Cerita Saya

Foto saya
Selalu belajar dan mencari ilmu yang berguna/bermanfaat untuk pribadi dan masyarakat.

Selasa, 29 Maret 2011

Filosofi Berpakaian

يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (26) يَا بَنِي آَدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآَتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ (27)
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS Al-A’raf [7]: 26)

Panggilan ini hadir di tengah naungan pemandangan kisah yang telah dipaparkan sebelumnya. Yaitu pemandangan ketelanjangan, terbukanya aurat, dan menutupinya dengan sekedarnya dengan daun surga. Ini adalah buah dari kesalahan. Kesalahan tersebut mengambil bentuk durhaka kepada perintah Allah, dan menyentuh larangan Allah. Ini bukan kesalahan yang dikisahkan oleh mitos-mitos dalam ‘kitab suci’! Kesalahan yang mewarnai persepsi artistik Barat yang bersumber dari mitos tersebut, dan dari pengaruh-pengaruh Frued yang beracun. Kesalahan itu bukan karena makan ‘pohon pengetahuan’, seperti yang diceritakan dalam mitos Perjanjian Lama.

Ia juga bukan kecemburuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap manusia dan ketakutan-Nya sekiranya Adam makan pohon kehidupan sehingga ia menjadi salah satu tuhan, seperti yang didakwakan mitos-mitos tersebut. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan dengan kesucian yang sebesar-besarnya. Kesalahan tersebut juga bukan karena hubungan sekstual, sebagaimana imajinasi seni eropa selama ini berkutat pada lumpur seks untuk menafsirkan sehingga aktivitas kehidupan, seperti yang diajarkan Freud si yahudi kepada mereka!

Dalam menghadapi pemandangan telanjang yang terjadi akibat perbuatan dosa, dan dala menghadapi ketelanjangan yang senantiasa dipraktikkan orang-orang musyri di masa jahiliyah, maka konteks seruan ini mengingatkan nikmat Allah pada manusia yang telah mengajari mereka, memudahkan mereka, dan juga mensyariatkan bagi mereka pakaian untuk menutupi aurat yang terbuka. Selain untuk menutupi aurat, pakaian juga menjadi perhiasan dan keindahan, menggantikan buruknya ketelanjangan. Karena itu Allah berfirman, “Kami turunkan.” Maksudnya adalah kami syariatkan bagi kalian di dalam wahyu. Kata libas terkadang digunakan untuk sesuatu yang menutupi kemaluan, dan itu adalah pakaian bagian dalam. Sedangkan kata risyan terkadang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh dan berhias, dan itu adalah pakaian bagian luar. Sebagaimana kata risyan digunakan untuk arti kehidupan yang sejahtera, nikmat dan harta benda. Semua makna ini saling berjalinan dan saling menguatkan.

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.”

Demikian pula, konteks surat di sini menyebutkan kalimat “pakaian takwa”, dan memberinya sifat “yang paling baik”.

“Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah…”

Abdurrahman bin Aslam mengatakan, “Maksudnya ayat ini adalah bertakwa kepada Allah dengan menutup auratnya. Itulah yang dimaksud dengan pakaian takwa.”

Ada hubungan antara pensyariatan Allah terhadap pakaian untuk menutup aurat dan untuk perhiasan dengan takwa. Keduanya sama-sama pakaian. Yang satu menutup aurat hati dan menghiasi hati, sedangkan yang lain menutupi aurat tubuh dan menghiasi tubuh. Keduanya saling berhubungan. Karena dari rasa takut dan malu kepada Allah itulah muncul rasa jijik dan malu terhadap ketelanjangan tubuh. Barangsiapa yang tidak malu dan takut kepada Allah, maka tidak ia tidak peduli untuk telanjang dan mengajak orang lain untuk telanjang. Telanjang dari rasa malu dan takwa, telanjang dari pakaian, dan membuka aurat!

Sesungguhnya menutup aurat karena rasa malu bukan sekedar kebiasaan lingkungan—seperti klaim para propagandis yang berusaha memengaruhi rasa malu masyarakat dan kesucian mereka untuk menghancurkan kemanusiaan mereka. Ini sejalan dengan rencana keji Yahudi yang termuat dalam program pemerintah Zionis. Rasa malu adalah fitrah yang diciptakan Allah dalam diri manusia, dan pakaian adalah syariat yang diturunkan Allah kepada manusia. Allah memberi mereka kemampuan untuk melaksanakan syari’at tersebut dengan berbagai kekayaan dan rezki di bumi yang ditundukkan Allah kepada mereka.

Allah mengingatkan anak-anak Adam tentang nikmat-Nya pada mereka ketika mensyariatkan pakaian dan menutup aurat. Syariat ini bertujuan untuk menjaga kemanusiaan mereka agar tidak runtuh kepada tataran kebiasaan hewan! Selain itu, Allah mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat-Nya dengan tujuan untuk mendukung mereka dengan kemudahan yang diberikan kepada mereka.

“Mudah-mudahan mereka selalu ingat.”

Dari sini seorang muslim dapat menghubungan antara serangan dahsyarat yang diarahkan kepada rasa malu dan akhlak manusia; ajakan secara gamblang untuk telanjang secara fisik atas nama perhiasan, peradaban dan cinta; antara program Yahudi untuk menghancurkan kemanusiaan mereka dan mempercepat dekadensi mereka, untuk mempermudah Yahudi dalam memperbudak mereka!

Selain itu, seorang muslim juga dapat menghubungkan semua ini dengan program yang ditujukan untuk mengikis habis sisa-sisa akar agama ini dalam bentuk emosi yang terpendam di lubuk jiwa! Sampai sejauh inilah upaya-upaya penghancuran yang mereka lakukan, dengan serangan keji untuk mengajak kepada telanjang jiwa dan fisik, seperti yang disuarakan media-media yang bekerja untuk setan-setan Yahudi di setiap tempat!

Sesungguhnya perhiasan “insani” adalah perhiasan dengan menutup tubuh, sementara perhiasan “hewani” adalah dengan cara telanjang. Tetapi umat manusia pada hari ini telah kembali ke dunia jahiliyah yang menjatuhkan mereka ke tataran binatang!

Solusi Konflik

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10)

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat [49]: 9-10)

Ini adalah kaidah tasyri’ yang praktis untuk menjaga masyarakat mukmin dari pertikaian dan perpecahan di bawah pengaruh emosi dan tindakan spontan. Ayat ini hadir sebagai ulasan mengenai perintah tabayyun (klarifikasi) terhadap berita orang fasik, serta tidak buru-buru mengambil tindakan dan terbawa oleh fanatisme dan antusiasme, sebelum klarifikasi dan mencari kepastian.

Tidak ada beda antara turunnya ayat ini karena peristiwa tertentu seperti yang diceritakan berbagai riwayat, atau sebagai perundang-undangan untuk menangani kasus semacam ini. karena ayat ini merupakan satu kaidah umum untuk menjaga jama’ah Islamiyah dari perpecahan dan terbelah. Selain itu, ayat ini bertujuan memantapkan kebenaran, keadilan dan kebaikan. Semua urusan ini dikembalikan kepada ketakwaan terhadap Allah dan pengharapan terhadap rahmat-Nya agar memantapkan keadilan dan kebajikan.

Al-Qur’an telah menghadapi—atau mengasumsikan—kemungkinan terjadinya peperangan di antara dua kelompok mukmin. Al-Qur’an tetap menyebut kedua kelompok tersebut dengan sifat iman, meskipun keduanya berperang, dan meskipun ada kemungkinan salah satu kelompok berbuat zalim kepada kelompok lain. Bahkan kendali kedua kelompok itu berbuat zhalim di satu apsek. Ayat ini menugasi orang-orang yang beriman—dan sudah pasti dari luar kelompok yang bertikai itu—untuk melakukan rekonsiliasi di antara dua kubu yang bertikai. Jika salah satunya berbuat aniaya lalu ia tidak mau kembali kepada kebenaran—sama halnya kedua kelompok sama-sama menolak rekonsiliasi, atau menolak hukum Allah terkait masalah-masalah yang dipersengketakan—maka orang-orang mukmin wajib memerangi berbuat aniaya, sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Perintah Allah adalah menghentikan pertikaian di antara orang-orang mukmin, menerima hukum Allah mengenai apa yang mereka perselisihkan dan yang mengakibatkan pertikaian dan peperangan.

Apabila orang-orang yang berbuat aniaya itu menerima hukum Allah, maka orang-orang mukmin melakukan rekonsiliasi yang berkeadilan, sebagai upaya untuk menaati Allah dan mencari ridha-Nya. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”

Seruan dan hukum ini disusul dengan stimulasi terhadap hati orang-orang yang beriman dan menghidupkan tali yang erat di antara mereka. tali yang menghimpun mereka setelah terpecah belah, dan menyatukan mereka setelah berselisih. Selanjutnya konteks surat mengingatkan mereka agar bertakwa kepada Allah, dan memberi isyarat mereka akan rahmat-Nya yang digapai dengan takwa kepada-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (10)

Di antara implikasi persaudaraan adalah keberadaan cinta, perdamaian, kerjasama dan persatuan sebagai prinsip dalam jama’ah muslim; dan keberadaan perselisihan atau peperangan sebagai pengecualian yang harus dikembalikan kepada prinsip tersebut secepat mungkin. Dalam rangka meneguhkan prinsip tersebut orang-orang mukmin yang lain (netral) diperkenankan memerangi saudara-saudara mereka yang berbuat aniaya (menyembal) untuk mengembalikan mereka ke barisan, dan untuk menghilangkan pembangkangan terhadap prinsip dan fondais ini. Ini merupakan sebuah proses yang tegas.

Dan di antara implikasi dari kaifah ini adalah korban luka dalam perang tahkim ini tidak ditawan, tawanan tidak dihukum mati, orang yang meninggalkan pertempuran dan meletakkan senjata tidak dikejar, dan harta orang-orang yang bertikai itu tidak dipampas. Karena tujuan memerangi mereka itu bukan untuk menumpas mereka, melainkan untuk mengembalikan ke dalam barisan dan menghimpun mereka kepada panji ukhuwah Islamiyah.

Prinsip dalam sistem umat Islam adalah umat Islam di seluruh dunia hanya memiliki satu kepemimpinan. Dan ketika seorang imam telah dibaiat, maka orang kedua yang mendeklarasikan diri sebagai pemimpin itu wajib diperangi, serta dianggap bersama pengikutnya sebagai pemberontak yang wajib diperangi oleh orang-orang mukmin bersama imam yang sama. Atas dasar inilah Imam Ali RA melancarkan peperangan terhadap para pemberontak dalam peristiwa Jamal dan Shiffin. Ia didukung dengan para tokoh sahabat. Sebagian dari mereka memang tidak ikut berperang, seperti Sa’d, Muhammad bin Salamah, Usamah bin Zaid dan Ibnu ‘Umar RA. Bisa jadi karena mereka belum tidak memahami situasi yang sebenarnya, sehingga mereka menganggapnya sebagai fitnah atau kekacauan. Dan bisa jadi mereka adalah seperti yang dikatakan Imam Al Jashshash, “

“Barangkali mereka melihat kekuatan Imam dan para pengikutnya sudah cukup, mereka mereka membolehkan mangkir dari tugas tersebut.” Namun kemungkinan yang pertama lebih kuat. Hal itu ditunjukkan oleh sebagian dari pendapat mereka yang diriwayatkan, seperti yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar mengneai penyesalannya sesudah itu lantaran tidak ikut berperang bersama Imam.

Ketika prinsip ini berjalan, maka nash Al-Qur’an tersebut dapat dijalankan dalam kondisi apapun—termasuk dalam kasus-kasus pengecualian dimana ada dua kepemimpinan atau lebih di berbagai wilayah yang terpisah di antara negara-negara kaum muslimin. Ini adalah kondisi darurat dan pengecualian dari kaidah umum. Jadi, kaum muslimin wajib memerangi para pemberontah bersama satu imam apabila para pemberontak itu menentang imam, atau jika satu kelompok berbuat aniaya kepada kelompok lain terkait kepemimpinnya, tanpa melakukan pemberontakan terhadapnya.

Jelas bahwa sistem arbitrase dan perang terhadap kelompok yang memisahkan diri hingga kembali kepada keputusan Allah ini merupakan sebuah sistem yang muncul lebih dahulu dalam setiap usaha umat manusia di bidang ini. Ia memiliki kesempurnaan dan bebas dari cacat dan kekurangan; sesuatu yang tampak jelas pada setiap usia manusia yang naif dan tak sempurna dalam setiap pengalamannya yang kelam! Selain itu, ia juga memiliki sifat bersih, amanah dan adil secara mutlak, karena resolusinya dikembalikan kepada perintah Allah, tanpa dikotori oleh suatu ambisi dan hawa nafsu, dan tidak tercemari kekurangan atau ketidak-sempurnaan. Tetapi umat manusia yang malang selalu mencari-cari lalu menyimpang, merangkak lalu tersandung, padahal ada jalan yang jelas, datar dan lurus!

Pelajaran Hidup dari Kisah Kaum Saba' (2)

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آَيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (15) فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ (16) ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ (17) وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْقُرَى الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا قُرًى ظَاهِرَةً وَقَدَّرْنَا فِيهَا السَّيْرَ سِيرُوا فِيهَا لَيَالِيَ وَأَيَّامًا آَمِنِينَ (18) فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا وَظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَجَعَلْنَاهُمْ أَحَادِيثَ وَمَزَّقْنَاهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ (19)

“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun". Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman. Maka mereka berkata: "Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami", dan mereka menganiaya diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur.” (QS Saba’ [34]: 15-19)

Mereka enggan bersyukur kepada Allah dan enggan melakukan amalan-amalan yang salih serta enggan menggunakan nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah itu dengan cara yang baik, lalu Allah merampas kembali kemewahan dan kemakmuran hidup mereka dengan melepaskan banjir yang dahsyat yang menghanyutkan batu-bata yang ada di tengah jalannya lalu memecahkan bendungan mereka dan menyebabkan banjir besar yang mengaramkan negeri itu. Setelah itu tidak ada lagi air yang dapat mereka simpan karena semuanya menjadi kering. Kebun-kebun mereka yang luas berganti menjadi padang belantara yang ditumbuhi pohon-pohon yang liar dan kasar:

“Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (16)

Pohon khamthun ialah pohon arak atau pohon yang berduri, pohon atsl ialah pohon tamaris (sejenis pohon berduri halus), dan pohon bidara itulah pohon terbaik yang bisa mereka dapati tetapi jumlahnya sangat sedikit.

“Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka.”

Menurut pendapat yang lebih kuat, yang dimaksudkan (dengan kekufuran di sini) ialah kufur nikmat.

“Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.”

Di waktu ini kaum Saba masih tinggal di kampung-kampung dan di rumah-rumah mereka. Walaupun Allah telah menyempitkan rezeki mereka dan mengganti kemakmuran dan kesenangan hidup mereka dengan kesusahan, namun Allah tidak memecah-belah mereka hingga terpencar-pencar, dan kehidupan mereka di sana masih terhubung dengan negeri-negeri yang diberkati Allah, yaitu negeri Makkah di Semenanjung Tanah Arab dan Baitul-Maqdis di Syam. Negeri Yaman di waktu itu makmur, terletak di utara negeri Saba dan mempunyai hubungan dengan negeri-negeri yang diberkati Allah dan jalan-jalan di antara kedua dua ibu kota negeri juga masih baik dan aman:

“Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman.”

Menurut cerita, orang-orang yang bepergian di waktu itu keluar dari satu negeri dan masuk ke satu negeri yang lain sebelum hari menjadi gelap. Jarak perjalanan ke negeri-negeri itu sangat dekat dan aman bagi para musafir. Mereka bisa istirahat dengan cukup karena adanya rumah-rumah dan tempat-tempat perhentian yang berdekatan di tengah jalan.

Negeri Saba dilanda bencana, tetapi mereka tidak mengambil pengajaran dari peristiwa yang pertama. Peristiwa itu tidak menggerakkan mereka memohon kepada Allah agar Dia mengembalikan kemakmuran yang telah hilang. Sebaliknya, mereka memohon kepada Allah dengan permohonan yang bodoh:

“Maka mereka berkata: "Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami.’”

Mereka meminta perjalanan-perjalanan yang jauh yang hanya dilakukan beberapa kali saja di dalam setahun, bukannya perjalanan-perjalanan yang dekat yang bersambung-sambung rumah kediaman karena perjalanan-perjalanan yang seperti ini tidak memuaskan selera mereka dalam berkelana. Inilah doa yang muncul dari hati mereka yang sombong dan menganiayai diri sendiri.

“Dan mereka menganiaya diri mereka sendiri…”

Lalu Allah perkenankan permohonan mereka yang sombong itu:

“Maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya.”

Mereka telah terpecah-belah dan terpencar-pencar di seluruh pelosok Semenanjung Tanah Arab. Mereka menjadi buah mulut dan bahan cerita di sana sini, padahal dahulunya mereka adalah satu umat yang mempunyai kedudukan di dunia ini.

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur.”

Yakni banyak bersabar saat menghadapi kesusahan dan banyak bersyukur saat mendapat kesenangan. Di dalam kisah kaum Saba terdapat banyak pelajaran bagi orang-orang yang banyak bersabar dan orang-orang yang banyak bersyukur.

Ini adalah satu makna tentang ayat ini, dan di sana ada makna lain, bahwa mungkin yang dimaksudkan dengan firman Allah: “Dan kami jadikan di antara negeri-negeri dengan negeri-negeri mereka yang kami berkati itu beberapa negeri yang kuat.” Yakni negeri-negeri yang berkuasa. Sementara kaum Saba’ berubah menjadi kaum yang miskin yang hidup di padang belantara yang kering. Mereka terpaksa berpergian ke sana sini dan berpindah-pindah mencari padang-padang rumput dan tempat tempat-tempat air. Mereka tidak sabar menghadapi kesusahan itu lalu mereka berdoa:

“Wahai Tuhan kami! Jauhkan jarak perjalanan-perjalanan kami” yakni kurangkanlah perjalanan kami ke sana ke mari karena kami telah penat. Mereka tidak menyertai do’a itu dengan permohonan taubat kepada Allah supaya doa mereka diperkenankan Allah. Mereka telah bersikap takabur dengan kesenangan hidup dan tidak sabar menghadapi kesusahan, lalu Allah membinasakan mereka dan memecah-belah mereka, sehingga tidak ada yang tersisa selain cerita-cerita mereka saja.

Dengan demikian, ulasan “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur” benar-benar serasi dengan sikap kaum Saba yang kurang bersyukur atas nikmat Allah dan kurang bersabar dalam menghadapi kesusahan. Ini adalah satu sisi makna yang saya fikir sesuai dengan ayat ini. Allah saja Yang Maha Mengetahui maksud yang sebenarnya.

Pelajaran Hidup dari Kisah Kaum Saba' (1)

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آَيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (15) فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ (16) ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ (17) وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْقُرَى الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا قُرًى ظَاهِرَةً وَقَدَّرْنَا فِيهَا السَّيْرَ سِيرُوا فِيهَا لَيَالِيَ وَأَيَّامًا آَمِنِينَ (18) فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا وَظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَجَعَلْنَاهُمْ أَحَادِيثَ وَمَزَّقْنَاهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ (19)

“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun". Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman. Maka mereka berkata: "Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami", dan mereka menganiaya diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur.” (QS Saba’ [34]: 15-19)

Di dalam kisah keluarga Daud, al-Quran membahas secara panjang lebar keimanan kepada Allah dan syukur kepada-Nya atas limpah karunia-Nya, dan di lembaran sebelahnya ia membentangkan kisah kaum Saba. Di dalam surah An-Naml telah disebutkan cerita-cerita yang terjadi di antara Nabi Sulaiman a.s. dengan ratu kerajaan Saba (Ratu Balqis) dan di sini pula disebut sekali lagi cerita kaum Saba’ selepas kisah Nabi Sulaiman a.s. Ini menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa yang disebut di dalam ayat ini adalah terjadi sesudah kisah yang telah terjadi di antara ratu itu dengan Nabi Sulaiman a.s. Asumsi ini berdasarkan alasan bahwa kisah di dalam ayat ini menceritakan perihal kesombongan kaum Saba terhadap nikmat Allah dan terhapusnya nikmat itu dari mereka, serta keadaan mereka yang porak-poranda dan bergelimangan di sana sini, sedangkan mereka di zaman Ratu Balqis yang diceritakan dalam Surah an-Naml sebagai sebuah kerajaan yang besar, mewah dan makmur, seperti yang diceriterakan oleh burung hud-hud kepada Nabi Sulaiman a.s.

“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk.” (QS An-Naml [27]: 23-24)

Cerita ini dilanjutkan dengan cerita keislaman Ratu Balqis dan keimanannya kepada Allah Rabb semesta alam. Kisah yang diceritakan di dalam surah ini terjadi setelah keislaman Ratu Balqis, yaitu setelah kaum Saba’ enggan bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang dikaruniakan kepada mereka.

Kisah ini diawali dengan cerita kesenangan dan kemewahan mereka dan bagaimana mereka diseru supaya bersyukur kepada Allah sebatas kemampuan upaya mereka:
“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.’” (23)

Saba’ ialah nama satu kaum yang mendiami selatan Yaman. Mereka tinggal di satu kawasan yang subur, dan sebagiannya masih ada hingga hari ini. Mereka telah mendaki tangga peradaban yang tinggi sehingga mereka dapat mengendalikan air-air hujan yang lebat yang mengalir dari sebelah laut di Selatan dan di Timur. Mereka telah membangun sebuah bendungan air alam yang diapit oleh dua buah bukit, dan di muka lembah di antara dua bukit itu mereka bangun sebuah pembendung yang bisa dibuka dan ditutup. Mereka dapat menyimpan air yang banyak di belakang bendungan itu dan mereka dapat mengendalikannya sesuai keperluan mereka. Dan dengan bendungan ini mereka mendapat persediaan air yang amat besar yang terkenal dengan nama Bendungan Saba’.

Kebun-kebun yang terletak di kanan dan kiri negeri itu melambangkan negeri yang subur, makmur, sejahtera dan penuh kenikmatan. Karena itu kebun-kebun itu merupakan bukti yang mengingatkan mereka kepada Allah Pemberi Yang Maha Pemurah. Kaum Saba’ telah disuruh menikmati rezeki-rezeki yang dikaruniakan Allah itu dengan bersyukur:

“Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS Saba’ [34]: 15)

Mereka diperingatkan dengan nikmat negeri mereka yang makmur terutama nikmat ampunan Allah yang memaafkan kelalaian mereka dari bersyukur, serta kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan.

“(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”

Negeri mereka adalah sebuah negeri yang mendapat nikmat kemakmuran di bumi dan mendapat keampunan di langit. Oleh karena itu, apa yang menghalang mereka dari memuji dan bersyukur kepada Allah? Tetapi mereka tidak bersyukur dan tidak pula mengingati Allah:

“Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.”

Ketika Bani Israil Minta Dibuatkan Berhala

“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu. Setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, Bani Israil berkata, ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).’ Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.Musa menjawab, ‘Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu selain Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat.’ Dan (ingatlah hai Bani Israil), ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Firaun) dan kaumnya, yang mengazab kamu dengan azab yang sangat jahat, yaitu mereka membunuh anak-anak lelakimu dan membiarkan hidup wanita-wanitamu.Dan pada yang demikian itu cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (QS. Al-A’raaf: 138-141)

Inilah di antara pemandangan tentang Bani Israil setelah diselamatkan menyeberangi laut. Di sini, kita berhadapan langsung dengan tabiat kaum yang menyimpang dan sulit diluruskan, karena di dalam jiwanya masih terdapat endapan sejarah masa lalu.

Sebenarnya, jaraknya belum terlalu lama sejak mereka ditimpa siksaan di bawah bayang-bayang keberhalaan di sisi Fir’aun dan para pembesar negerinya. Juga sejak mereka diselamatkan oleh nabi dan pemimpin mereka, Musa a.s., atas nama Allah Yang Maha Esa, Tuhan semesta alam, yang telah membinasakan musuh mereka, membelah laut bagi mereka, dan menyelamatkan mereka dari siksaan yang kejam dan mengerikan yang ditimpakan Fir’aun kepada mereka.

Baru beberapa saat mereka keluar dari negeri Mesir dan keberhalaannya, baru saja mereka menyeberangi laut, mata mereka melihat kaum penyembah berhala yang sedang melakukan penyembahan terhadap berhala.

Tiba-tiba, mereka meminta kepada Musa, Rasul Tuhan semesta alam, yang telah membawa mereka keluar dari Mesir atas nama Islam dan Tauhid, mereka meminta Musa agar dibuatkan berhala untuk mereka sembah.

“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu. Setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, Bani Israil berkata, ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).”

Inilah penyakit yang menimpa ruh sebagaimana penyakit yang menimpa fisik. Namun, tidaklah suatu penyakit menimpa ruh atau fisik melainkan sudah ada persiapan untuk menangkalnya. Tapi watak Bani Israil, sebagaimana yang dipaparkan Alquran dengan paparan yang tepat, cermat, dan terpercaya dalam berbagai kesempatan, adalah watak yang tidak memiliki kemantapan, berjiwa lemah, hampir tidak pernah mau menerima petunjuk sehingga tersesat lebih dahulu, tidak mau menaiki derajat yang tinggi sebelum terjatuh, dan tidak mau menempuh jalan yang lurus sebelum terjerembab dan terjungkal.

Ditambah lagi, hati mereka kasar, keras kepala, dan tidak mudah menerima kebenaran, keras perasaan dan intuisinya. Inilah mereka dengan tabiatnya itu.Inilah mereka yang tidak melewati suatu kaum yang menyembah berhala, melainkan mereka melupakan ajaran yang telah disampaikan lebih dari dua puluh tahun silamsejak nabi Musa a.s. datang kepada mereka dengan membawa ajaran tauhid.

Beberapa riwayat mengatakan bahwa telah berlalu masa dua puluh tiga tahun sejak Musa menghadapi Fir’aun dan pembesar-pembesar negerinya dengan risalahnya hingga ia keluar dari Mesir denganmembawa Bani Israil menyeberangi laut.

Bahkan, mereka melupakan mukjizat saat diselamatkan dari Fir’aun dan kaumnya dan dibinasakannya mereka semuanya. Merekaitu adalah penyembah berhala,dan atas namaberhala inilah mereka merendahkan Bani Israil hingga pembesar-pembesar kaum Fir’aun bangkit membelanya untuk menghadapi Musa dan kaumnya dengan mengatakan,

“…Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu…?” (QS. Al-A’raf: 127)

Mereka melupakan semua ini, lantas mereka meminta kepada nabi mereka agar membuatkan sendiri berhala untuk mereka membuat berhala untuk mereka. Kalau mereka sendiri yang membuatkan berhala, barangkali tidak begitu aneh. Tetapi, mereka meminta kepada Rasul Tuhan semesta alam untuk membuat berhala sebagai tuhan sembahan mereka. Yah, Bani Israil adalah Bani Israil!

Nabi Musa a.s. marah. Marahnya seorang Rasul semata-mata karena Allah. Marah karena Tuhannya yang Mahasuci, dan dia cemburu kalau Tuhannya dipersekutukan oleh kaumnya! Maka,diamelontarkan perkataan yang sangat cocok untuk menampik permintaan yang aneh itu.

“Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).” (QS. Al-A’raf: 138)

Musa tidak menjelaskan bodoh tentang apa? Disebutkannya kata jahl secara mutlak ini untuk menunjukkan nuansa kejahilan yang sempurna dan kompleks. Jahl dalam arti tidak mengerti atau tidak mengetahui, dan jahl dalam arti dungu, tidak apat berpikir normal.

Maka, tidak ada yang mendorong mereka untuk mengucapkan perkataan atau permintaan seperti itu melainkan karena ketidakmengertian dan ketololannya yang demikian jauh. Dan selanjutnya, mengisyaratkan bahwa berpaling dari tauhid kepada syirik itu hanya terjadi karena kebodohan dan kedunguan. Ilmu dan berpikir itu mendorong manusia untuk beriman kepada Allah swt, dan tidak ada ilmu dan akal yang menuntut manusia ke jalan lain.

Ilmu dan akal selalu berhadapan dengan alam ini dengan undang-undangnya yang menjadi saksi adanya Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur dan menjadi saksi atas keesaan Maha Pencipta dan Maha Pengatur ini. Maka, unsur kekuasaan dan pengaturan tampak jelas dalam undang-undang alam ini.

Tabiat keesaan itu juga terlihat jelas padanya dan pada bekas-bekasnya yang dapat disingkap dengan memperhatikan dan merenungkannya sesuai dengan metode yang benar. Tidak ada yang melalaikannya secara total atau berpaling darinya secaratotal kecuali orang-orang dungu dan jahil, meskipun mereka mengaku ilmuwan, sebagaimana dilakukan banyak orang.

Musa a.s. masih menerangkan kepada kaumnya akan buruknya akibat permintaan mereka itu, dengan menjelaskan akibat buruk yang bakal menimpa kaum yang melihat-lihat sedang menyembah berhala-berhala itu yang hendak mereka ikuti.

“Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akal batal apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 139)

Sesungguhnya kepercayaan syirik, menyembah berhala, hidup atas dasar kemusyrikan dan banyak tuhan, tokoh-tokoh dan pendeta-pendeta yang ada di belakang berhala-berhala itu, dan para penguasa yang mendasarkan kekuasaannya pada kesemrawutan ini, dan lain-lain penyimpangan, semua itu batil dan akan hancur.

Kemudian rasa cemburu itu semakin meningkat dalam perkataan-perkataan Musa a.s. karena Tuhannya dan marah karenaNya, sertamerasa heran terhadap kaumnya yang melupakan nikmat Allah kepada mereka, padahal nikmat itu begitu jelas di hadapan mata.

“Musa menjawab, ‘Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat.” (QS. Al-A’raf: 140)

Dilebihkannya mereka atas umat-umat lain pada masa itu tampak jelas dengan dipilihkannya untuk mereka risalah tauhid sementara orang-orang lain semua musyrik. Di balik itu, tidak ada keutamaan dan karunia yang melebihinya, dan ini tidak dapat ditandingi oleh keutamaan dan karunia mana pun.

Di antara kelebihan itu lagi ialah Allah telah memilih mereka untuk mewarisi tanah suci (Baitul Muqaddas) yang waktu itu berada di tangan orang-orang musyrik. Maka, bagaimana bisa terjadi setelah itu mereka meminta kepada nabi mereka untuk dibuatkan tuhan selain Allah, padahal mereka hidup dalam nikmat dan karuniaNya?
Powered By Blogger

Entri Populer