an Exchange with Dr. Edward E. Max,” 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
70. Dr. Lee Spetner, “Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an Exchange with Dr. Edward E. Max,” 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
71. Dr. Lee Spetner, “Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an Exchange with Dr. Edward E. Max,” 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
72. Dr. Lee Spetner, “Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an Exchange with Dr. Edward E. Max,” 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
73. Francisco J. Ayala, “The Mechanisms of Evolution,” Scientific American, vol. 239, September 1978, hal. 64, (penekanan ditambahkan)
74. Dr. Lee Spetner, “Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an exchange with Dr. Edward E. Max,” 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
75. Andrew Scott, “Update on Genesis,” New Scientist, vol. 106, 2 Mei 1985, hal. 30
76. Fred Hoyle, The Intelligent Universe, Michael Joseph, London, 1983, hal. 20-21

19 MENGAPA KEKEBALAN BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK BUKANLAH CONTOH PERISTIWA EVOLUSI?

19
MENGAPA KEKEBALAN BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK BUKANLAH CONTOH PERISTIWA EVOLUSI?


Satu konsep biologi yang dicoba-sajikan sebagai bukti teori evolusi oleh para evolusionis adalah kekebalan atau daya tahan bakteri terhadap antibiotik. Banyak sumber evolusionis menyebutkan bahwa kekebalan terhadap antibiotik adalah sebuah contoh perkembangan makhluk hidup melalui mutasi yang menguntungkan. Hal serupa juga dikatakan tentang serangga yang menjadi kebal terhadap insektisida seperti DDT.
Akan tetapi, kaum evolusionis pun salah dalam hal ini.
Antibiotik adalah “molekul pembunuh” yang dihasilkan mikroorganisme untuk melawan mikroorganisme lain. Antibiotik pertama adalah penisilin, yang ditemukan oleh Alexander Flemming pada 1928. Flemming menyadari bahwa jamur (seringkali ditemukan seperti bubuk atau benang-benang di permukaan bahan organik sudah lama – penerj.) menghasilkan molekul yang mematikan bakteri Staphylococcus, dan penemuan ini merupakan titik balik dalam dunia obat-obatan. Antibiotik yang diambil dari berbagai organisme digunakan untuk melawan bakteri, dan berhasil.
Tidak lama kemudian, hal baru ditemukan. Seiring dengan waktu, bakteri mengembangkan kekebalan terhadap antibiotik. Mekanisme kerjanya adalah sebagai berikut: sebagian besar bakteri yang diberi antibiotik akan mati, tetapi sebagian lain yang tidak terpengaruh oleh antibiotik tersebut, akan dengan cepat berkembang biak dan membentuk populasi yang sama dengan yang sebelumnya. Sehingga, seluruh populasi menjadi kebal terhadap antibiotik.
Para evolusionis menampilkan hal ini sebagai “evolusi bakteri dengan cara beradaptasi terhadap lingkungan”.
Akan tetapi, kenyataan sebenarnya jauh berbeda dengan penafsiran dangkal ini. Salah seorang ilmuwan yang telah melakukan penelitian mendalam di bidang ini adalah ahli biofisika Israel bernama Lee Spetner, yang juga dikenal dengan bukunya Not by Chance yang terbit tahun 1997. Spetner menyatakan, kekebalan bakteri terjadi karena dua mekanisme; namun tak satu pun dari keduanya merupakan bukti teori evolusi. Kedua mekanisme ini adalah:
1. Perpindahan (transfer) gen-gen kekebalan yang sudah ada pada bakteri.
2. Tumbuhnya kekebalan sebagai akibat hilangnya data genetis karena mutasi.
Mekanisme yang pertama dibahas Profesor Spetner dalam artikel yang terbit tahun 2001:
Sejumlah mikroorganisme dilengkapi dengan gen-gen yang memberikan kekebalan terhadap antibiotik-antibiotik ini. Kekebalan ini dapat berupa kemampuan merombak molekul antibiotik tersebut, atau mengeluarkannya dari sel … [O]rganisma yang memiliki gen-gen ini dapat memindahkannya ke bakteri lain, sehingga menjadikan bakteri tersebut kebal juga. Walaupun mekanisme kekebalan tersebut bersifat khusus terhadap satu antibiotik tertentu, kebanyakan bakteri patogen telah … berhasil mengumpulkan beberapa perangkat gen yang memberikan bakteri-bakteri tersebut kekebalan terhadap beberapa jenis antibiotik.69
Spetner lalu melanjutkan dan berkata bahwa hal ini bukanlah “bukti yang mendukung evolusi”:
Perolehan kekebalan terhadap antibiotik dengan cara ini… bukanlah sesuatu yang dapat menjadi contoh dari mutasi yang diperlukan untuk menjelaskan peristiwa Evolusi… Perubahan genetik yang dapat mendukung teori ini semestinya tidak hanya menambahkan informasi pada genom bakteri. Perubahan genetik ini harus pula menambahkan informasi baru pada biokosmos. Perpindahan gen secara horisontal hanya menyebabkan penyebaran gen-gen yang sudah ada pada sejumlah spesies.70
Jadi, kita tak dapat berbicara tentang evolusi apa pun di sini, karena tidak ada informasi genetis baru dihasilkan: yang terjadi hanyalah informasi genetis yang sudah ada sekedar dipindahkan di antara bakteri.
Jenis kekebalan yang kedua, yang tercipta sebagai hasil mutasi, juga bukan contoh evolusi. Spetner menulis:
… [S]uatu mikroorganisme kadang dapat memperoleh kekebalan terhadap suatu antibiotik melalui penggantian acak sebuah nukleotida… Streptomisin, yang ditemukan Selman Waksman dan Albert Schatz, dan pertama kali dilaporkan di tahun 1944, adalah antibiotik yang dapat menjadikan bakteri dapat memperoleh kekebalan dengan cara itu. Tetapi, walaupun mutasi yang mereka alami dalam proses ini bersifat menguntungkan bagi mikroorganisme yang diberi streptomisin, mutasi tersebut tidak dapat menjadi contoh dari jenis mutasi yang diperlukan untuk mendukung Teori Neo-Darwinian (Neo Darwinian Theory atau NDT). Jenis mutasi yang memunculkan kekebalan terhadap streptomisin terjadi pada ribosom, dan menghilangkan kemampuan sel untuk mengenali dan berikatan dengan molekul antibiotik.71
Dalam bukunya Not by Chance, Spetner mengibaratkan situasi ini dengan gangguan pada hubungan antara kunci dan lubangnya. Streptomisin, ibarat kunci yang cocok dengan lubangnya, mencengkeram ribosom suatu bakteri dan menjadikannya tidak aktif. Mutasi menyebabkan hal sebaliknya, menguraikan ribosom, sehingga streptomisin tidak dapat menyerang ribosom. Walaupun ini ditafsirkan sebagai “pembentukan kekebalan bakteri terhadap streptomisin”, bakteri tidaklah diuntungkan, malah sebaliknya. Spetner menulis:
Perubahan ini, yang terjadi pada permukaan ribosom mikroorganisme, mencegah molekul streptomisin untuk menempel dan melaksanakan fungsi antibiotiknya. Ternyata, terurainya ribosom adalah berupa hilangnya struktur khusus, dan ini berarti hilangnya informasi. Intinya adalah, Evolusi… tidak dapat dicapai dengan mutasi jenis ini, tak menjadi soal betapa pun banyaknya. Evolusi tidak dapat terjadi melalui timbunan peristiwa mutasi yang hanya merombak struktur khusus.72
Singkatnya, sebuah mutasi yang terjadi pada ribosom bakteri telah menjadikan bakteri tersebut kebal terhadap streptomisin. Alasannya adalah “rusak atau hilangnya bagian” ribosom akibat mutasi. Jadi, tidak ada informasi genetis baru yang ditambahkan. Sebaliknya, struktur ribosom terurai, yang berarti, bakteri menjadi “cacat”. (Juga, telah ditemukan bahwa ribosom pada bakteri yang telah mengalami mutasi tidak berfungsi penuh seperti ribosom pada bakteri yang normal.) Karena “cacat” ini mencegah menempelnya antibiotik pada ribosom, maka terjadilah “kekebalan terhadap antibiotik”.
Akhirnya, tidak terdapat contoh mutasi yang “mengembangkan informasi genetis”. Para evolusionis, yang ingin menyajikan kekebalan terhadap antibiotik sebagai bukti evolusi, telah menangani masalah ini dengan tidak sungguh-sungguh, sehingga mereka salah.
Sama halnya dengan terjadinya kekebalan serangga terhadap DDT dan insektisida sejenis. Pada umumnya, gen-gen kekebalan yang sudah ada, digunakan. Ahli biologi evolusioner, Francisco Ayala mengakui fakta ini, dan berkata: “Varian genetis yang dibutuhkan untuk terjadinya kekebalan terhadap jenis pestisida yang paling bervariasi sekali pun, tampaknya sudah ada dalam setiap populasi yang terkena senyawa-senyawa buatan manusia ini.”73 Contoh lain yang dijelaskan dengan mutasi, seperti halnya mutasi ribosom yang telah diceritakan di atas, adalah fenomena yang menyebabkan “berkurangnya informasi genetis” pada serangga.
Dalam kasus ini, mekanisme kekebalan pada bakteri dan serangga tidak bisa dinyatakan sebagai bukti kebenaran teori evolusi. Hal ini berlaku karena teori evolusi menegaskan bahwa makhluk hidup berkembang melalui mutasi. Namun, Spetner menjelaskan bahwa kekebalan antibiotik maupun fenomena biologis lainnya bukanlah isyarat adanya mutasi semacam itu:
Mutasi-mutasi yang diperlukan bagi terjadinya makro-evolusi belum pernah teramati. Tidak ada mutasi acak – yang dapat menjadi bukti mutasi yang dibutuhkan Teori Neo-Darwinis – pada tingkat molekuler, yang telah menambahkan sedikit pun informasi. Pertanyaan yang saya ajukan adalah: Apakah mutasi yang telah diamati merupakan jenis yang diperlukan untuk mendukung teori ini? Ternyata jawabnya adalah TIDAK! 74

18 MENGAPA DNA TIDAK MUNGKIN DIJELASKAN SEBAGAI SEBUAH “KEBETULAN”?

18
MENGAPA DNA TIDAK MUNGKIN DIJELASKAN SEBAGAI SEBUAH “KEBETULAN”?


Dengan tingkat ilmu pengetahuan yang telah dicapai kini, kita menyaksikan bahwa berbagai rancangan dan sistem kompleks yang jelas terdapat dalam makhluk hidup tidak mungkin muncul secara kebetulan. Sebagai contohnya, berkat pencapaian Proyek Genom Manusia (Human Genome Project) belakangan ini, kita dapat melihat rancangan yang menakjubkan serta kandungan informasi yang sangat banyak yang terdapat di dalam gen manusia.
Dalam kerangka proyek tersebut, ilmuwan dari berbagai negara - dari Amerika serikat sampai Cina - telah 10 tahun bekerja untuk memecahkan 3 miliar kode kimia yang terdapat di dalam DNA. Sebagai hasilnya, kini hampir semua informasi dalam gen manusia telah disusun secara berurut.
Walaupun kemajuan yang telah dicapai sangatlah menggairahkan dan merupakan perkembangan yang penting, seperti Dr. Fancis Collins, pimpinan Proyek Genome Manusia katakan, bahwa ini hanyalah langkah pertama dalam memecahkan kode informasi yang terkandung di dalam DNA.
Guna memahami mengapa diperlukan waktu 10 tahun dan ratusan ilmuwan untuk menyingkapkan kode-kode pembentuk informasi ini, kita harus lebih dahulu memahami besarnya informasi yang terkandung dalam DNA.


DNA menyingkapkan adanya sumber
pengetahuan yang tak terhingga

DNA dari satu sel manusia saja sudah berisi informasi yang cukup untuk mengisi ensiklopedi yang terdiri dari sejuta halaman. Kita tidak mungkin habis membacanya dalam seumur hidup. Jika seseorang mulai membaca satu kode DNA per detik, tanpa henti, sepanjang hari, setiap hari, akan diperlukan waktu 100 tahun. Sebab, ensiklopedia tersebut berisi hampir tiga miliar kode yang berbeda-beda. Jika kita tulis semua informasi DNA pada kertas, maka panjangnya akan membentang dari Garis Katulistiwa mencapai Kutub Utara. Ini berarti sekitar 1000 jilid buku – lebih dari cukup untuk mengisi satu perpustakaan yang besar.
Lebih dari itu, semua informasi ini terkandung dalam inti setiap sel. Artinya, bila setiap individu terdiri dari sekitar 100 triliun buah sel, maka akan terdapat 100 triliun versi dari perpustakaan yang sama.
Bila dibandingkan dengan jumlah informasi yang telah dicapai pengetahuan manusia hingga saat ini, kita tidak mungkin memberikan contoh yang setara besarnya. Sebuah gambaran yang sulit untuk dipercaya: 100 triliun x 1000 buku! Ini lebih banyak dibandingkan jumlah butir pasir di dunia. Lebih jauh lagi, jika kita kalikan jumlah tersebut dengan enam miliar yang kini hidup di Bumi, ditambah miliaran yang telah hidup sebelum kita, angka yang didapatkan akan berada di luar jangkauan pemahaman kita. Jumlah informasi itu mencapai ketakterhinggaan.
Beberapa contoh ini menunjukkan betapa dahsyatnya informasi yang begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kini manusia memiliki komputer canggih yang dapat menyimpan informasi dalam jumlah amat besar. Akan tetapi, bila kita bandingkan DNA dengan komputer tersebut, kita akan takjub menyaksikan bahwa teknologi paling mutakhir – hasil timbunan seluruh usaha dan ilmu pengetahuan manusia berabad-abad – belum mencapai kapasitas penyimpanan satu buah sel pun.
Gene Myers adalah salah satu pakar paling terkemuka di Celera Genomics, yakni perusahaan pelaksana Proyek Genome Manusia. Perkataannya sehubungan dengan hasil proyek tersebut merupakan sebuah pernyataan tentang pengetahuan dan rancangan hebat yang terdapat dalam DNA: “Apa yang betul-betul menakjubkan saya adalah arsitektur kehidupan … Sistem ini teramat kompleks. Seolah ini telah dirancang … Ada kecerdasan luar biasa di sana.”68
Sisi menarik lainnya adalah semua makhluk hidup di planet ini telah diciptakan menurut paparan kode yang ditulis dalam bahasa yang sama ini. Tidak ada bakteri, tumbuhan ataupun hewan yang tercipta tanpa DNA. Terlihat jelas bahwa seluruh kehidupan muncul sebagai hasil berbagai pemaparan yang menggunakan satu bahasa, dan berasal dari sumber pengetahuan yang sama.
Hal ini membawa kita kepada satu kesimpulan yang jelas. Semua kehidupan di bumi, hidup dan berkembang biak menurut informasi yang diciptakan oleh satu kecerdasan tunggal.
Hal ini menjadikan teori evolusi sama sekali tak berarti. Sebabnya adalah, dasar teori evolusi adalah “kebetulan”, sedangkan peristiwa kebetulan tidak mampu menciptakan informasi. Jika suatu hari ditemukan sebuah ramuan obat yang sanggup melawan kanker tertulis di sehelai kertas, umat manusia akan bergabung untuk mencari tahu siapa ilmuwan yang terkait, serta bahkan memberikan penghargaan kepadanya. Tak seorang pun akan berpikir, “Jangan-jangan ramuan obat itu kebetulan tertulis akibat tumpahan tinta di kertas itu.” Setiap orang yang berakal dan mampu berpikir jernih akan beranggapan bahwa ramuan itu ditulis oleh seseorang yang telah mengkaji ilmu-ilmu kimia, fisiologi manusia, kanker dan farmakologi, secara mendalam.
Pernyataan evolusionis, bahwa informasi pada DNA timbul secara kebetulan, sangatlah tidak masuk akal. Hal ini setara dengan mengatakan bahwa ramuan obat pada kertas tersebut juga tertulis secara kebetulan. DNA mengandung rumus molekul terperinci dari 100.000 jenis protein dan enzim, sekaligus perintah yang cermat namun rumit tentang pengaturan penggunaan zat-zat tersebut selama produksi. Disamping itu, juga terkandung rencana produksi berbagai hormon pembawa-pesan serta tata-cara komunikasi antar-sel tempat di mana zat-zat tersebut digunakan, serta segala jenis informasi lain yang rumit dan tertentu.
Pernyataan yang mengatakan bahwa DNA – beserta semua informasi di dalamnya – tercipta secara kebetulan, atau terjadi karena sebab-sebab alamiah, adalah cermin ketidakpahaman atas permasalahan yang ada atau keyakinan buta materialis. Gagasan yang mengatakan bahwa sebuah molekul seperti DNA – beserta kandungan informasinya yang menakjubkan dan strukturnya yang kompleks – dapat dihasilkan secara kebetulan, tidak pantas dianggap serius. Tidaklah mengherankan, para evolusionis berusaha memberi penjelasan dangkal perihal sumber kehidupan, seperti juga berbagai perihal lainnya, dengan menjabarkannya sebagai “rahasia yang belum terpecahkan”.

17 MENGAPA PERISTIWA METAMORFOSIS BUKANLAH BUKTI KEBENARAN TEORI EVOLUSI?

17
MENGAPA PERISTIWA METAMORFOSIS BUKANLAH BUKTI KEBENARAN TEORI EVOLUSI?


Beberapa jenis hewan mengalami perubahan fisik agar dapat bertahan dan beradaptasi dengan kondisi alam yang berubah-ubah. Proses ini dikenal sebagai metamorfosis. Mereka yang tak begitu memahami biologi, serta mereka yang mendukung teori evolusi, kadang-kadang mencoba menggambarkan proses itu sebagai bukti evolusi. Sumber-sumber yang menyatakan metamorfosis sebagai “contoh evolusi” adalah omong kosong. Hal ini merupakan hasil propaganda dangkal dan sempit, yang bertujuan menyesatkan mereka yang kurang paham tentang perihal ini, pendukung evolusi yang masih baru, serta guru-guru biologi Darwinis yang tidak benar-benar tahu masalahnya. Para ilmuwan yang dianggap ahli dalam bidang evolusi, dan memahami kebuntuan dan pertentangan dalam teori ini, seringkali bersikap segan bila harus mengungkapkan pernyataan yang menggelikan ini. Sebab, mereka tahu betapa pendapat tersebut tidak masuk akal …
Kupu-kupu, lalat dan lebah adalah beberapa contoh hewan yang dikenal mengalami proses metamorfosis. Katak, yang mula-mula hidup di air lalu pindah ke darat, merupakan contoh yang lain. Hal ini tak ada kaitannya dengan evolusi, karena teori evolusi berusaha menjelaskan proses munculnya keberagaman di antara makhluk hidup melalui peristiwa mutasi yang terjadi secara tidak disengaja. Akan tetapi, metamorfosis tidak memiliki kesamaan apa pun dengan pernyataan tersebut. Metamorfosis merupakan proses yang sudah direncanakan, dan tidak ada kaitannya dengan mutasi ataupun faktor kebetulan. Metamorfosis tidaklah disebabkan oleh kebetulan. Penyebab proses ini adalah data genetis yang sudah menjadi bagian terpadu makhluk tersebut sejak lahir. Misalnya, katak memiliki informasi genetis yang memungkinkannya hidup di darat serta di bawah permukaan air. Bahkan saat masih berbentuk larva, seekor nyamuk memiliki informasi genetis tentang bentuk pupa dan dewasa. Hal serupa juga terdapat pada semua hewan yang mengalami metamorfosis.


Metamorfosis adalah bukti penciptaan

Penelitian ilmiah terakhir tentang metamorfosis telah menunjukkan bahwa peristiwa metamorfosis adalah proses rumit yang dikendalikan oleh beberapa gen yang berlainan. Dalam metamorfosis katak, misalnya, proses yang menyangkut ekor dikendalikan oleh lebih dari dua belas gen. Artinya, proses pembentukan ekor terjadi berkat adanya kerja sama antara beberapa bagian. Ini merupakan proses biologi yang menunjukkan ciri irreducible complexity, atau “kerumitan tak tersederhanakan”, yang berarti metamorfosis adalah bukti akan adanya penciptaan.
Irreducible complexity adalah konsep dalam dunia ilmiah yang diungkapkan oleh Profesor Michael Behe, ahli biokimia yang dikenal atas penelitiannya yang membuktikan ketidakabsahan teori evolusi. Arti konsep ini adalah organ dan sistem kompleks berfungsi sebagai hasil kerja sama berbagai bagian penyusunnya, dan jika saja satu bagian terkecil tidak berfungsi, maka seluruh sistem atau organ akan berhenti pula. Struktur yang rumit ini tidak mungkin muncul secara kebetulan, berubah sedikit demi sedikit seperti yang diungkapkan oleh teori evolusi. Yang terjadi dalam peristiwa metamorfosis adalah irreducible complexity (kerumitan tak tersederhanakan). Proses metamorfosis terjadi melalui keseimbangan dan pewaktuan hormon yang sangat teliti, yang dipengaruhi oleh beragam gen. Kesalahan terkecil sekali pun akan mengakibatkan kematian makhluk hidup tersebut. Oleh sebab itu, tidak mungkin proses serumit ini dapat terjadi secara kebetulan dan bertahap. Karena kesalahan sekecil apa pun akan mengakibatkan kematian hewan tersebut, adalah mustahil menjelaskan peristiwa ini dengan mekanisme “trial and error” (coba-coba) atau seleksi alam, seperti pendapat evolusionis. Tidak ada satu pun makhluk yang dapat bertahan berjuta-juta tahun, untuk menunggu bagian tubuh yang diperlukannya muncul secara kebetulan.
Mengingat semua hal di atas, jelaslah bahwa metamorfosis tidak membuktikan kebenaran teori evolusi, seperti yang diasumsikan oleh sebagian orang yang kurang paham tentang metamorfosis. Sebaliknya, apabila kita renungkan betapa rumitnya proses dan sistem pengendali metamorfosis, hewan-hewan yang mengalami metamorfosis adalah bukti yang jelas akan fakta penciptaan.

16 MENGAPA ANGGAPAN “DI MASA DEPAN KEBENARAN TEORI EVOLUSI AKAN TERBUKI” ADALAH SALAH?

16
MENGAPA ANGGAPAN “DI MASA DEPAN KEBENARAN TEORI EVOLUSI AKAN TERBUKI” ADALAH SALAH?


Ketika mereka sudah tersudut, ada di antara para pendukung teori evolusi yang mengandalkan kata-kata: “Bahkan kalau pun penemuan ilmiah masa kini tidak menegaskan kebenaran evolusi, teori ini akan terbukti dengan perkembangan ilmu yang terjadi di masa yang akan datang.”
Ini adalah titik awal pengakuan kekalahan kaum evolusionis di arena ilmiah. Bila kita membaca yang tersirat, maka kita akan mendapatkan: “Ya, kami, para pendukung evolusi, mengakui bahwa berbagai penemuan di bidang ilmiah tidak mendukung teori kami. Oleh sebab itulah, tidak ada alternatif lain bagi kami selain menunda perihal ini ke masa depan.”
Akan tetapi, ilmu pengetahuan tidak bekerja dengan cara berpikir seperti demikian. Seorang ilmuwan seharusnya tidak lebih dahulu meyakini sebuah teori secara buta, sambil berharap, suatu saat nanti, bukti atas kebenaran teori itu akan muncul. Ilmu pengetahuan memeriksa semua bukti yang ada, lalu menyimpulkannya. Karena itu, para ilmuwan seharusnya menerima adanya fakta “rancangan”, atau dengan kata lain fakta penciptaan, yang telah dibuktikan secara ilmiah.
Akan tetapi, propaganda dan bujukan evolusionis masih mampu mempengaruhi orang, terutama yang tidak begitu paham tentang teori ini. Oleh sebab itu, ada baiknya bila ketiga pertanyaan berikut ini dijawab secara lengkap dan jelas:
Kita dapat menguji keabsahan teori evolusi dengan tiga pertanyaan dasar:
1. Bagaimana sel hidup pertama muncul?
2. Bagaimana satu spesies dapat berubah menjadi spesies lain?
3. Adakah bukti dalam catatan fosil bahwa makhluk hidup memang melalui proses seperti itu?
Sejumlah besar penelitian selama abad ke-20, telah dilakukan untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas - pertanyaan yang harus dijawab oleh teori evolusi. Akan tetapi, penelitian-penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa teori evolusi tidak dapat menjelaskan tentang kehidupan. Ini terlihat jelas dalam pembahasan yang lebih mendalam dari ketiga pertanyaan di atas:
1. Pertanyaan tentang munculnya “sel pertama” adalah persoalan sulit yang paling mematikan bagi pendukung teori evolusi. Hasil berbagai penelitian yang berkenaan dengan hal ini menunjukkan bahwa kemunculan sel pertama tidak dapat dijelaskan oleh konsep “kebetulan”. Fred Hoyle menyatakan hal itu sebagai berikut:
Peluang munculnya makhluk hidup dengan cara ini adalah sebanding dengan peluang angin tornado yang menyapu lahan penimbunan barang-barang bekas dan kemudian merakit sebuah pesawat Boeing 747 dari bahan-bahan yang ada di dalamnya. 63
Berikut ini adalah sebuah contoh untuk melihat kontradiksi pada kaum evolusionis. Ingatlah contoh terkenal dari William Paley, dan bayangkanlah seseorang yang seumur hidupnya belum pernah melihat jam dinding. Orang itu hidup di pulau terpencil, dan suatu hari menemukan sebuah jam dinding. Bagi orang yang belum pernah melihat sebuah jam dinding dari jarak 100 meter, dia tidak bisa menentukan apa benda tersebut sebenarnya, dan mungkin tidak bisa membedakannya dari fenomena alam lain yang disebabkan oleh angin, pasir dan tanah. Namun ketika orang tersebut semakin dekat, hanya dengan melihatnya, dia akan menyadari bahwa jam itu adalah hasil suatu rancangan. Ketika lebih dekat lagi, dia tidak akan ragu sedikit pun. Tahap berikutnya, mungkin dia memeriksa berbagai bagian dari jam tersebut, dan juga sentuhan seni yang tampak jelas padanya. Ketika dia membuka tutup mesin jam dan mencermatinya, dia akan melihat bahwa di dalam jam tersebut terdapat akumulasi pengetahuan yang lebih besar, dibandingkan dengan apa yang terlihat dari luar. Benda ini adalah hasil kecerdasan. Setiap langkah penelitian selanjutnya akan menjadikan analisis ini semakin pasti.
Sebagaimana paparan di atas, kebenaran tentang makhluk hidup muncul ke permukaan seiring dengan ilmu pengetahuan yang semakin maju. Kemajuan ilmiah telah mengungkapkan kesempurnaan makhluk hidup, baik di tingkat sistem, organ, jaringan, sel, maupun di tingkat molekul. Dengan semakin mendalamnya pengetahuan kita tentang semua hal tersebut, kita mampu melihat dengan lebih jelas sisi yang menakjubkan dari rancangan-rancangan yang ada. Evolusionis abad ke-19, yang beranggapan bahwa sel adalah suatu gumpalan mungil karbon, berada pada situasi yang sama dengan orang yang melihat jam dinding dari jarak 100 meter seperti dalam cerita di atas. Tapi di masa kini, sangatlah sulit untuk menemukan satu pun ilmuwan yang tidak mengakui bahwa masing-masing bagian dari sel adalah sebuah hasil karya dan seni serta rancangan yang sangat hebat. Bahkan pada membran dari sebuah sel yang kecil, yang memiliki sifat “penyaring selektif”, terdapat kecerdasan dan rancangan yang luar biasa. Membran tersebut mengenali berbagai atom, protein, dan molekul yang berada di sekelilingnya, seolah-olah memiliki pikirannya sendiri. Membran hanya akan membiarkan partikel-partikel yang dibutuhkan masuk ke dalam sel. (Untuk lebih jauh lagi, bacalah karya Harun Yahya, Consciousness in the Cell). Tidak seperti jam dinding tadi (yang kecerdasan rancangannya masih terbatas), organisme hidup adalah bukti kecerdasan dan rancangan yang menakjubkan. Penelitian-penelitian atas struktur makhluk hidup yang semakin mendalam dan luas ini, yang sejauh ini baru saja mengungkapkan sebagian kecil dari rancang-bangun dan fungsinya, bukanlah membuktikan evolusi, melainkan memungkinkan kita untuk memahami kebenaran penciptaan dengan lebih baik.
2. Kaum evolusionis berpendapat, bahwa satu spesies dapat berubah menjadi spesies lain, melalui mutasi dan seleksi alam. Seluruh penelitian yang telah dilakukan dan berkaitan dengan masalah ini, menunjukkan bahwa kedua mekanisme tidak memiliki pengaruh evolusioner yang demikian. Colin Patterson, seorang ahli paleontologi senior Museum Natural History di London, menekankan fakta ini sebagai berikut :
Tak ada yang pernah menghasilkan satu spesies melalui mekanisme seleksi alam. Tidak seorang pun hampir pernah menghasilkannya, dan kebanyakan debat neo-Darwinisme sekarang adalah seputar masalah ini.64
Penelitian tentang mutasi menunjukkan bahwa proses tersebut tidak bersifat evolusioner. Ahli genetika dari Amerika, B. G. Ranganathan, berkata:
Pertama, mutasi sejati amat jarang terjadi di alam ini. Kedua, kebanyakan mutasi adalah berbahaya, karena perubahan struktur gen terjadi secara acak, bukan teratur. Perubahan acak apa pun pada sistem dengan tingkat keteraturan tinggi akan merusak, bukan memperbaiki. Contohnya, bila gempa bumi mengguncangkan sebuah struktur yang teratur, misalnya sebuah gedung, akan terjadi perubahan acak dalam kerangka bangunan tersebut yang, dalam segala kemungkinan, tidak akan memunculkan perbaikan.65
Seperti yang telah kita saksikan, apa yang disebutkan dalam teori evolusi sebagai mekanisme pembentuk spesies baru, sebenarnya sama sekali tidak berdampak dan justru merusak. Sekarang, kita memahami bahwa kedua mekanisme ini – yang diajukan di saat ilmu dan teknologi belum mencapai tingkat yang cukup tinggi untuk membuktikan ketidakabsahan pendapat yang hanya merupakan khayal ini – tidak memiliki pengaruh perkembangan maupun evolusi.
3. Fosil juga menunjukkan bahwa makhluk hidup tidaklah muncul sebagai akibat proses evolusi. Makhluk hidup muncul secara tiba-tiba, sebagai hasil “rancangan” yang sempurna. Semua fosil yang telah ditemukan menegaskan hal ini. Niles Eldredge, ahli paleontologi dari Universitas Harvard dan pengawas di American Museum of Natural History menjelaskan bahwa tak mungkin fosil yang dapat ditemukan di masa depan akan dapat mengubah keadaan ini:
Catatan fosil meloncat-loncat, dan semua bukti yang ada menunjukkan bahwa catatan itu benar adanya: celah-celah yang kita lihat menunjukkan kejadian sebenarnya dalam sejarah makhluk hidup – bukan artefak catatan fosil yang tidak lengkap. 66
Robert Wesson, seorang pakar asal Amerika lain, menyatakan dalam bukunya Beyond Natural Selection di tahun 1991, bahwa “celah-celah dalam catatan fosil adalah nyata dan luar biasa”. Ia menjelaskan pernyataannya sebagai berikut:
Celah-celah dalam catatan fosil itu memang sungguhan. Ketiadaan catatan akan percabangan yang penting sungguh luar biasa. Spesies-spesies biasanya terdapat dalam keadaan tetap, atau nyaris tetap, untuk jangka waktu yang lama; jarang terlihat adanya evolusi suatu spesies menjadi spesies yang baru, atau tidak pernah terlihat adanya evolusi suatu genus menjadi genus yang baru.
Yang ada adalah pergantian satu oleh yang lain, dan perubahan bisa dikatakan berlangsung mendadak. 67
Kesimpulannya, setelah sekitar 150 tahun berlalu sejak pertama kalinya teori evolusi diusulkan, sejak itu pula penemuan-penemuan di bidang ilmiah selalu menunjukkan bukti-bukti yang menentangnya. Semakin diteliti, semakin banyak bukti yang menunjukkan penciptaan yang sempurna, dan kian dipahami bahwa kemunculan makhluk hidup dan variasinya akibat faktor kebetulan adalah mustahil. Setiap penelitian mengungkapkan bukti baru akan adanya rancangan pada makhluk hidup, sehingga fakta penciptaan semakin jelas. Sejak masa Darwin, setiap dasawarsa yang berlalu kian mengungkapkan ketidakabsahan teori evolusi.
Singkatnya, kemajuan ilmiah tidak mendukung teori evolusi. Oleh sebab itu, perkembangan di masa depan juga tak akan mendukung, malah akan semakin memperjelas ketidakabsahan teori ini.
Tidak benar apabila dikatakan bahwa evolusi adalah sesuatu yang belum bisa dijawab atau diterangkan oleh ilmu pengetahuan. Juga tidak benar bahwa evolusi bisa dibuktikan di masa yang akan datang. Ilmu pengetahuan modern telah menyangkal teori evolusi di segala bidang, dan menunjukkan bahwa dari sudut pandang mana pun, proses evolusi mustahil terjadi. Adanya upaya untuk mempertahankan kepercayaan ini dengan mengatakan bahwa evolusi akan dibuktikan di masa depan, merupakan hasil dari pola pikir khayal dan mimpi kaum Marxist dan lingkungan materialis yang melihat evolusi sebagai penyokong ideologi mereka. Mereka, dengan demikian, hanyalah mencoba menghibur diri dari rasa putus asa.
Karena itu, gagasan bahwa “evolusi akan terbukti di masa depan” tak berbeda dengan berkata “di masa depan akan terbukti bahwa Bumi terletak di punggung seekor gajah”.

15 MENGAPA BERPIKIR BAHWA TUHAN MENCIPTAKAN MAKHLUK HIDUP MELALUI PROSES EVOLUSI ADALAH SALAH?

15
MENGAPA BERPIKIR BAHWA TUHAN MENCIPTAKAN MAKHLUK HIDUP MELALUI PROSES EVOLUSI ADALAH SALAH?


Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa rancangan menakjubkan yang tampak di seluruh makhluk hidup dan benda mati di alam semesta ini tidaklah mungkin muncul menjadi ada akibat kekuatan alamiah buta dan ketidaksengajaan. Meskipun demikian, sebagian orang menyatakan, memang benar bahwa terdapat sang Pencipta, tetapi Dia menciptakan kehidupan melalui proses evolusi.
Sudah sangat jelas bahwa Tuhan Yang Mahakuasa telah mencipta seluruh alam semesta dan makhluk hidup. Adalah keputusanNya untuk mencipta secara seketika ataupun bertahap. Kita hanya dapat memahami kejadiannya melalui informasi yang Tuhan berikan kepada kita (dengan kata lain, melalui ayat Al Qur’an), serta melalui bukti ilmiah yang tampak jelas di alam ini.
Jika mencermati kedua sumber tersebut, kita tidak menyaksikan adanya peristiwa “penciptaan melalui evolusi”.
Tuhan telah menurunkan berbagai ayat dalam Al Qur’an yang membahas tentang penciptaan manusia, kehidupan, dan alam semesta. Tak satu pun di antara ayat tersebut yang berisi keterangan tentang penciptaan melalui evolusi. Dengan kata lain, tak satu pun ayat yang berkata bahwa makhluk hidup tercipta akibat proses evolusi dari satu makhluk menjadi makhluk lain. Sebaliknya, diungkapkan dalam ayat-ayat itu, bahwa kehidupan dan jagat raya ini tercipta melalui perintah Tuhan: “Jadilah!”
Penemuan ilmiah pun telah memperlihatkan bahwa penciptaan melalui proses evolusi adalah mustahil. Catatan fosil menunjukkan bahwa beraneka ragam spesies muncul bukan melalui evolusi satu dari yang lainnya, melainkan secara terpisah, secara tiba-tiba, serta dilengkapi dengan seluruh struktur mereka masing-masing yang khas. Dengan kata lain, penciptaan bagi setiap spesies adalah berbeda.
Jika terdapat sesuatu seperti “penciptaan melalui evolusi”, kita sudah seharusnya dapat melihat buktinya saat ini. Tuhan telah menciptakan segala sesuatu menurut peraturan tertentu, di dalam kerangka hukum sebab-akibat. Misalnya, sudah pasti Tuhan yang menjadikan kapal dapat terapung di air. Akan tetapi, apabila kita mempelajari penyebabnya, kita akan memahami bahwa penyebabnya adalah diciptakannya pada air kekuatan yang menopang kapal. Tidak ada sesuatu pun kecuali kekuatan Tuhan yang memungkinkan burung dapat terbang. Akan tetapi, bila kita mempelajari bagaimana ini terjadi, kita akan menemukan adanya hukum aerodinamika. Oleh sebab itulah, jika makhluk hidup memang diciptakan melalui proses bertahap, maka seharusnya terdapat sistem yang dilengkapi hukum-hukum dan kemajuan-kemajuan di bidang genetika, yang dapat menjelaskan peristiwa tersebut. Lebih lanjut, kita akan mengenal adanya hukum biologi, kimia dan fisika yang lain. Akan terdapat bukti dari penelitian laboratorium yang menunjukkan bahwa satu makhluk hidup dapat berubah menjadi makhluk lain. Selain itu, dari berbagai riset tersebut, dimungkinkan pengembangan enzim, hormon, dan molekul sejenis yang tak dimiliki suatu spesies, agar spesies tersebut dapat memanfaatkannya. Tambahan lagi, kemajuan tersebut akan memungkinkan diciptakannya berbagai struktur dan organel baru yang belum pernah dimiliki spesies itu.
Kajian-kajian laboratorium akan mampu menunjukkan contoh-contoh makhluk yang telah melalui proses mutasi, serta memperoleh manfaat dari proses tersebut. Kita juga akan mampu melihat mutasi itu diwariskan kepada generasi berikutnya, serta benar-benar menjadi bagian dari spesies. Selain itu pula, akan terdapat jutaan fosil makhluk peralihan dari masa silam, dan di masa kini akan ada makhluk hidup yang tahapan transisinya belum selesai. Pendek kata, seharusnya terdapat berbagai contoh proses seperti ini, yang tak terhitung banyaknya.
Akan tetapi, tak ada satu pun bukti bahwa satu spesies dapat melakukan perubahan menjadi spesies lainnya. Seperti telah kita lihat, data fosil menunjukkan bahwa semua spesies makhluk hidup muncul secara tiba-tiba tanpa nenek moyang. Fakta ini, selain menghancurkan teori evolusi (yang menyatakan kehidupan muncul berdasarkan peristiwa kebetulan), juga menunjukkan ketidakabsahan pendapat bahwa Tuhan menciptakan makhluk hidup, dan kemudian makhluk tersebut berubah melalui proses.
Tuhan menciptakan makhluk hidup secara supernatural, melalui satu perintah “Jadilah!” Ilmu pengetahuan modern menegaskan fakta ini, dan membuktikan bahwa makhluk hidup muncul secara tiba-tiba di Bumi.
Para pendukung gagasan “Mungkin saja Tuhan menciptakan makhluk hidup di Bumi melalui proses evolusi” sebenarnya sedang mencoba membangun “titik temu” antara penciptaan dan Darwinisme. Akan tetapi ini adalah suatu kesalahan yang mendasar. Mereka tidak menyadari dasar logika Darwinisme dan filsafat yang dijunjungnya. Darwinisme bukanlah terdiri atas gagasan perubahan spesies. Sebenarnya, Darwinisme adalah suatu upaya untuk menjelaskan asal-usul makhluk melalui penyebab-penyebab yang bersifat materi belaka. Dengan kata lain, Darwinisme berupaya agar masyarakat menerima pendapat bahwa makhluk hidup adalah hasil kerja alam, dan melapisi pendapat itu dengan polesan ilmiah. Tak mungkin ada “titik temu” atau “satu landasan pijak bersama” antara filsafat naturalistik (ajaran yang tidak mengakui adanya kekuatan lain selain alam) dengan keyakinan kepada Tuhan. Adalah salah apabila kita berusaha mencari titik temu seperti itu, bersikap menyerah kepada Darwinisme, dan menganggapnya sebagai teori ilmiah. Seperti tampak dari 150 tahun sejarah teori ini, Darwinisme adalah tulang punggung filsafat materialistis dan ateisme. Pencarian titik temu tidak akan pernah dapat mengubah fakta ini.

14 MENGAPA MENYANGKAL TEORI EVOLUSI DISAMAKAN DENGAN MENOLAK PERKEMBANGAN DAN KEMAJUAN?

14
MENGAPA MENYANGKAL TEORI EVOLUSI DISAMAKAN DENGAN MENOLAK PERKEMBANGAN DAN KEMAJUAN?


Kata “evolusi” akhir-akhir ini sering digunakan dalam beberapa makna. Di antaranya, kini ada penambahan aspek sosial, sehingga, sekarang “evolusi” juga bisa berarti kemajuan umat manusia dan perkembangan teknologi. Tak ada yang salah dengan konsep “evolusi” bila digunakan dalam makna tersebut. Tak diragukan, umat manusia akan menggunakan kecerdasan, kepandaian, dan kekuatannya untuk berkembang, seiring berjalannya waktu. Dari generasi ke generasi, pengetahuan umat manusia semakin berkembang. Dengan cara yang sama, hal ini tidak membuktikan kebenaran teori evolusi itu sendiri – yang mengatakan bahwa makhluk hidup tercipta secara kebetulan – dan juga tidak sedikit pun bertentangan dengan kebenaran fakta penciptaan.
Akan tetapi, kaum evolusionis mempermainkan arti kata ini. Konsep yang benar, dikacaukan dengan konsep yang palsu. Sebagai contoh, pernyataan “Dalam perjalanan panjang umat manusia, sebagai makhluk sosial, pengetahuan, budaya, dan teknologi yang dihasilkan, manusia selalu tetap berkembang” adalah benar. (Walaupun demikian, kita harus ingat bahwa seiring dengan waktu, yang dapat terjadi bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran. Dari sudut sosiologi, ada masa-masa kemajuan, keterhentian, dan kemunduran). Akan tetapi, pernyataan “Makhluk hidup berkembang dan berubah dengan berlalunya waktu, seperti halnya manusia telah mengalami perkembangan dan kemajuan” adalah salah. Sebagai makhluk berpikir, pengetahuan manusia meningkat dan diwariskan turun-temurun, sehingga terus-menerus tercapai kemajuan; ini adalah masuk akal dan ilmiah. Akan tetapi, sama sekali tidak masuk di akal apabila dikatakan bahwa makhluk hidup berkembang dan berevolusi melalui ketidaksengajaan dan kebetulan, dengan mengikuti kehendak kondisi-kondisi alamiah yang tidak terkendali dan tanpa kesadaran.


Semua ilmuwan terbesar dalam kemajuan ilmiah
adalah penganut fakta penciptaan (kreasionis)

Tak menjadi soal, betapapun keras upaya kaum evolusionis dalam menampilkan diri mereka sebagai pemuncul gagasan seperti inovasi (pembaruan) dan kemajuan, sejarah telah membuktikan bahwa pencetus yang sebenarnya dari inovasi dan kemajuan adalah selalu para ilmuwan beriman yang meyakini penciptaan oleh Tuhan.
Kita dapat menyaksikan adanya ilmuwan yang beriman di setiap titik kemajuan ilmiah. Leonardo da Vinci, Copernicus, Kepler, dan Galileo, yang memulai era baru dalam ilmu astronomi, Cuvier, pendiri paleontologi, Linnaeus, pendiri sistem penggolongan modern untuk flora dan fauna, Isaac Newton, penemu hukum gravitasi, Edwin Hubble, yang menemukan adanya galaksi dan pemuaian alam semesta, serta banyak lagi, dan banyak lainnya yang meyakini Tuhan dan percaya bahwa alam semesta dan makhluk hidup adalah ciptaanNya.
Salah satu ilmuwan terbesar di abad kedua puluh, Albert Einstein, berkata:
Saya tak dapat membayangkan seorang ilmuwan sejati tanpa keimanan yang kuat. Situasi ini dapat dilukiskan sebagai: Ilmu tanpa agama adalah lumpuh…61
Max Planck, pendiri fisika modern berkebangsaan Jerman, berkata:
Siapa pun yang secara sungguh-sungguh telah terlibat dalam kerja ilmiah jenis apa pun juga, akan sadar bahwa di atas pintu gerbang memasuki kuil ilmu pengetahuan tertera kalimat: Engkau harus beriman. Ini adalah sifat yang tak dapat dilepaskan dari seorang ilmuwan.62
Sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa perubahan dan kemajuan adalah hasil karya para ilmuwan yang berpaham kreasionis (meyakini penciptaan). Selain itu, tentu saja, berbagai kemajuan dalam ilmu pengetahuan di abad ke-20 dan ke-21 telah secara khusus menyajikan bukti yang amat banyak atas kebenaran fakta penciptaan. Teknologi dan ilmu pengetahuan modern telah memungkinkan kita untuk menemukan fakta bahwa alam semesta tercipta dari ketiadaan, dengan kata lain, “diciptakan”. Segenap dunia ilmiah sepakat bahwa alam semesta tercipta dan berkembang sebagai akibat sebuah ledakan titik tunggal. Dengan demikian, hancurlah sudah model alam semesta “tak hingga”, yang tidak memiliki awal ataupun akhir, yang diyakini oleh kaum materialis karena kondisi ilmu pengetahuan yang masih terbelakang di abad ke-19. Kini disadari bahwa alam semesta diciptakan, seperti tercantum dalam Al Qur’an, dan alam memiliki awal dan batasan serta mengembang seiring dengan waktu. Al Qur’an menyatakan fakta ini sebagai berikut:

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. Al Anbiyaa’ , 21:30)

Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. (QS. Adz Dzaariyaat, 51:47)

Lagi-lagi, kemajuan ilmiah di abad ke-20 lah yang memungkinkan kita menemukan semakin banyak bukti penciptaan. Mikroskop elektron mengungkapkan struktur sel, satuan terkecil pembentuk makhluk hidup, beserta bagian-bagiannya. Penemuan DNA menunjukkan kecerdasan dan pengetahuan yang tidak terhingga yang terdapat di dalam sel. Kemajuan ilmu biokimia dan fisiologi menunjukkan cara kerja sempurna di tingkat molekul pada tubuh, serta rancangan yang amat hebat, yang tak mungkin dapat dijelaskan dengan apa pun selain penciptaan.
Bertolak belakang dari semua itu, adalah keterbelakangan ilmu pengetahuan 150 tahun yang lalu yang menyediakan lahan subur bagi tumbuhnya teori evolusi.
Sebagai kesimpulan, adalah mustahil menganggap mereka yang meyakini penciptaan dan terus menghadirkan berbagai bukti baru tentang penciptaan ini sebagai kaum yang menolak kemajuan, perkembangan, dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, mereka itulah pendukung terbesar bagi ketiga hal tersebut. Mereka yang sesungguhnya menolak kemajuan adalah mereka yang menutup mata terhadap semua bukti ilmiah yang sudah ada serta terus mempertahankan teori evolusi, yang sebenarnya tak lain hanya merupakan angan kosong.

13 BAGAIMANAKAH TEORI EVOLUSI DIRUNTUHKAN OLEH STRUKTUR YANG KOMPLEKS PADA MAKHLUK PALING PURBA?

13
BAGAIMANAKAH TEORI EVOLUSI DIRUNTUHKAN OLEH STRUKTUR YANG KOMPLEKS PADA MAKHLUK PALING PURBA?


Dalam catatan fosil, makhluk hidup membentuk untaian atau rantai. Bila kita perhatikan rantai ini dari makhluk paling purba sampai yang paling muda, tampaklah bahwa makhluk hidup muncul dalam bentuk mikroorganisme, hewan laut tak bertulang belakang (invertebrata), ikan, amfibi, reptil, unggas, dan mamalia. Pendukung teori evolusi membahas rantai ini dengan penuh praduga, sambil berupaya menyajikannya sebagai bukti teori evolusi. Mereka menyatakan bahwa makhluk hidup berkembang dari bentuk sederhana menuju bentuk yang lebih kompleks, dan selama proses ini berlangsung, beraneka ragam makhluk hidup pun tercipta. Misalnya, para evolusionis mengemukakan, fakta tidak ditemukannya fosil manusia pada pengkajian terhadap lapisan fosil berusia 300 juta tahun merupakan salah satu bukti kebenaran evolusi. Profesor Aykut Kence, seorang evolusionis Turki, berkata:
Anda ingin menggugurkan teori evolusi? Jika demikian, pergilah dan cari beberapa fosil manusia dari zaman Kambrium! Siapa pun yang berhasil menemukannya akan meruntuhkan teori evolusi, bahkan memenangkan hadiah Nobel atas penemuannya.56


Perkembangan makhluk hidup dari bentuk sederhana (primitif) ke bentuk rumit (kompleks) adalah pemikiran khayal

Mari kita bayangkan cara berpikir evolusionis yang terdapat dalam kata-kata Profesor Kence. Perkembangan makhluk hidup dari bentuk primitif ke bentuk kompleks adalah praduga evolusionis yang tak benar sedikit pun. Profesor biologi asal Amerika, Frank L. Marsh, yang mengkaji pernyataan kaum evolusionis, dalam bukunya Variation and Fixity in Nature menyatakan makhluk hidup tak dapat disusun dalam sebuah urutan yang senantiasa bersambung tanpa putus dari bentuk sederhana ke bentuk rumit.57
Dalam hal ini, pernyataan evolusionis sebenarnya dapat diruntuhkan oleh fakta kemunculan mendadak dari hampir seluruh filum hewan yang dikenal sekarang di Zaman Kambrium. Bahkan, semua hewan yang muncul secara tiba-tiba tersebut sudah memiliki struktur tubuh yang rumit, tidak sederhana – hal ini benar-benar berlawanan dengan asumsi evolusionis.
Trilobita yang termasuk filum Arthropoda, adalah makhluk sangat rumit dengan cangkang keras, memiliki tubuh yang bersendi, dan organ-organ kompleks.. Catatan fosil telah memungkinkan pengkajian yang sangat terperinci terhadap mata trilobita. Mata trilobita terdiri atas beratus-ratus faset kecil, yang masing-masing terdiri atas dua lapisan lensa. Struktur mata ini adalah keajaiban nyata perancangan. David Raup, profesor geologi di Universitas Harvard, Rochester, dan Chicago, berkata, “Trilobita yang hidup 450 juta tahun yang silam telah memiliki rancangan optimal yang di zaman kini memerlukan insinyur optik yang terlatih baik dan imajinatif untuk mengembangkannya.” 58
Sisi menarik lainnya di seputar bahasan ini adalah, lalat di zaman sekarang memiliki struktur mata yang serupa. Dengan kata lain, struktur demikian itu sudah ada selama 520 juta tahun terakhir ini.
Pemandangan luar biasa tentang Zaman Kambrium sangat sedikit diketahui di saat Darwin menulis The Origin of Species. Setelah masa Darwin, barulah orang tahu, bahwa menurut catatan fosil, makhluk hidup muncul dengan seketika di Zaman Kambrium, dan trilobita serta hewan invertebrata lain hadir di muka bumi secara bersamaan. Dalam bukunya, Darwin tak mampu membahas sepenuhnya mengenai hal ini. Namun, ia memang membahas sedikit tentang itu dalam bab berjudul “On the sudden appearance of groups of allied species in the lowest known fossiliferous strata“ (Timbulnya secara serentak kelompok-kelompok spesies yang saling terkait dalam lapisan fosil terendah yang diketahui), ia menulis di sini tentang Zaman Silur (di masa Darwin, zaman ini mencakup pula zaman yang kini kita sebut Kambrium):
Misalnya, saya tidak dapat meragukan bahwa semua trilobita zaman Silur merupakan keturunan yang berasal dari sejenis hewan krustasea (bangsa udang), yang tentunya telah hidup jauh sebelum Zaman Silur, dan mungkin jauh berbeda dari hewan mana pun yang telah dikenal … Karena itu, jika teori saya benar, tak pelak lagi bahwa jauh sebelum lapisan Silur paling bawah terbentuk, waktu yang amat panjang telah berlalu, mungkin sama atau jauh lebih panjang daripada selang waktu antara zaman Silur dengan masa kini; dan selama rentang masa yang sungguh panjang ini, namun belum banyak dikenal, dunia ini dipenuhi makhluk hidup. Saya tak mampu memberi jawaban yang memuaskan atas pertanyaan mengapa kita tidak menemukan bekas-bekas dari zaman purba yang sungguh panjang ini.59
Darwin berkata, “Jika teori saya benar, tak pelak lagi bahwa dunia ini dipenuhi makhluk hidup sebelum Zaman Silur.” Untuk menjawab pertanyaan, mengapa tidak terdapat fosil makhluk-makhluk itu, ia mencoba menjawab di sepanjang bukunya, dengan menggunakan alasan “catatan fosil yang sangat terbatas”. Tapi kini, catatan fosil sudah lengkap, dan menunjukkan bahwa makhluk Zaman Kambrium tak memiliki nenek moyang. Artinya, kita harus menolak kalimat Darwin yang diawali dengan “… jika teori saya benar”. Hipotesa Darwin tidak absah; karena itu, teorinya salah.
Makhluk hidup tidak berkembang dari bentuk sederhana ke bentuk yang kompleks. Pada saat pertama kali muncul, makhluk hidup sudah teramat kompleks. Contoh lain dari hal ini adalah ikan hiu, yang menurut catatan fosil sudah ada sejak sekitar 4000 juta tahun yang lalu. Hewan ini memiliki berbagai ciri istimewa yang tidak dimiliki hewan lain yang tercipta jutaan tahun setelahnya, misalnya pertumbuhan gigi (regenerasi) setelah gigi yang lama tanggal. Contoh lainnya adalah kemiripan yang mengejutkan antara mata mamalia dan gurita yang telah hidup di Bumi berjuta-juta tahun sebelum mamalia.
Contoh-contoh tersebut memperjelas bahwa spesies makhluk hidup tidak dapat disusun berurutan secara baik dari bentuk primitif ke bentuk kompleks.
Fakta itu juga ditampilkan oleh hasil penelitian terhadap segi bentuk, fungsi, dan genetika makhluk hidup. Misalnya, bila kita cermati catatan fosil pada tingkat terendah, dilihat dari segi bentuk dan ukuran, tampak bahwa banyak makhluk (misalnya dinosaurus) yang berukuran jauh lebih besar daripada yang muncul kemudian.
Demikian juga bila kita cermati dari segi fungsional makhluk hidup. Pada perkembangan struktur, telinga adalah contoh yang meruntuhkan pendapat “makhluk hidup berkembang dari bentuk primitif menuju kompleks”. Hewan amfibi memiliki rongga telinga-tengah. Akan tetapi reptil, yang muncul sesudah amfibi, mempunyai sistem yang jauh lebih sederhana. Pada reptil, sistem ini berdasarkan satu tulang kecil saja, tanpa ruang telinga-tengah.
Kajian genetika menunjukkan hasil serupa. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa jumlah kromosom tak ada kaitannya dengan kompleksitas tubuh hewan. Misalnya, manusia memiliki 46 buah kromosom, kopepoda memiliki 6 buah, dan radiolaria (hewan yang berukuran mikroskopis) memiliki tepat 800 buah.


Makhluk hidup diciptakan pada saat yang
paling “sesuai” baginya

Penelitian catatan fosil sesungguhnya menunjukkan, makhluk hidup muncul di masa yang paling cocok baginya. Tuhan telah menciptakan makhluk hidup secara luar biasa. Makhluk hidup diciptakan tepat sesuai dengan keadaan yang akan dihadapinya saat muncul di Bumi.
Mari kita lihat contoh berikut ini: Bumi di kala fosil bakteri tertua muncul, yakni sekitar 3,5 miliar tahun yang silam. Kondisi suhu dan atmosfer waktu itu sama sekali tidak cocok untuk mendukung kehidupan makhluk berstruktur kompleks ataupun manusia. Demikian juga zaman Kambrium, yang menurut Kence, apabila ditemukan fosil manusia pada masa itu, teori evolusi akan runtuh. Periode ini, sekitar 530 juta tahun silam, benar-benar tak cocok bagi manusia. (Saat itu tak ada hewan di darat).
Keadaan serupa juga tampak pada hampir seluruh zaman sesudahnya. Penelitian catatan fosil menunjukkan bahwa kondisi yang dapat mendukung kehidupan manusia baru tercapai beberapa juta tahun yang silam. Hal yang sama ini berlaku pula pada seluruh makhluk hidup lainnya. Setiap kelompok makhluk hidup muncul apabila kondisi yang mendukung bagi kehidupannya telah tercapai, dengan kata lain, “bila waktunya sudah tepat”.
Kaum evolusionis menentang fakta ini sekuat tenaga. Mereka mengatakan bahwa kondisi pendukung itu sendirilah yang telah memunculkan makhluk hidup. Padahal, terciptanya “kondisi pendukung” hanyalah tanda bahwa “saat yang tepat telah tiba”. Makhluk hidup hanya dapat muncul melalui sebuah campur tangan yang memiliki kesadaran – dengan kata lain, melalui penciptaan oleh kekuatan hebat di luar alam.
Karena itu, munculnya makhluk hidup secara bertahap bukanlah bukti evolusi, melainkan bukti kebijaksanaan dan pengetahuan Tuhan yang tak terhingga, Yang menciptakan makhluk hidup. Setiap kelompok makhluk hidup diciptakan untuk menyiapkan kondisi yang sesuai bagi kemunculan kelompok makhluk hidup berikutnya. Dan bagi kita, keseimbangan ekologis dengan seluruh makhluk hidup disiapkan terlebih dahulu dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Di lain pihak, kita harus ingat bahwa periode panjang itu hanya dirasakan “panjang” oleh kita. Bagi Tuhan, itu hanyalah “sesaat” saja. Konsep waktu hanya berlaku bagi makhluk, bukan Pencipta. Tuhan, Pencipta waktu itu sendiri, tidaklah terikat oleh waktu. (Lihat lebih jauh dalam buku Harun Yahya: Timelessness and the Reality of Fate)
Jika kaum evolusionis hendak menunjukkan bahwa satu spesies berubah menjadi spesies lain, tak ada gunanya berkata bahwa makhluk hidup muncul di Bumi selangkah demi selangkah. Bukti yang harus mereka kemukakan adalah fosil makhluk peralihan yang menghubungkan antarspesies makhluk hidup yang berbeda ini. Teori yang menyatakan bahwa invertebrata berubah menjadi ikan, ikan menjadi reptil, reptil menjadi burung dan mamalia, harus didukung fosil sebagai buktinya. Darwin sadar akan hal itu dan menuliskan bahwa fosil semacam ini harus ditemukan dalam jumlah tak terhitung banyaknya, walaupun sejauh ini tidak pernah ditemukan satu pun. Selama 150 tahun setelah teori Darwin diajukan, fosil makhluk peralihan belum pernah ditemukan. Seperti yang diakui oleh Derek W. Ager, seorang evolusionis ahli paleontologi, catatan fosil menunjukkan “bukan evolusi bertahap, melainkan sebuah ledakan tiba-tiba sekelompok makhluk hidup di atas kepunahan kelompok yang lain.”60
Sebagai kesimpulan, sejarah kehidupan menunjukkan bahwa makhluk hidup muncul bukan sebagai hasil peristiwa kebetulan, melainkan diciptakan tahap demi tahap, dalam periode yang amat panjang. Ini amat sesuai dengan keterangan tentang penciptaan dalam Al Qur’an, yang di dalamnya Tuhan berfirman bahwa Dia menciptakan alam semesta dan semua makhluk hidup dalam “enam hari”:

Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. As Sajdah, 32:4)

Kata “hari” dalam ayat itu, atau yawm dalam bahasa Arab, juga berarti selang waktu yang panjang. Dengan kata lain, Al Qur’an menyebutkan bahwa kehidupan diciptakan dalam beberapa masa yang berbeda, tidak sekaligus. Penemuan di bidang geologi di zaman modern memberikan gambaran yang menegaskan hal ini.

12 MENGAPA GIGI GERAHAM BUNGSU BUKANLAH BUKTI KEBENARAN EVOLUSI?

12
MENGAPA GIGI GERAHAM BUNGSU BUKANLAH BUKTI KEBENARAN EVOLUSI?


Salah satu tipuan penting dari teori evolusi adalah pernyataan yang berkaitan dengan organ vestigial (organ persisaan). Evolusionis menyatakan bahwa terdapat sejumlah organ dalam makhluk hidup yang kehilangan fungsinya seiring dengan waktu, dan kemudian lenyap. Dengan berpedoman pada hal ini, kaum evolusionis mencoba mengirimkan pesan, “Jika tubuh makhluk hidup adalah hasil penciptaan, maka seharusnya di dalamnya tidak terdapat organ yang tak berfungsi”.
Naskah terbitan kaum evolusionis di awal abad ke-20 menyatakan bahwa tubuh manusia memiliki sekitar seratus buah organ yang sudah tidak berguna lagi. Di antaranya adalah usus buntu, tulang ekor, amandel, kelenjar pineal, telinga bagian luar, kelenjar timus, dan geraham bungsu. Akan tetapi, ilmu kedokteran telah mencapai kemajuan pesat dalam beberapa dasawarsa setelah itu. Akibatnya, tampaklah bahwa gagasan organ vestigial hanyalah takhayul. Daftar panjang buatan kaum evolusionis pun berkurang secara tajam. Kelenjar timus ternyata adalah organ yang menghasilkan sel sistem kekebalan yang penting, dan kelenjar pineal berfungsi menghasilkan hormon-hormon penting. Terungkap pula bahwa tulang ekor berfungsi untuk menopang tulang-tulang sekitar pinggul, dan telinga bagian luar berfungsi penting dalam mengenali dari arah mana bebunyian berasal. Singkat kata, terungkap bahwa ketidaktahuan adalah satu-satunya pijakan yang menopang gagasan tentang “organ vestigial”.
Ilmu pengetahuan modern telah berulang kali menunjukkan bahwa konsep organ semacam itu adalah keliru. Namun, sebagian kaum evolusionis masih memanfaatkan pernyataan ini. Walaupun ilmu kedokteran telah membuktikan bahwa hampir semua organ itu (yang tadinya disebut-sebut sebagai “vestigial”) ternyata memiliki fungsinya masing-masing, dugaan evolusi yang tidak berdasar masih menyelimuti satu atau dua organ.
Salah satu yang paling menonjol adalah geraham bungsu. Dalam naskah evolusionis masih tercantum anggapan bahwa gigi ini adalah bagian tubuh manusia yang telah kehilangan semua fungsinya. Sebagai buktinya, kaum evolusionis menyatakan bahwa gigi-gigi geraham bungsu ini memunculkan masalah pada sebagian besar orang, dan proses mengunyah tidak terganggu ketika gigi-gigi tersebut dicabut.
Banyak dokter gigi, karena terpengaruh pernyataan evolusionis bahwa gigi bungsu tidak berfungsi, telah berpandangan bahwa pencabutan gigi bungsu sesuatu yang biasa, dan mereka tidak melakukan usaha pemeliharaan yang sama padanya seperti pada gigi yang lain.53 Akan tetapi penelitian di tahun-tahun terakhir menunjukkan, gigi bungsu memiliki fungsi mengunyah, sama seperti gigi lain. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa anggapan “gigi bungsu mengganggu posisi gigi lain” adalah sama sekali tak beralasan.54 Sekarang ini kritik ilmiah, tentang bagaimana masalah gigi bungsu ini bisa diatasi bukan dengan cara pencabutan, semakin meningkat.55 Faktanya, kesepakatan ilmiah menyatakan bahwa gigi geraham bungsu berfungsi mengunyah, sama dengan gigi lain, dan tidak ada pembenaran ilmiah yang mendukung keyakinan bahwa gigi geraham bungsu tidak memiliki kegunaan.
Jadi, mengapa gigi geraham bungsu menimbulkan gangguan pada banyak orang? Berdasarkan penelitian para ahli di bidang ini, permasalahan gigi bungsu di masyarakat terjadi secara berbeda-beda, tergantung zaman. Kini diketahui bahwa gangguan gigi bungsu jarang terdapat di masyarakat pra-industri. Khususnya selama beberapa ratus tahun terakhir ini, manusia lebih menyukai makanan lunak daripada yang keras, sehingga pertumbuhan rahang manusia pun terganggu. Akhirnya diketahui, ternyata masalah gigi bungsu berasal dari gangguan pertumbuhan rahang akibat pola makan.
Diketahui pula, ternyata perilaku makan masyarakat juga berpengaruh buruk pada gigi lainnya. Sebagai contoh, meningkatnya konsumsi makanan dengan kadar gula dan asam yang tinggi telah meningkatkan kerusakan gigi. Tapi, fakta itu tidak menjadikan kita berpikir bahwa semua gigi kita mengalami “atrofi” (pengecilan atau penyusutan). Hal yang sama juga berlaku pada gigi geraham bungsu. Masalah pada gigi geraham bungsu berasal dari kebiasaan makan, bukan dari “atrofi” evolusioner apa pun.

11 MENGAPA TEORI EVOLUSI TIDAK DIPERKUKUH OLEH USIA BUMI YANG SUDAH EMPAT MILIAR TAHUN?

11
MENGAPA TEORI EVOLUSI TIDAK DIPERKUKUH OLEH USIA BUMI YANG SUDAH EMPAT MILIAR TAHUN?


Kaum evolusionis mendasarkan skenario mereka pada pengaruh alam dan kebetulan. Salah satu dari konsep yang paling mereka andalkan dalam hal ini adalah konsep “waktu yang panjang”. Sebagai contoh, ilmuwan Jerman, Ernst Haeckel, yang mendukung Darwin, menyatakan bahwa sebuah sel hidup dapat berasal dari lumpur biasa. Bersamaan dengan ditemukannya struktur sel hidup yang teramat rumit di abad ke-20, semakin jelaslah ketidakcerdasan pernyataan Haeckel itu. Tapi, kaum evolusionis terus-menerus menutupi kebenaran dengan konsep “waktu yang cukup panjang”.
Dengan cara tersebut, mereka berniat melepaskan diri mereka sendiri dengan melemparkan masalah ke dalam keraguan, dan bukan menjawab pertanyaan bagaimana makhluk hidup timbul secara kebetulan. Dengan menampilkan kesan bahwa berlalunya rentang masa yang panjang dapat menjadi sesuatu yang menguntungkan dari sudut pandang kemunculan makhluk hidup dan meningkatnya keanekaragaman, mereka mengemukakan faktor waktu sebagai sesuatu yang selalu menguntungkan. Sebagai contohnya, profesor evolusionis Turki, Yaman Ors berkata: “Jika Anda ingin menguji kebenaran teori evolusi, bubuhkan campuran zat yang tepat ke dalam air, tunggulah beberapa juta tahun, maka anda akan melihat kemunculan beberapa sel.” 52
Pernyataan itu betul-betul tidak masuk akal. Tak ada bukti bahwa hal seperti itu dapat terjadi. Munculnya makhluk hidup dari zat tak-hidup sebenarnya adalah takhayul dari Abad Pertengahan. Di zaman itu, masyarakat beranggapan bahwa makhluk hidup muncul secara tiba-tiba, disebut juga sebagai generatio spontanea atau “kemunculan tiba-tiba yang tanpa disengaja”. Menurut keyakinan masyarakat ini, angsa berasal dari pepohonan, kambing dari semangka, bahkan berudu berasal dari air yang terbentuk di awan lalu turun ke bumi sebagai hujan. Di tahun 1600-an, masyarakat percaya bahwa tikus dapat lahir dari campuran gandum dan sepotong kain kotor, dan bahwa lalat dapat terbentuk ketika lalat mati dicampur dengan madu.
Namun, Francesco Redi, ilmuwan Italia, membuktikan bahwa tikus tidaklah berasal dari campuran gandum dan kain kotor, serta lalat tidak berasal dari campuran lalat mati dengan madu. Makhluk hidup tidak berasal dari zat tak-hidup, seperti madu atau kain kotor, melainkan sekadar menjadikan benda-benda itu sebagai perantara. Misalnya, seekor lalat hidup akan bertelur pada bangkai lalat, dan tak lama kemudian sejumlah lalat baru pun muncul. Dengan kata lain, kehidupan berasal dari kehidupan, bukan dari zat atau benda mati. Di abad ke-19, Louis Pasteur, ilmuwan Prancis, membuktikan bahwa bakteri tidak berasal dari benda mati. Hukum ini, yaitu “kehidupan hanya berasal dari kehidupan” adalah salah satu dasar biologi modern.
Mengingat kondisi pada abad ke-17, adanya keyakinan yang aneh seperti yang telah dibahas di atas dapat kita maklumi karena pengetahuan para ilmuwan saat itu belumlah memadai. Akan tetapi di zaman kini, saat ilmu dan teknologi maju pesat, dan berbagai percobaan dan pengamatan menunjukkan bahwa makhluk hidup mustahil berasal dari zat atau benda mati, amatlah mengejutkan bila seorang evolusionis seperti Yaman Ors masih juga mempertahankan pernyataan seperti itu.
Ilmuwan modern telah berulang kali menunjukkan bahwa hal sedemikian mustahil terjadi. Mereka telah melaksanakan percobaan-percobaan yang diatur sedemikian rupa, di laboratorium canggih, menirukan kondisi saat makhluk hidup pertama kali muncul, tapi itu semua sia-sia.
Apabila atom-atom fosfor, kalium, magnesium, oksigen, besi, dan karbon, yang semuanya penting bagi makhluk hidup, digabungkan, yang timbul hanyalah gumpalan zat tak-hidup. Akan tetapi, kaum evolusionis menyatakan bahwa ada sekumpulan atom yang bergabung dan mengatur diri sedemikian rupa, dalam jangka waktu tertentu, dalam perbandingan paling sesuai, di saat dan tempat yang tepat, dengan segala kaitan yang diperlukan. Selanjutnya mereka nyatakan bahwa hasil pengaturan yang tepat dari atom-atom tak hidup tersebut, dan dengan semua proses yang berlangsung tanpa gangguan, muncullah manusia yang mampu melihat, mendengar, bicara, merasakan, tertawa, bersuka-cita, menderita, merasakan perasaan sakit dan suka cita, tertawa, mencintai, berbelas kasih, manghayati irama musik, menikmati makanan, membangun peradaban, serta melakukan penelitian ilmiah.
Akan tetapi, sudah jelas bahwa walaupun semua persyaratan dan kondisi yang ditetapkan para evolusionis dipenuhi, serta berjuta-juta tahun sudah berlalu, percobaan seperti itu akan gagal.
Para evolusionis mencoba menutupi fakta ini dengan penjelasan tipuan seperti “Segala hal adalah mungkin dengan berlalunya waktu”. Ketidakabsan pernyataan ini, yang didasarkan penggunaan “gertak“ di dalam dunia ilmiah, sangatlah jelas. Ketidakabsahan ini dapat dilihat dengan lebih jelas bila dilihat dari sudut pandang lain. Dalam sebuah contoh sederhana, mari kita tinjau faktor waktu dalam keadaan yang menguntungkan dan yang merugikan. Bayangkanlah sebuah perahu kayu di pantai, beserta seorang kapten yang dari awal memelihara kapal itu, memperbaiki, membersihkan, mengecatnya. Selama sang kapten tetap berminat pada kapal tersebut, kapal itu akan tambah menarik, aman dan terawat.
Lalu, mari kita bayangkan kapal tersebut ditinggalkan. Kali ini, pengaruh matahari, angin, hujan, pasir dan badai akan menyebabkan kapal itu rusak, lapuk, dan akhirnya terbuang tanpa guna.
Satu-satunya perbedaan di antara kedua skenario tadi adalah, pada kasus pertama, ada peristiwa campur-tangan yang cerdas, ahli, dan sangat berpengaruh. Waktu yang berlalu hanya akan bermanfaat, apabila dikendalikan oleh sebuah kekuatan yang cerdas. Jika tidak, waktu akan berpengaruh merusak, dan bukan memperbaiki atau membangun. Hal ini merupakan sebuah hukum ilmiah. Hukum entropi, yang dikenal sebagai “Hukum Termodinamika Kedua”, menyatakan bahwa semua sistem di alam semesta ini menuju ke arah kehancuran, penguraian, dan pembusukan apabila ditinggalkan begitu saja dalam kondisi alamiah.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa panjangnya umur Bumi adalah faktor yang menghancurkan pengetahuan serta keteraturan, dan menambah kekacauan. Jadi amat bertentangan dengan pendapat evolusionis. Munculnya sistem yang teratur yang didasarkan pada pengetahuan hanya dapat terjadi akibat adanya keterlibatan yang cerdas.
Pada saat mendongeng tentang berubahnya satu spesies menjadi spesies lain, para pendukung evolusi berlindung di balik tameng “semua itu terjadi dalam jangka waktu teramat panjang”. Dengan begitu, mereka menyatakan bahwa di masa lalu berbagai hal tersebut terjadi sedemikian rupa, yang belum pernah dibuktikan oleh percobaan atau pengamatan mana pun. Walaupun demikian, segala hal di dunia dan alam semesta berjalan mengikuti hukum yang tetap. Hal ini tidak berubah seiring berjalannya waktu. Sebagai contoh, benda jatuh ke muka Bumi akibat gravitasi. Benda tidak akan jatuh ke atas dengan berjalannya waktu, bahkan dalam waktu bertriliun-triliun tahun sekalipun. Anak kadal tetaplah kadal. Hal ini terjadi karena informasi genetis yang diturunkan adalah selalu informasi kadal, dan secara alami tidak ada informasi tambahan yang bisa ditambahkan. Informasi dapat berkurang ataupun musnah, tetapi sungguh mustahil sesuatu apa pun dapat ditambahkan. Ini disebabkan penambahan informasi ke dalam sebuah sistem membutuhkan keterlibatan dan kendali dari luar yang berpengetahuan dan cerdas. Alam sendiri tidak memiliki sifat-sifat seperti itu.
Pengulangan yang terjadi dengan berjalannya waktu, dan fakta bahwa hal ini sering terjadi, tidaklah mengubah apa pun. Sekalipun bertriliun-triliun tahun sudah berlalu, seekor burung tidak akan menetas dari telur kadal. Seekor kadal berukuran panjang, atau yang pendek – yang kuat ataupun yang lemah – akan selalu berupa kadal. Spesies yang berbeda tidak akan muncul darinya. Konsep “waktu yang sangat panjang“ merupakan sebuah tipuan yang bertujuan untuk mengeluarkan permasalahan ini dari luar lingkup percobaan dan pengamatan. Tidak ada bedanya antara 4, 40 atau 400 miliar tahun berlalu. Sebab tidak ada hukum ataupun kecenderungan alamiah yang dapat merubah kemustahilan-kemustahilan sebagaimana yang dipaparkan dalam teori evolusi menjadi hal yang benar-benar mungkin.

10 MUNGKINKAH MAKHLUK HIDUP BERASAL DARI LUAR ANGKASA?

10
MUNGKINKAH MAKHLUK HIDUP BERASAL DARI LUAR ANGKASA?


Ketika Darwin pertama kali mengajukan teorinya di pertengahan abad kesembilan belas, ia tak pernah menyebutkan bagaimana awal mula makhluk hidup terjadi – atau dengan kata lain, asal usul sel hidup pertama. Para ilmuwan di awal abad kedua puluh, yang meneliti asal usul makhluk hidup, mulai menyadari bahwa teori ini tidak absah. Struktur yang kompleks dan sempurna pada makhluk hidup memberikan kesempatan bagi banyak ilmuwan untuk memahami kebenaran penciptaan. Perhitungan matematis, percobaan serta pengamatan ilmiah menunjukkan bahwa makhluk hidup tak mungkin merupakan “hasil kebetulan”, seperti yang dinyatakan oleh teori evolusi.
Seiring dengan runtuhnya pernyataan bahwa peristiwa kebetulan merupakan penyebab terjadinya kehidupan, serta semakin disadarinya bahwa kehidupan ini “direncanakan”, beberapa ilmuwan mulai mencari asal usul makhluk hidup di luar angkasa. Ilmuwan paling terkenal yang mencetuskan hal ini adalah Fred Hoyle dan Chandra Wickramasinghe. Keduanya membuat skenario yang isinya menyatakan adanya suatu kekuatan yang “menyemai benih” kehidupan di angkasa. Menurut skenario ini, benih-benih kehidupan tersebut dibawa mengarungi kehampaan angkasa oleh awan-awan gas atau debu, atau mungkin oleh asteroid, dan akhirnya sampai di bumi. Dan makhluk hidup pun dimulai di sini.
Pemenang Hadiah Nobel, Francis Crick, yang bersama James Watson menemukan struktur heliks ganda (pilinan ganda) pada DNA, adalah salah satu dari mereka yang mencari asal usul makhluk hidup di luar angkasa. Crick sadar bahwa tak mungkin hidup bermula secara kebetulan, tetapi ia menyatakan bahwa kehidupan di bumi dimulai oleh kekuatan cerdas “yang berasal dari angkasa luar”.
Seperti telah kita lihat, gagasan bahwa kehidupan berasal dari luar angkasa telah mempengaruhi ilmuwan-ilmuwan ternama. Masalah ini bahkan dibahas dalam tulisan dan debat tentang asal usul kehidupan. Pada dasarnya, gagasan mengenai pencarian kehidupan di angkasa luar dapat dilihat dari dua sudut pandang.


Pertentangan ilmiah

Kunci pengujian atas pernyataan bahwa “kehidupan bermula di angkasa luar” terletak dalam penelitian meteor-meteor yang mencapai Bumi serta gumpalan gas dan debu di angkasa luar. Hingga saat ini belum ditemukan bukti akan adanya benda angkasa yang mengandung makhluk luar bumi yang akhirnya memulai kehidupan di Bumi. Selain itu, hingga saat ini pun belum ada penelitian yang telah mengungkapkan adanya makromolekul kompleks seperti itu ditemukan dalam mahluk hidup.
Lebih jauh lagi, zat yang terdapat dalam meteorit tidak bersifat asimetris, seperti seharusnya makromolekul yang dimiliki oleh makhluk hidup. Misalnya, secara teoritis, asam amino (bahan dasar penyusun protein; protein adalah bahan dasar penyusun makhluk hidup) bentuk levo dan dekstro (“isomer optis”) seharusnya terdapat dalam jumlah yang kurang-lebih setara. Akan tetapi, dalam protein, hanya terdapat asam amino levo. Distribusi yang asimetris ini tidak terdapat dalam molekul organik kecil (molekul berdasar karbon yang terdapat pada makhluk hidup) yang ditemukan dalam meteorit. Yang terakhir ini terdapat dalam bentuk levo dan dekstro.51
Hal ini bukanlah hambatan terakhir bagi pernyataan bahwa zat dan benda luar angkasa lah yang memulai kehidupan di Bumi. Mereka yang setuju dengan pendapat ini harus mampu menjelaskan, mengapa proses seperti itu tidak terjadi di masa sekarang, padahal Bumi masih dihujani berbagai meteorit hingga saat ini. Kajian atas meteorit tersebut tidak mengungkapkan “penyemaian benih” apa pun yang dapat mendukung pendapat ini.
Pertanyaan lainnya adalah: kalaupun memang makhluk hidup dibentuk oleh sebuah kecerdasan di angkasa luar, yang lalu tiba di Bumi, lalu bagaimana cara terbentuknya jutaan spesies di Bumi? Inilah permasalahan besar yang harus dihadapi oleh pendapat ini.
Di samping semua kendala tadi, di alam semesta ini belum pernah ditemukan jejak peradaban atau makhluk hidup, yang kemungkinan telah memulai kehidupan di Bumi. Bahkan pengamatan di bidang astronomi, yang telah mengalami kemajuan sangat pesat selama 30 tahun terakhir ini, tidak memberikan petunjuk apa pun tentang adanya peradaban seperti itu.


Ada apa di balik pendapat tentang asal usul
dari angkasa luar (ekstra-terestrial)?

Sebagaimana telah kita pahami, teori yang menyatakan bahwa kehidupan di Bumi bermula dari angkasa luar ini tidak memiliki dasar ilmiah yang mendukungnya. Tidak ada penemuan-penemuan ilmiah yang membenarkan atau mendukungnya. Akan tetapi, ketika para ilmuwan yang mengusulkan gagasan ini mulai melihat ke arah tersebut, mereka melakukannya karena mereka telah merasakan suatu kebenaran.
Kebenaran itu adalah: sebuah teori yang menyatakan bahwa makhluk hidup di Bumi tercipta sebagai hasil ketidaksengajaan tidak dapat dipertahankan lagi. Telah disadari bahwa kerumitan yang tersingkap pada makhluk-makhluk hidup di Bumi hanya mungkin diciptakan oleh perancangan cerdas. Nyatanya, bidang-bidang keahlian dari para ilmuwan pencari asal usul kehidupan di angkasa luar ini menjelaskan penolakan mereka terhadap alur pikir teori evolusi.
Keduanya adalah ilmuwan kelas dunia: Fred Hoyle adalah ahli astronomi dan bio-matematika, sedangkan Francis Crick adalah ahli biologi molekuler.
Satu hal penting harus dipertimbangkan adalah para ilmuwan yang mengacu pada angkasa luar untuk menemukan asal usul kehidupan itu tidak menghasilkan penjelasan baru tentang masalah tersebut. Ilmuwan seperti Hoyle, Wickramasinghe, dan Crick, mulai mencari asal usul di luar angkasa karena mereka sadar bahwa kehidupan tidak mungkin dihasilkan oleh peristiwa kebetulan. Karena makhluk hidup di Bumi mustahil tercipta secara kebetulan, mereka harus menerima adanya sumber rancangan cerdas di angkasa luar.
Akan tetapi, teori yang mereka ajukan (berkenaan dengan asal usul rancangan cerdas ini) bersifat kontradiktif dan tak bermakna. Fisika dan astronomi modern mengungkapkan bahwa alam semesta ini berasal dari ledakan besar 12–15 miliar tahun yang silam, yang dikenal dengan nama teori Big Bang atau “Dentuman Besar”. Semua materi di alam semesta ini berasal dari ledakan itu. Oleh karena itu, gagasan mencari asal usul kehidupan dalam makhluk hidup yang berbasis materi di ruang angkasa, harus disertai penjelasan, bagaimana makhluk hidup itu bisa tercipta. Hal ini berarti bahwa teori yang diajukan tidaklah memecahkan masalah, tetapi malah mundur selangkah. (Untuk keterangan terperinci, baca buku Harun Yahya berjudul The Creation of Universe dan Timelessness and the Reality of Fate).
Seperti telah kita lihat, pendapat tentang “kehidupan berasal dari angkasa luar” tidak mendukung evolusi, tetapi merupakan pendapat yang mengungkapkan kemustahilan teori evolusi, dan menerima bahwa satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah penciptaan melalui rancangan cerdas. Para ilmuwan yang mendukung pendapat ini, pada awalnya melakukan analisis yang tepat, tapi lalu menempuh jalur yang salah, sehingga mengambil langkah konyol untuk mencari asal usul makhluk hidup di angkasa luar.
Jelaslah bahwa gagasan tentang asal mula kehidupan dari “angkasa luar (ekstra-terestrial)” tidak dapat menjelaskan asal usul makhluk hidup. Bahkan, bilapun untuk sekejap kita menerima hipotesa adanya “ekstra-terestrial” ini, tetaplah jelas bahwa tak mungkin makhluk “ekstra-terestrial” tersebut tercipta secara kebetulan, tapi merupakan hasil dari rancangan cerdas. (Hal ini disebabkan karena hukum fisika dan kimia adalah seragam di seluruh semesta ini, jadi tak mungkin hidup muncul secara kebetulan). Ini menunjukkan bahwa Tuhan, yang melampaui batas materi dan waktu, dan memiliki kekuasaan, kebijaksanaan, dan pengetahuan yang tidak terbatas, telah mencipta alam semesta dan segala sesuatu di dalamnya.

9 MENGAPA ANGGAPAN “KLONING MEMBUKTIKAN KEBENARAN EVOLUSI” ADALAH SUATU TIPUAN?

9
MENGAPA ANGGAPAN “KLONING MEMBUKTIKAN KEBENARAN EVOLUSI” ADALAH SUATU TIPUAN?


Kemajuan ilmiah seperti kloning tak ada kaitannya sama sekali dengan evolusi. Oleh sebab itu, pertanyaan “apakah kemajuan teknologi seperti kloning membuktikan kebenaran evolusi?” sebenarnya mengungkapkan adanya propaganda murahan yang dilakukan kaum evolusionis agar masyarakat menerima teori ini. Kloning tidak memiliki keterkaitan dengan teori evolusi, karenanya bukanlah menjadi bidang bahasan evolusionis profesional. Walaupun demikian, sebagian pendukung fanatik evolusi yang bersedia melakukan apa saja, terutama dari kalangan media massa, mencoba menjadikan masalah yang sama sekali tidak berkaitan seperti kloning, sebagai bahan propaganda evolusi.


Apa sebenarnya arti melakukan kloning
pada makhluk hidup?

DNA makhluk hidup yang akan digandakan (dibuat tiruannya), diambil dari sel tubuh bagian mana saja dari organisme yang dimaksud. DNA tersebut lalu diletakkan di dalam sel telur makhluk hidup lain dari spesies yang sama. Segera setelah itu, telur diberikan kejutan (listrik – penerj.) sehingga telur tersebut langsung mulai membelah diri. Embrio yang dihasilkan kemudian diletakkan dalam rahim suatu makhluk hidup, tempat di mana embrio tersebut akan terus membelah diri. Para ilmuwan lalu menantikan perkembangan dan kelahiran embrio tersebut.


Mengapa kloning tidak memiliki kaitan
apa pun dengan evolusi?

Kloning dan evolusi adalah dua konsep yang amat berbeda. Teori evolusi dibangun atas dasar anggapan yang menyatakan bahwa materi tak-hidup berubah menjadi materi hidup secara kebetulan. (Tak ada bukti ilmiah sedikit pun bahwa hal ini dapat terjadi.) Kloning, sebaliknya, adalah menghasilkan salinan makhluk hidup dengan menggunakan bahan genetis dari sel makhluk itu sendiri. Organisme baru itu berasal dari satu sel tunggal. Proses biologis dipindahkan ke laboratorium dan berulang di sana. Dengan kata lain, tak ada apa pun dalam proses semacam itu yang terjadi secara kebetulan – yang merupakan dasar teori evolusi – juga bukan “materi tak-hidup yang menjadi hidup”.
Proses kloning sama sekali bukanlah bukti evolusi. Namun sebaliknya, adalah bukti suatu hukum biologi yang sama sekali meniadakan evolusi. Hukum tersebut adalah kaidah terkenal yang menyatakan bahwa “kehidupan hanya dapat berasal dari kehidupan”, yang dikemukakan oleh ilmuwan ternama Louis Pasteur di akhir abad kesembilan belas. Digunakannya kloning sebagai bukti evolusi, meskipun kenyataan menunjukkan sebaliknya, menunjukkan adanya penipuan yang dilakukan media massa.
Kemajuan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan selama 30 tahun terakhir menunjukkan kemunculan makhluk hidup tidak bisa dijelaskan sebagai peristiwa kebetulan. Kesalahan ilmiah evolusionis, serta pernyataan sepihak, telah didokumentasi dengan baik, dan teori evolusi tidak bisa dipertahankan dalam lingkup ilmiah. Fakta ini telah memaksa para evolusionis untuk mencari penyelesaian di bidang lain. Oleh sebab itu dalam beberapa tahun terakhir, secara fanatik, kemajuan ilmiah seperti kloning dan bayi tabung telah digunakan sebagai bukti evolusi.
Kaum evolusionis tidak lagi dapat berbicara kepada masyarakat atas nama ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan mereka berlindung di balik kesenjangan pemahaman ilmiah yang ada di masyarakat. Mereka berharap cara ini akan memperpanjang masa berlaku teori evolusi, meskipun hal ini hanya akan menyebabkan teori ini lebih terpuruk lagi. Seperti halnya kemajuan ilmiah lainnya, kloning adalah kemajuan ilmiah teramat penting dan menyingkapkan bukti yang mengungkapkan fakta penciptaan mahluk hidup.


Pemahaman Keliru Lainnya tentang Kloning

Salah paham lain yang sering terjadi di kalangan orang awam adalah kloning dapat “menciptakan manusia”. Akan tetapi, kloning tidak dapat diartikan demikian. Kloning merupakan penambahan informasi genetis yang telah tersedia, ke dalam mekanisme reproduksi yang juga telah ada sebelumnya. Dalam proses ini tidak terjadi penciptaan mekanisme ataupun informasi genetis yang baru. Informasi genetis diambil dari seseorang yang sudah ada sebelumnya dan kemudian disisipkan ke dalam rahim seorang wanita.Hal ini menyebabkan anak yang nantinya dilahirkan merupakan “kembar identik” dari orang yang menjadi sumber informasi genetisnya.
Banyak orang, yang tidak sepenuhnya memahami kloning, memiliki gagasan-gagasan yang tidak masuk akal. Sebagai contoh, mereka membayangkan sebuah sel yang diambil dari seorang lelaki berusia 30 tahun, dapat menjadi seorang lelaki berusia 30 tahun pula dalam hari yang sama. Hal semacam ini hanya ada di dalam fiksi ilmiah, dan tidak mungkin, serta takkan pernah dapat terlaksana. Kloning pada dasarnya adalah menyebabkan lahirnya seorang “kembar identik” melalui metoda alamiah (dengan kata lain melalui rahim seorang ibu). Hal ini tidak ada kaitannya dengan teori evoulisi, ataupun dengan konsep “menciptakan manusia”.

Menciptakan manusia atau makhluk hidup lain – dengan kata lain, membuat sesuatu yang tadinya tak ada menjadi ada – adalah kekuasaan Allah semata. Kemajuan ilmiah menegaskan hal ini dengan menunjukkan bahwa penciptaan tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Hal ini dinyatakan dalam sebuah ayat Al Qur’an:

Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah" Lalu jadilah ia. (QS. Al Baqarah, 2:117)

8 PEMALSUAN ILMIAH APAKAH YANG MENJADI DASAR BAGI MITOS “EMBRIO MANUSIA MEMILIKI INSANG”?

8
PEMALSUAN ILMIAH APAKAH YANG MENJADI DASAR BAGI MITOS “EMBRIO MANUSIA MEMILIKI INSANG”?


Tesis yang menyatakan bahwa makhluk hidup melalui berbagai tahapan di dalam rahim induknya, yang dapat dianggap sebagai bukti evolusi, menempati kedudukan istimewa di antara pernyataan-pernyataan tanpa bukti dari teori evolusi. Hal ini dikarenakan tesis ini, yang dikenal sebagai “rekapitulasi“dalam literatur evolusi, lebih dari sekedar penipuan ilmiah: ini adalah pemalsuan ilmiah.


Takhayul rekapitulasi Haeckel

Istilah “rekapitulasi” adalah ringkasan dari pernyataan “ontogeni merekapitulasi filogeni”, yang diajukan oleh ahli biologi evolusioner, Ernst Haeckel di akhir abad kesembilan belas. Teori Haeckel ini menyatakan bahwa perkembangan embrio mengulangi proses evolusi yang dialami oleh “nenek moyang” mereka di zaman purba. Menurut teori ini, embrio manusia dalam rahim sang ibu pada awalnya menampilkan ciri-ciri fisik seekor ikan, lalu reptil, dan terakhir manusia. Pendapat ini mencetuskan pernyataan bahwa embrio memiliki “insang“ dalam tahap pertumbuhannya.
Akan tetapi, ini semua hanyalah takhayul. Perkembangan ilmiah yang telah dicapai, sejak rekapitulasi didengungkan untuk pertama kali, telah memungkinkan diujinya keabsaan pernyataan tersebut. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa doktrin rekapitulasi tidak memiliki landasan apa pun selain khayalan dan penafsiran keliru yang sengaja dilakukan kaum evolusionis.
Kini telah diketahui bahwa apa yang disebut-sebut “insang” itu, yang tumbuh pada tahap awal perkembangan embrio manusia, sebenarnya adalah fase awal dari saluran telinga tengah, kelenjar timus dan paratiroid. Bagian embrio yang diserupakan sebagai “kantung kuning telur” ternyata adalah kantung yang berfungsi untuk menghasilkan darah bayi. Bagian yang disebut-sebut sebagai “ekor” oleh Haeckel dan pengikutnya, sebenarnya adalah tulang belakang yang tampak mirip ekor karena terbentuk lebih dulu daripada tungkai kaki.
Inilah fakta-fakta yang diakui secara luas dalam dunia ilmiah, dan bahkan kaum evolusionis sendiri mengakuinya. George Gaylord Simpson, salah satu pendiri neo-Darwinisme, menulis:

Haeckel salah menyatakan prinsip evolusioner yang dipakai. Sekarang dengan mantap telah dikukuhkan bahwa ontogeni tidak mengulangi filogeni. 45

Berikut ini tercantum dalam artikel New Scientist tertanggal 16 Oktober 1999:

[Haeckel] menamakan ini sebagai hukum biogenetika, dan gagasan ini kemudian secara luas disebut sebagai rekapitulasi. Faktanya, hukum Haeckel yang tegas itu tak lama kemudian terbukti keliru. Misalnya, embrio manusia tahap awal tidak pernah memiliki insang yang berfungsi seperti ikan, dan tak pernah melewati tahapan-tahapan yang menyerupai kera atau reptil dewasa. 46

Dalam artikel terbitan American Scientist, kita membaca:

Sungguh, hukum biogenetika itu sudah benar-benar mati. Hukum ini akhirnya dihilangkan dari buku teks biologi pada tahun lima puluhan. Sebagai sebuah pokok pengkajian teoritis yang serius, hukum ini ini sudah punah di tahun dua puluhan… 47

Sebagaimana telah kita saksikan, sejak pertama kali muncul, berbagai perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa rekapitulasi sama sekali tidak memiliki dasar-dasar ilmiah. Walaupun demikian, berbagai perkembangan yang sama tersebut menunjukkan bahwa rekapitulasi bukan sekedar suatu penipuan ilmiah, melainkan sebuah “pemalsuan” murni.


Gambar palsu Haeckel

Ernst Haeckel, yang pertama kali mengajukan gagasan rekapitulasi, telah menerbitkan sejumlah gambar untuk mendukung teorinya. Haeckel membuat gambar-gambar yang telah dipalsukan, untuk menampilkan kesan bahwa embrio manusia dan ikan memiliki kemiripan! Ketika dusta ini terungkap, dia hanya dapat membela diri dengan cara berkata bahwa para evolusionis lain telah melakukan kesalahan serupa:

Setelah pengakuan yang memalukan atas “pemalsuan” ini, saya sepatutnya menganggap diri saya tercela dan tak berguna, seandainya saya tidak merasa terhibur oleh adanya ratusan “orang hukuman” yang senasib dengan saya, di antaranya terdapat para pengamat paling terpercaya dan para ahli biologi paling terhormat. Kebanyakan dari semua gambar yang ada pada buku-buku pelajaran, makalah dan jurnal biologi terbaik, hingga tingkat yang sama, menanggung dakwaan “pemalsuan”, karena semua gambar itu tidak pasti, banyak sedikitnya sudah diubah-ubah, diatur dan dirancang. 48

Jurnal ilmiah Science edisi 5 September, 1997, menerbitkan artikel yang mengungkapkan bahwa gambar embrio Haeckel adalah hasil penipuan. Tuisan itu, yang diberi judul “Haeckel’s Embryos: Fraud Rediscovered” (Embrio-Embrio Haeckel: Pemalsuan yang Terungkap Lagi) menyatakan berikut ini:

Kesan yang diberikan [oleh gambar-gambar Haeckel], yang menyatakan bahwa semua embrio itu persis sama, adalah salah, ungkap Michael Richardson, seorang ahli embriologi di Fakultas Kedokteran St. George’s di London… Demikianlah, ia dan rekan-rekannya melakukan sendiri suatu penelitian pembandingan, memeriksa ulang dan memotret beberapa embrio, yang berasal dari spesies dan umur yang kira-kira setara dengan gambar Haeckel. Nyatalah bahwa semua embrio itu “seringkali tampak benar-benar berbeda luar biasa”, lapor Richardson dalam Anatomy and Embryology, terbitan bulan Agustus.49

Kemudian, dalam artikel yang sama ini, informasi berikut ini terungkap:

Haeckel tidak saja menambah dan mengurangi sejumlah bagian, lapor Richardson dan rekan-rekannya, tetapi ia juga memalsukan ukurannya untuk melebih-lebihkan kesamaan di antara spesies, meskipun terdapat perbedaan ukuran sebesar 10 kali. Terlebih, Haeckel menyamarkan perbedaan dengan cara tidak menyebutkan nama spesies dalam banyak kasus, seakan-akan satu contoh saja sudah benar-benar cukup untuk mewakili satu kelompok hewan secara keseluruhan. Nyatanya, Richardson dan rekan-rekannya mencermati, bahkan embrio hewan dari jenis-jenis yang erat hubungannya sekali pun, misalnya ikan, agak berlainan dalam rupa serta jalur perkembangannya. “[Gambar-gambar Haeckel] ini tampaknya sedang menjadi salah satu pemalsuan paling terkenal dalam biologi,” Richardson menyimpulkan. 50

Patut dicatat, walaupun pemalsuan Haeckel ini sudah terungkap tahun 1901, selama hampir satu abad gambar tersebut masih terus ditampilkan dalam berbagai terbitan evolusionis, seakan-akan merupakan hukum ilmiah yang sudah terbukti. Dengan mengedepankan ideologi mereka daripada ilmu pengetahuan, mereka yang menganut keyakinan evolusionis secara tak sadar telah menyatakan pesan penting: Evolusi bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan dogma yang terus mereka coba pertahankan, walaupun fakta ilmiah membuktikan sebaliknya.
Powered By Blogger

Entri Populer