Cerita Saya

Foto saya
Selalu belajar dan mencari ilmu yang berguna/bermanfaat untuk pribadi dan masyarakat.

Senin, 28 Maret 2011

Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal

Judul diatas adalah judul yang sama untuk buku yang, pada awalnya, saya tulis untuk meraih gelarMagister dari Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar Kairo pada Desember tahun 2007 silam.

Syukur Alhamdulillah, buku tersebut menjadi salah satu nominator terbaik dalam IBF Award tahun 2011 ini yang diberikan bersamaan dengan penyelenggaraan IBF ke-10 dengan tema besar, “Khazanah Islam untuk Peradaban Bangsa”.

Fokus utama buku itu adalah mengkritisi metode hermeneutika yang digadang-gadang
kelompok liberal sebagai metode paling pas dalam memahami Al-Qur’an saat ini. Mengapa dan ada apa dengan 'Hermeneutika'? Setelah ditelusuri, ternyata filsafat pemahaman teks ala Barat inilah yang menjadi "alat buldoser" paling efektif yang berada di belakang upaya sekularisasi dan liberalisasi pemahaman Al-Qur’an yang terjadi secara massif.

Di tangan para pengasong sekularisme dan liberalisme, metode hermeneutika untuk mengkaji Al-Qur'an ini ingin menggusur dan mengkooptasi ajaran-ajaran Islam yang baku dan permanen (tsawabit), agar compatible dengan pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai modernitas Barat sekuler yang ingin disemaikan ke tengah-tengah umat Islam.

Tema ini telah menarik perhatian penulis semenjak digelindingkannya suatu upaya
sistematis untuk meliberalkan kurikulum 'Islamic Studies' di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Semenjak langkah strategis itu diluncurkan di era kepemimpinan Munawir Syadzali di Departemen Agama dan Harun Nasution di IAIN Jakarta tahun 1980-an, sederet nama para penganjur dan pengaplikasi hermeneutika untuk studi Islam tiba-tiba menjadi super stars dalam kajian Islam di Perguruan Tinggi Islam Indonesia.

Sebut saja misalnya: Hassan Hanafi (hermeneutika-fenomenologi), Nasr Hamid Abu Zayd (hermeneutika sastra kritis), Mohammad Arkoun (hermeneutika-antropologi nalar Islam), Fazlur Rahman (hermeneutika double movement), Fatima Mernissi-Riffat Hassan-Amina A. Wadud (hermeneutika gender), Muhammad Syahrur (hermeneutika linguistik fiqih perempuan), dan lain-lain yang cukup sukses membius mahasiswa dan para dosen di
lingkungan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia baik negeri maupun swasta, hingga kini.

Bahkan beberapa tahun silam dengan munculnya Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam oleh Tim Pengarusutamaan Gender Depag RI, yang merombak dan melucuti
banyak hal aspek-aspek yang qath'i dalam sistem hukum Islam, meski telah ditolak dan digagalkan, telah mengindikasikan suatu upaya serius untuk menjadikan produk tafsir hukum ala hermeneutika ini sebagai produk hukum Islam positif yang mengikat seluruh umat Islam di tanah air.

Itulah salah satu dampak terburuk dari tafsir model hermeneutika ini yang berkaitan dengan hajat hidup umat Islam Indonesia dalam soal pernikahan, perceraian, pembagian harta waris, dan lain-lain.

Hermeneutika itu apaan sih? Mungkin banyak umat yang belum faham maksudnya sehingga tidak ‘melek’ akan bahayanya jika diterapkan untuk Al-Qur’an. Membaca dan memahami kitab suci dengan cara menundukkannya dalam ruang SEJARAH, BAHASA dan BUDAYA yang terbatas, adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat sekuler yang tidak sejalan dengan konsep tafsir atau takwil dalam khazanah Islam.

Metode hermeneutik ini secara ‘ijma’ oleh kelompok liberal di Indonesia bahkan di dunia ditahbiskan sebagai metode baku dalam memahami ajaran Islam baik dalam Qur’an maupun Sunnah.

Dalam buku yang ditulis tokoh Paramadina untuk mengenang 40 tahun pidato pembaruan Cak Nur disebutkan, “Islam ingin ditafsirkan dan dihadirkan secara liberal-progresif dengan metode ‘HERMENEUTIK’, yakni metode penafsiran dan interpretasi terhadap teks, konteks dan realitas.

Pilihan terhadap metode ini merupakan pilihan sadar yang secara instrinsik built-in di kalangan Islam Liberal sebagai metode untuk membantu usaha penafsiran dan interpretasi.“ (Budhi Munawar Rachman: Reorientasi Pembaruan Islam, hlm. 388)

Selain itu, penggunaan hermeneutika untuk menafsirkan Qur’an ini berangkat dari
dekonstruksi konsep wahyu yang diistilahkan TANZIL oleh Al-Qur’an (Fusshilat: 42; As-Syu’ara: 192-195). Menurut Prof. M. Naquib Al-Attas, pendiri ISTAC Malaysia, konsep TANZIL itu memiliki 2 kekhasan yang tak dapat dicari tandingannya dalam konsep kitab suci manapun dalam agama lain.

Kedua ciri khas itu adalah, wahyu Islam diperuntukkan untuk umat manusia secara keseluruhan (tanpa membedakan waktu dan tempat) dan hukum-hukum suci yang terkandung dalam wahyu itu tidak memerlukan ‘pengembangan’ lebih lanjut dalam agama itu sendiri. (SMN. Al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993, hlm 31-32).

Bertolak belakang dengan konsep TANZIL itu, kaum liberal malah memuji konsep wahyu dalam pengertian Kristen yg dikemukakan oleh L.S. Thornton sebagai “a made of divine activity by wich the Creator communicates himself to man and, by so doing, evokes man’sresponse and cooperation”. (sebuah aktifitas ketuhanan yang mana Pencipta mengkomunikasikan kehendaknya kepada manusia, yang menyulut dan akhirnya melibatkan respon dan kerjasama manusia dalam proses pewahyuan itu, lihat Montgomery Watt dalam Islamic Revelation in the Modern World, hlm. 6).

Konsep wahyu ala Kristen ini lah yang ingin mereka paksakan untuk memahami ulang
konsep Al-Qur’an (Ulil Absar dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, Jakarta: Gramedia, hlm.57).

Dari konsep wahyu Al-Qur’an yang disamakan dengan Kristen ini, maka kaum liberal mengajukan modifikasi metode tafsir agar sesuai dengan zaman sekarang. “Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat-ayat uqubat, hudud, qishash, waris dsb.

Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan problem-problem kemanusiaan, yang terjadi bisa-bisa merupakan bagian dari masalah yg harus dipecahkan melalui prosedur tanqih” (Metodologi Studi Al-Qur’an, hlm.166-167). Di bagian lain buku itu dengan lugasnya Ulil dkk menyatakan bahwa, “Ayat-ayat semacam itu disebut fiqih (?!) Al-Qur’an.

Sebagai sebuah fiqih, ayat-ayat itu sepenuhnya merupakan respon Al-Qur’an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tersebut bersifat relatif dan tentatif sehingga memerlukan
penyempurnaan, pembaharuan & penyulingan.

Membiarkan fiqih Al-Qur’an sama persis dengan bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan Al-Qur’an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital Al-Qur’an” (Metodologi Studi Al-Qur’an, hlm.167) Dewasa ini, gagasan dan tuntutan untuk melakukan pembacaan sekaligus pemaknaan ulang teks-teks primer agama Islam disuarakan dengan lantang.

Tujuannya adalah agar teks-teks primer Islam, yang telah menjadi pedoman dan panduan lebih dari 1 milyar umat Islam, dapat ditundukkan untuk mengikuti irama nilai-nilai modernitas sekuler yang didiktekan dalam berbagai bidang. Seruan itu disuarakan serempak oleh para pemikir modernis muslim baik di Timur-Tengah maupun di
belahan lain dunia Islam, termasuk Indonesia.

Berbagai seminar, workshop dan penerbitan buku hasil kajian dan penelitian digiatkan secara efektif untuk mengkampanyekan betapa mendesaknya "pembacaan kritis" dan "pemaknaan baru" teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Berbagai produk olahan isu-isu pemikiran yang diimpor dari Barat seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, dan
pengarusutamaan gender telah menjadi menu sajian yang lezat untuk dihidangkan kepada komunitas muslim.

Kita patut curiga dan bertanya: apakah tidak sebaiknya upaya pembacaan dan pemaknaan ulang wacana agama itu diarahkan sebagai pembaruan metode dakwah Islam dan revitalisasi sarana-sarana pendukungnya di era kontemporer ini, sesuai dengan perkembangan zaman?

Kita sangat memerlukan pemikiran segar dan cemerlang untuk mendakwahkan prinsip-prinsip dan pandangan hidup Islam dengan metode yang cocok dengan kemajuan zaman. Jika ini yang terjadi, maka kita dengan senang hati menyambut seruan itu.

Namun jika yang terjadi adalah mengkaji ulang bahkan sampai pada taraf mengubah
prinsip dan pokok-pokok agama dengan dalih keluar dari kungkungan ideologis nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah, membatalkan absolusitas nash Al-Qur'an dengan analisa historisitas teks atau relativisme teks, juga dibagian lain ingin melakukan studi kritik literatur dan sejarah seperti yang dipraktekkan kalangan liberal Yahudi dan Kristen atas Bible sejak 3 abad silam, atau bahkan dengan memunculkan pandangan bahwa nash Al-Qur'an dan Sunnah telah out of date dan hanya menghalangi proses integrasi umat Islam dengan nilai-nilai globalisasi kontemporer.

Jika benar ini yang terjadi di lapangan pemikiran, maka logika semacam ini ditolak mentah-mentah, baik keseluruhan maupun rinciannya.Terdapat sekian banyak bahaya tersembunyi di balik seruan di atas. Yang penting di antaranya berujung kepada pelumeran dan peluruhan inti dan pokok dinul Islam serta melarikan diri dari kewajiban-kewajibannya.

Padahal salah satu tujuan Islam yang mulia adalah terbentuknya umat yang kokoh kuat dalam setiap segi kehidupannya, terutama dalam bidang pandangan hidup yang pasti, barometer akidah, syariah, dan akhlaq yang jelas dan tidak tergerus oleh perubahan zaman yang silih berganti.

Beberapa faktor diatas itulah yang telah mendorong penulis untuk mengkaji dasar dasarnya, menelusuri akar sejarah hermeneutika hingga diterapkan untuk mengganti metodologi tafsir dan takwil Al-Qur'an yang khas dalam tradisi keilmuan Islam. Selain tentu saja menilisik isu-isu paling mendasar dan krusial secara analitis-kritis di dalam buku ini.

Penulis juga memandang suatu agenda yang mendesak di kalangan cendekiawan muslim, agar mengkaji secara kritis asal-usul dan perkembangan metodologi pemahaman terhadap sumber-sumber agama Islam yang kini dipaksakan oleh Barat untuk suatu proyek hegemoni dan kolonialisme pemikiran di dunia Islam.

Imbasnya tentu saja akan merasuki pendidikan tinggi Islam, sebagai center of exellence, yang diproyeksikan untuk melahirkan sarjana-sarjana agama Islam, namun minus kebanggaan dan penguasaan terhadap perbendaharaan intelektual yang telah mengakar sepanjang kurun perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban.

Memang di lingkungan Universitas al-Azhar Mesir, sebagai kiblat ilmu-ilmu keislaman di dunia, tradisi tahkik (studi editing-filologi naskah klasik) dan penelitian tentang studi kritik tafsir Al-Qur'an (ad-Dakhil fi al-Tafsir) -terutama naskah-naskah tafsir klasik yang tak jarang terdapat dampak Israiliyyat dan pendapat-pendapat aneh yang menyalahi kode etik ilmiah, kebahasaan, maupun riwayat hadis dla'if dan palsu-, telah tumbuh subur dan
mengesankan.

Namun penelitian tentang tantangan-tantangan keilmuan Barat kontemporer terhadap khazanah tafsir Al-Qur'an dan juga metodologi studi Al-Qur'an yang kini gencar diupayakan berorientasi sekuler-liberal, belum banyak yang melakukannya. Harapan penulis, buku ini dapat memenuhi hasrat keilmuan tersebut dan mampu menjadi karya pionir untuk menjawab tantangan paradigma sekuler-liberal dalam kajian-kajian Al-Qur'an.

Untuk tujuan penelitian secara sistematis dan tepat guna, maka penulis menyusun langkah pembahasan thesis ini dalam kerangka sebagai berikut:

I. MUKADDIMAH.
II. PASAL 1: STUDI KOMPARATIF KONSEP TAKWIL DAN
HERMENEUTIKA.Mencakup 3 pembahasan:

Konsep Takwil dalam Istilah Peradaban Islam
Konsep Hermeneutika dalam Istilah Peradaban Barat
Sejarah Pertumbuhan Tafsir dan Perkembangannya dalam Islam; telaah masuknya metode Barat dalam kajian tafsir Al-Qur'an.
III. PASAL 2: HERMENEUTIKA SEBAGAI ALAT PENAFSIRAN TEKS.Mencakup 3
pembahasan:

Historiografi hermeneutika; latar sejarah, perkembangan dan aliran-alirannya.
Metode hermeneutika dan kritik Biblikal.
Upaya penerapan hermeneutika dalam lapangan Qur'anic Studies. Menyoroti peran orientalis Barat, para penulis prolifik modernis di dunia Islam, dan keterpengaruhan tulisan kaum modernis oleh pola pandang orientalisme.
IV. PASAL 3: TELAAH KRITIS – ANALITIS TERHADAP ISU-ISU UTAMA
PENDEKATAN HERMENEUTIKA TERHADAP AL-QUR'AN AL-KARIM.Mencakup 3 pembahasan:

Isu historisitas teks Al-Qur'an; menelaah pandangan dan lontaran ide para hermeneut seperti: Husain Muruwwah (klaim historisitas Al-Qur'an dan dampaknya terhadap konsep i'jaz Al-Qur'an), Muhammad Arkoun (dampaknya terhadap sejarah kodifikasi Al-Qur'an) dan Nasr Hamid Abu Zayd (dampaknya terhadap pentakwilan beberapa konsep Al-Qur'an).
Isu kritik literatur dan historis untuk teks Al-Qur'an; menelaah pandangan dan lontaran ide para hermeneut seperti: Amin al-Khuly dan M.A.Khalfallah (dampaknya terhadap penafsiran kisah Al-Qur'an), Muhammad Arkoun (antropologi wahyu dan dampaknya terhadap kisah Al-Qur'an), Nasr Hamid Abu Zayd (dampak penerapan semiotika atas konsep Al-Qur'an).
Isu kritik dialektis-materialis antara teks Al-Qur'an dengan realitas manusia; menelaah dan mengkritisi klaim superioritas realita manusia atas nash Al-Qur'an (dampaknya terhadap konsep Asbab Nuzul dan kaidah al-'Ibrah bi 'Umumi al-Lafzh), menepis asumsi Nasr Hamid tentang orisinalitas realita manusia di hadapan nash Al-Qur'an, dan dampak isu ini kepada upaya merubah hukum-hukum qath'iy di dalam Al-Qur'an dengan asumsi pergerakan realitas manusia yang terus berubah.
V. PENUTUP;yang berisi telaah singkat kesia-siaan dan kegagalan
metodologi humaniora kontemporer untuk tujuan pembacaan dan pemaknaan ulang
Al-Qur'an Al-Karim.

Penulis berhasil mengidentifikasi beberapa visi dan landasan berfikir yang mendasari fenomena pembacaan hermeneutis atas kitab suci Al-Qur'an. Prioritas tujuan dari riset ini adalah munculnya fakta pengaruh ideologi para penganjur hermeneutika untuk Al-Qur'an di balik gerakan sistematis ini. Sehingga, hemat penulis, persoalan ini tidak lah relevan bila dikaitkan dengan urusan metodologi yang digunakan mereka. Karena letak persoalan serius justru karena ideologi sekulerisme yang diinfiltrasikan ke dalam Islam dan alam pandangan hidup umat Islam, dengan satu tujuan besar yaitu pengosongan Islam dari ajaran-ajarannya yang luhur dan melumpuhkannya agar tidak berlaku efektif dalam kehidupan umat.

Kesadaran palsu para penganjur sekularisasi teks Al-Qur'an dan ilmu-ilmu Al-Qur'an telah mendorong mereka untuk menyederhanakan persoalan seakan hal ini berkaitan erat dengan problematika metodologi yang digunakan untuk menganalisis Al-Qur'an. Padahal target mereka tak lain adalah untuk mengimpor 'sisa-sisa limbah' metodologi yang telah menyesaki ilmu humaniora peradaban Barat, yang mana hal itu belum tentu cocok dengan prinsip-prinsip Islam dan rincian-rincian ajarannya. Limbah metodologi Barat itu diproyeksikan untuk menyerang dan melumpuhkan Islam yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.

Tujuan riset yang telah kami tulis terkait dengan tema ini di dalam 3 pasal secara berurutan adalah sebagai berikut:
1) Riset ini telah menjelaskan betapa jauhnya berbagai pendekatan metode yang diimpor dari Barat itu dengan spirit nilai-nilai Al-Qur'an, karena berbenturan keras dengan hal-hal aksioma di dalam Islam.
2) Riset ini berhasil menunjukkan ketidakmampuan metode-metode humaniora Barat untuk sampai kepada hasil apa pun. Karena memang metode humaniora tersebut lahir sesuai dengan setting pemikiran Barat dan untuk melayani kepentingan analisis karya-karya sastra yang ditulis oleh manusia, bukannya untuk menafsiri risalah Allah swt.

Dan masih tersisa lagi satu persoalan dasar bahwa ilmu-ilmu humaniora tersebut tidak pernah berhasil untuk menjadi hakim dan kata putus dalam studi-studi Al-Qur'an. Alasannya sederhana, bahwa secara logis amat mustahil sesuatu yang relatif dapat mengatur dan menentukan nilai yang absolut. Fakta keilmuan inilah yang selalu diperhatikan oleh para pakar ilmu syariah dalam seluruh rentang sejarah peradaban Islam.

Ilmu-ilmu humaniora Barat tidak dapat menjadi wasit bagi nash Al-Qur'an. Logikanya adalah mustahil menengahi Al-Qur'an dengan teori-teori yang sangat spekulatif dan relatif. Ilmu-ilmu humaniora Barat dibangun untuk memenuhi tujuan tertentu jadi sudah tidak objektif lagi, seperti diungkap oleh Jabir al-Haditsi dalam artikelnya yang berjudul "Azmat al-'Ulum al-Insaniyyah" (Krisis Ilmu Humaniora) di dalam jurnal al-Fikr al'Arabi edisi 37. Objektifitas ilmiah yang diklaim ada dalam kajian humaniora Barat adalah "hipokrasi" intelektual yang mesti diungkap sebagai skandal. Krisis internal dalam kajian humaniora ini sebenarnya berdimensi ideologis, sehingga tidak pernah melahirkan kesepakatan di
antara golongan intelektual Barat yang bergelut di dalamnya.

Selain itu aspek teknis dari krisis internal itu tercermin dalam tidak adanya teori tafsir yang utuh dan komprehensif dalam ilmu humaniora Barat, seperti diungkap oleh Michele Foucoult. Hal ini bisa dibuktikan bahwa teori interpretasi sejak Marx, Freud, Nitsche adalah tidak berkesudahan. Sebab bagi mereka bahaya paling besar adalah kepercayaan terhadap suatu tanda-tanda yang memiliki wujud asli dan bersifat final. Guna menetapkan teori interpretasi, berbagai pendekatan dilakukan, tetapi suatu hal yang pasti bahwa setiap takwil dipaksa untuk mentakwilkan (reinterpretasi) dirinya sendiri. Tidak ada lagi kerangka acuan bagi proses interpretasi. Michele Foucault mengakui hal itu dengan mengatakan hampir mustahil membuat ensiklopedi bagi seluruh tehnik interpretasi dalam ilmu humaniora Barat, bahkan sangat sedikit sekali yang ditulis untuk tujuan ini.

Dari ulasan di atas, terbukti bahwa fenomena pembacaan hermeneutik atas Al-Qur'an yang didasari oleh perkembangan ilmu humaniora Barat tak lain untuk meliberalkan tafsir Al-Qur'an dari kaidah-kaidah metodologis yang pasti. Dalam konteks inilah, maka mereka dimungkinkan untuk bisa melontarkan apa saja tanpa ada rasa malu untuk mempertanyakan legitimasi dan akar justifikasi pemikiran-pemikiran mereka. Jika demikian, tak ada gunanya bagi kita untuk menerima metode pembacaan teks yang sekuler untuk diterapkan bagi nash Al-Qur'an. Bahkan, sudah seharusnya kita membendung dan memerangi program liberalisasi dan sekularisasi studi Al-Qur'an karena jelas-jelas akan membahayakan visi misi Al-Qur'an seperti yang ditanzilkan oleh Allah swt.
Wallahu A’lam bis-Shawab


Oleh Fahmi Salim, MA

(Peneliti INSIST dan Direktur LemKIA UIA Jakarta)

IBLIS Menyesatkan Manusia Dengan Wanita

Oleh Hartono Ahmad Jaiz

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

{ سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ : بِسْمِ اللَّهِ }( ابن ماجه )

Dinding penutup antara mata jin dan aurat manusia ketika seseorang masuk jamban adalah kalau ia mengucapkan Bismillaah. (HR Ibnu Majah dalam Kitab Thoharoh / 242)

Iblis dan bala tentaranya adalah sosok-sosok yang jiwanya kotor terus-menerus. Mereka selalu mengintip aurat dan kejelekan. Iblis telah mencopot pakaian Adam ’alaihis salam dan isterinya sedangkan keduanya itu di surga. Lalu di dunia ini Iblis, wadya balanya, dan partainya membelejeti pakaian taqwa dari jiwa manusia, dan mencopoti pakaian penutup aurat dari badan. Sehingga keadaan telanjang menjadi pemandangan nyata yang dianggap biasa, sedang menampakkan aurat sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan manusia tanpa ada halangannya.

Tetapi kalau memang kita tetap teguh mengikuti syari’at Islam, maka tidak akan terjadi yang demikian itu. Iblis tak mampu, sampai di tempat-tempat yang kita harus buka aurat pun, iblis tak mampu melihatnya, (karena ada do’a seperti tersebut di atas). Maka segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dzikir dan keutamaan berserah diri kepada-Nya itu sebagai pencegah bagi mata barisan iblis dan partainya. ( Lihat Hasan Ahmad Qothomisy, Al-Muwajahah As-Shiro’ ma’as Syaithon wa Hizbihi, Daru Thibah Ar-Riyadh 1415H/ 1995, cet I, hal 147)

Wanita

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ

Sesungguhnya wanita itu menghadap ke muka dalam bentuk syetan, dan ke belakang dalam bentuk syetan (pula). (HR Muslim Juz 10 Kitab Nikah, hal 177).

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً لَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا حَرْبُ بْنُ أَبِي الْعَالِيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً فَذَكَرَ بِمِثْلِهِ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً وَلَمْ يَذْكُرْ تُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ. (مسلم)

Riwayat dari Jabir bahwa Rasulullah saw melihat seorang perempuan maka beliau datang ke isterinya, Zainab yang sedang menggosok kulit (binatang) miliknya yang mau disamak, lalu beliau menunaikan hajatnya (berhubungan dengan isteri itu), kemudian beliau keluar ke sahabat-sahabatnya, lalu bersabda: Sesungguhnya wanita itu menghadap ke muka dalam bentuk syetan, dan (menghadap) ke belakang dalam bentuk syetan (pula). Maka apabila salah satu di antara kalian melihat seorang perempuan, hendaklah ia datang ke isterinya, karena hal itu membalikkan apa yang ada pada dirinya (yakni gejolak syahwat). Dalam riwayat lain, bahwa Nabi saw melihat seorang perempuan, lalu periwayat menyebutkan seperti tadi, hanya saja dia berkata, maka beliau datang ke isterinya, Zainab, dan dia sedang menggosok kulit yang mau disamak, dan periwayat tak menyebut menghadap ke belakang dalam bentuk syetan. (HR Muslim)

Mujahid rahimahullah berkata: Ketika perempuan menghadap ke depan (datang), maka syetan duduk di atas kepalanya lalu menghiasinya untuk orang yang melihatnya, dan ketika perempuan itu menghadap ke belakang (pergi), syetan duduk di atas bagian belakangnya lalu ia memperindahnya untuk orang yang melihatnya.(Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkaamil Quran, juz 12/ 227)

تفسير القرطبي ج: 12 ص: 227
وقال مجاهد إذا أقبلت المرأة جلس الشيطان على رأسها فزينها لمن ينظر فإذا أدبرت جلس على عجزها فزينها لمن ينظر وعن خالد بن أبي عمران قال لاتتبعن النظرة النظرة فربما نظر العبد نظرة نغل منها قلبه كما ينغل الأديم فلا ينتفع به فأمر الله سبحانه وتعالى المؤمنين والمؤمنات بغض الأبصار عما لايحل فلا يحل للرجل أن ينظر إلى المرأة ولا المرأة إلى الرجل فإن علاقتها به كعلاقته بها وقصدها منه كقدصده منها وفي صحيح مسلم عن أبي هريرة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إن الله كتب على ابن آدم حظه من الزنى أدرك ذلك لامحالة فالعينان تزنيان وزناهما النظر

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memperingatkan:

{ إنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ , وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ , فَاتَّقُوا الدُّنْيَا , وَاتَّقُوا النِّسَاءَ , فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ }

Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau. Dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu sekalian khalifah di dunia, lalu Allah mengawasi bagaimana kamu berbuat. Maka jagalah dirimu tentang dunia dan jagalah dirimu tentang wanita. Maka sesungguhnya bencana/fitnah Bani Israil adalah dalam hal wanita. (HR Muslim Juz 17 Kitab Riqoq hal 55).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Kitab Shahihain:

وَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رضي الله عنهما عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : { مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ }

Aku tidak meninggalkan fitnah/bencana yang lebih berbahaya atas kaum lelaki (selain bahaya fitnah) dari perempuan. (Al-Fath juz 9 , Hadits 5096, dan Muslim juz 18 hal 54)

Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah berkata, Jika syetan putus asa mengenai sesuatu maka ia kemudian pasti mendatangi sesuatu itu dari arah perempuan. Sa’id pun berkata lagi, Tidak ada sesuatu yang lebih aku takuti di sisiku kecuali perempuan. (Siyaru ‘a’laamin Nubalaa’ Juz 4 / 237)

Kalau syetan putus asa dalam hal tertentu, maka dia akan melancarkan godaan itu dari arah perempuan. Apa yang dikatakan Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah tersebut dalam kenyataan kini tampak nyata. Sudah menjadi rahasia umum, ada proyek-proyek yang dilancarkan pengurusannya pakai umpan wanita. Itulah praktek syetan. Maka Sa’id yang di zaman sahabat tidak ada kebiasaan model syetan seperti sekarang pun, dia paling takut terhadap wanita.

Dan hadits tentang wanita kadang panjang, itu tidak lain karena wanita itu adalah pengikut syetan terkutuk yang paling banyak. Wanita pengikut syetan itu adalah tali-tali dan perantara untuk para pengikut syetan. Bagaimana tidak, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan bahwa wanita itu penghuni neraka yang paling banyak, dan mereka tidak masuk neraka kecuali karena mengikuti iblis dan tentara-tentaranya. Dan tidaklah manusia mengikuti iblis kecuali karena iblis telah menguasai mereka. Dan iblis tidak menguasai kecuali dengan banyaknya maksiat dan dosa. Sedang kekuasaan iblis dan partainya itu dengan cara menganggap indah dan bagus dosa-dosa dan maksiat.

Dalam Hadits disebutkan:

إنَّمَا الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ ,

Wanita itu adalah aurat, maka apabila ia keluar, diincar oleh syetan. (Hadits Shahih Sunan Tirmidzi no 936, dan Thabrani di Al-Kabier juz 3/ 64, dan lihat Al-Irwaa’ no 273)

Perempuan sebagai salah satu sarana iblis untuk merusak

Iblis menyodorkan fitnah pada wanita guna menyesatkan dan merusak. Al-Qur’an telah mengisahkan contoh-contoh adanya bencana-bencana/fitnah lewat wanita. Di antara kisah-kisahnya adalah:

1. Godaan Syetan untuk Kaum Tsamud lewat wanita

Ibnu Jarir dan lain-lain dari ulama salaf (generasi Sahabat, Tabi’ien, dan Tabi’ut Tabi’ien) menyebutkan bahwa dua wanita dari kaum Tsamud, salah satunya Shoduq putri Al-Mahya bin Zuhair bin Al-Mukhtar, dia adalah bangsawan dan kaya. Sedang ia di bawah suami yang telah masuk Islam, lalu wanita ini menceraikan suaminya itu. Lalu wanita ini mengundang anak pamannya yang disebut Mashro’ bin Mahraj bin Al-Mahya, dan wanita ini menyodorkan dirinya pada lelaki anak pamannya itu bila ia berani membunuh onta (Nabi Shalih ’alaihis salam).

Wanita lainnya adalah `Unaizah binti Ghanim bin Majlaz dijuluki Ummu ‘Utsman. Dia ini tua dan kafir, punya anak 4 wanita dari suaminya, Dzu’ab bin Amru, salah satu kepala kaum. Lalu si perempuan tua ini menyodorkan ke-4 putrinya kepada Qadar ibn Salif bila ia berani membunuh onta, maka ia akan kebagian putrinya mana saja yang ia ingini. Lalu dua pemuda (Mashro’ dan Qadar) bersegera untuk membunuh onta itu, dan berusaha mencari teman di dalam kaumnya. Maka 7 orang lainnya merespon ajakannya itu, jadi jumlahnya 9 orang. Mereka inilah yang disebutkan dalam firman Allah subhanahu wata’ala:

وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ(48)

Dan adalah di kota itu, sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan. (QS. An-Naml[27] :48)

Dan mereka berusaha pada seluruh kabilah itu dan mempropagandakan untuk membunuh onta, lalu mereka menyambutnya dan sepakat untuk membunuh onta itu. Lalu mereka berangkat mengintai onta. Ketika onta itu muncul dari kawanan yang mendatangi air, lalu Mashro’ bersembunyi untuk menyergapnya, lantas melemparkan panah padanya dan menancaplah di tulang kaki onta. Dan datanglah wanita-wanita membujuk kabilah itu untuk membunuh onta, sedang wanita-wanita itu membuka wajah-wajahnya (dari kerudungnya) untuk menyemangati kabilahnya. Lalu Qadar bin Salif mendahului mereka mengeraskan (hantaman) pedangnya atas onta itu maka putuslah urat di atas tumitnya, lalu jatuh tersungkurlah onta itu ke bumi.(Tafsir At-Thabari juz 8 / 227-228, Al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir juz 1/ 127, Al-Kamil fit Taariekh Ibnul Atsier juz 1/ 51-52).

تفسير الطبري ج: 8 ص: 227
وكانت امرأة من ثمود يقال لها عنيزة بنت غنم بن مجلز تكنى بأم غنم وهي من بني عبيد بن المهل أخي دميل بن المهل وكانت امرأة ذؤاب بن عمرو وكانت عجوزا مسنة وكانت ذات بنات حسان وكانت ذات مال من إبل وبقر وغنم وامرأة أخرى يقال لها صدوف بنت المحيا بن زهير بن المحيا سيد بني عبيد وصاحب أوثانهم في الزمن الأول وكان الوادي يقال له وادي المحيا وهو جد المحيا الأصغر أبي صدوف وكانت صدوف من أحسن الناس وكانت غنية ذات مال من إبل وغنم وبقر وكانتا من أشد امرأتين في ثمود عداوة لصالح وأعظمهم به كفرا وكانتا تحبان أن تعقر الناقة مع كفرهما به لما أضرت به من مواشيهما وكانت صدوف ثم ابن خال لها يقال له صنتم بن هراوة بن سعد بن الغطريف من بني هليل الراوي فحسن إسلامه وكانت صدوف قد فوضت إليه مالها فأنفقه على من أسلم معه من أصحاب صالح حتى رق المال فاطلعت على ذلك من إسلامه صدوف فعاتبته على ذلك فأظهر لها دينه ودعاها إلى الله وإلى الإسلام فأبت عليه وسبت ولده فأخذت بنيه وبناته منه فغيبتهم في بني الذي هي منه وكان صنتم زوجها من بني هليل وكان ابن خالها فقال لها ردي علي ولدي فقالت حتى أنافرك إلى بني صنعان بن عبيد أو إلى بني جندع بن عبيد فقال لها صنتم بل أنا أقول إلى بني مرداس بن عبيد وذلك أن بني مرداس بن عبيد كانوا قد سارعوا في الإسلام وأبطأ عنه الآخرون فقالت لا أنافرك إلا إلى من دعوتك إليه فقال بنو مرداس والله لتعطينه ولده طائعة أو كارهة فلما رأت ذلك أعطته إياهم ثم إن صدوف وعنيزة تحيلا في عقر الناقة للشقاء الذي نزل فدعت صدوف رجلا من ثمود يقال له الحباب لعقره الناقة وعرضت عليه نفسها بذلك إن هو فعل فأبى عليها فدعت ابن عم لها يقال
تفسير الطبري ج: 8 ص: 228
مصدع بن مهرج بن المحيا وجعلت له نفسها على أن يعقر الناقة وكانت من أحسن الناس وكانت غنية كثيرة المال فأجابها إلى ذلك ودعت عنيزة بنت غنم قدار بن سالف بن جندع رجلا من أهل قرح وكان قدار رجلا أحمر أزرق قصيرا يزعمون أنه كان لزنية من رجل يقال له صهياد ولم يكن لأبيه سالف الذي يدعى إليه ولكنه قد ولد على فراش سالف وكان يدعى له وينسب إليه فقالت أعطيك أي بناتي شئت على أن تعقر الناقة وكانت عنيزة شريفة من نساء ثمود وكان زوجها ذؤاب بن عمرو من أشراف رجال ثمود وكان قدار عزيزا منيعا في قومه فانطلق قدار بن سالف ومصدع بن مهرج فاستنفرا غواة من ثمود فاتبعهما سبعة نفر فكانوا تسعة نفر أحد النفر الذين اتبعوهما رجل يقال له هويل بن ميلغ خال قدار بن سالف أخو أمه لأبيها وأمها وكان عزيزا من أهل حجر ودعير بن غنم بن داعر وهو من بني حلاوة بن المهل ودأب بن مهرج أخو مصدع بن مهرج وخمسة لم تحفظ لنا أسماؤهم فرصدوا الناقة حين صدرت عن الماء وقد كمن لها قدار في أصل صخرة على طريقها وكمن لها مصدع في أصل أخرى فمرت على مصدع فرماها بسهم فانتظم به عضلة ساقها وخرجت أم غنم عنيزة وأمرت ابنتها وكانت من أحسن الناس وجها فأسفرت عنه لقدار وأرته إياه ثم ذمرته فشد على الناقة بالسيف فكشف عرقوبها فخرت ورغت رغاة واحدة تحذر سقبها ثم طعن في لبتها فنحرها

Wanita yang menyemangati Mashro’ adalah isteri pemimpin, sedang yang menyemangati Qadar adalah isteri pejabat juga. Adapun Qadar bin Salif sendiri termasuk pemimpin, jadi mereka itu orang elit semua.

Perempuan pertama telah menyodorkan dirinya kepada Mashro’, sedang perempuan kedua menyodorkan puteri-puterinya kepada Qadar. Dan perempuan-perempuan kabilah itu telah keluar dengan membujuk orang-orang agar membunuh onta dengan cara membuka wajah-wajah mereka. Sungguh telah terjadi fitnah wanita itu sebagai jalan masuknya Iblis kepada para pembesar, dan Iblis bersandar bersama mereka untuk membunuh onta yang menjadi ayat Allah subhanahu wata’ala yang disampaikan kepada nabi-Nya, Shalih ’alaihis salam.

Demikian ini tampak bagi kita, para pembesar (kaum elit) bersepakat semuanya, laki-laki maupun perempuan.

2. Kepala Nabi Yahya ’alaihis salam Dipenggal untuk Pelacur

Hal itu dikatakan kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu oleh Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha di suatu tempat di Masjidil Haram. Demikian itu ketika Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhu disalib, lalu Ibnu Umar menoleh ke Asma’ seraya berkata: Jasad (anakmu) ini sebenarnya bukan apa-apa, sedang yang di sisi Allah adalah arwahnya. Maka bertaqwalah kamu kepada Allah subhanahu wata’ala dan bersabarlah.

Lalu Asma’ menjawab, Apa yang menghalangiku (untuk bersabar), sedangkan kepala Yahya bin Zakaria ’alaihis salam (saja) sungguh telah dihadiahkan kepada seorang pelacur dari Bani Israel. (Siyaru A’laamin Nubalaa’ juz 2/ 294, Al-Fashlu fil Milal 4/ 57, Al-Muhalla juz 2/22, ‘Audul Hijaab juz 2/195, dan orang-orangnya terpercaya, khabar itu tetap untuk kisah., Al-Muwajahah hal 80).

الفصل في الملل [ جزء 4 - صفحة 57 ]
عن سفيان بن عيينه عن منصور بن صفية عن أمه صفية بنت شيبة قالت دخل ابن عمر المسجد فأبصر ابن الزبير مرطوحا قبل أن يصلب فقيل له هذه أسماء بنت أبي بكر الصديق فمال إليها فعزاها وقال إن هذه الجثث ليست بشيء وإن الأرواح عند الله فقالت أسماء وما يمنعني وقد أهدي رأس يحيى بن زكريا إلى بغي من بغايا بني إسرائيل

Kenyataan dari kisah ini adalah Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan dibunuhnya Nabi Yahya ’alaihis salam itu karena (permintaan) pelacur. Di sini kita lihat puncak kekuasaan iblis atas orang-orang elit dengan dorongan syahwat seks di mana sampai membunuh seorang nabi Allah yaitu Yahya bin Zakaria ’alaihimas salam. Walaupun berbeda-beda kitab-kitab tarikh dalam rincian peristiwa itu, hanya saja intinya adalah; Seorang raja masa itu di Damskus ada yang menginginkan kawin dengan sebagian mahramnya atau wanita yang tidak halal baginya untuk dikawini. Lalu Nabi Yahya ’alaihis salam mencegahnya, sedangkan wanita itu menginginkan raja itu, maka ada suatu (ganjalan) yang menetap di dalam jiwa wanita dan raja itu terhadap Nabi Yahya ’alaihis salam. Maka ketika antara wanita dan raja itu terjadi percintaan, wanita itu minta agar diberi darah Yahya, lalu raja akan memberikan padanya. Maka raja mengutus orang untuk mendatangi Nabi Yahya ’alaihis salam dan membunuhnya, dan membawakan kepala Yahya kepada wanita itu! (Lihat Tarikh At-Thabari j 1/ 346-347, Al-kamil Ibnu Atsir j 1/ 171, Al-Bidayah wan Nihayah j 1/49)

تاريخ الطبري [ جزء 1 - صفحة 346 ]
إن ملك بني إسرائيل كان يكرم يحيى بن زكرياء ويدني مجلسه ويستشيره في أمره ولا يقطع أمرا دونه وإنه هوي أن يتزوج ابنة امرأة له فسأل يحيى عن ذلك فنهاه عن نكاحها وقال لست أرضاها لك فبلغ ذلك أمها فحقدت على يحيى حين نهاه أن يتزوج ابنتها فعمدت إلى الجارية حين جلس الملك على شرابه فألبستها ثيابا رقاقا حمرا وطيبتها وألبستها من الحلي وألبستها فوق ذلك كساء أسود فأرسلتها إلى الملك وأمرتها أن تسقيه وأن تعرض له فإن أرادها على نفسها أبت عليه حتى يعطيها ما سألته فإذا أعطاها ذلك سألته أن تؤتى برأس يحيى بن زكرياء في طست ففعلت فجعلت تسقيه وتعرض له فلما أخذ فيه الشراب أرادها على نفسها فقالت لا أفعل حتى تعطيني ما أسألك قال ما تسأليني قالت أسألك أن تبعث إلى يحيى بن زكرياء فأوتى برأسه في هذا الطست فقال ويحك سليني غير هذا قالت ما أريد أن أسألك إلا هذا قال فلما أبت عليه بعث إليه فأتي برأسه والرأس يتكلم حتى وضع بين يديه وهو يقول لا تحل لك فلما أصبح إذا دمه يغلي فأمر بتراب فألقي عليه فرقى الدم فوق التراب يغلي فألقي عليه التراب أيضا فارتفع الدم فوقه فلم يزل يلقى عليه التراب حتى بلغ سور المدينة وهو في ذلك يغلي وبلغ صيحائين فنادى في الناس وأراد أن يبعث إليهم جيشا ويؤمر عليهم رجلا فأتاه بختنصر فكلمه وقال إن الذي كنت أرسلت تلك المرة ضعيف فإني قد دخلت المدينة وسمعت كلام أهلها فابعثني فبعثه فسار بختنصر حتى إذا بلغوا ذلك المكان تحصنوا منه في مدائنهم فلم يطقهم فلم ااشتد عليه المقام وجاع أصحابه أراد الرجوع فخرجت إليه عجوز من عجائز بني إسرائيل فقالت أين أمير الجند فأتي به إليها فقالت إنه
تاريخ الطبري [ جزء 1 - صفحة 347 ]
بلغني أنك تريد أن ترجع بجندك قبل أن تفتح هذه المدينة قال نعم قد طال مقامي وجاع أصحابي فلست أستطيع المقام فوق الذي كان مني فقالت أرأيتك إن فتحت لك المدينة أتعطيني ما أسألك فتقتل من أمرتك بقتله وتكف إذا أمرتك أن تكف قال لها نعم قالت إذا أصبحت فاقسم جندك أربعة أرباع ثم أقم على كل زاوية ربعا ثم ارفعوا بأيديكم إلى السماء فنادوا إنا نستفتحك يا الله بدم يحيى بن زكرياء فإنها سوف تتساقط ففعلوا فتساقطت المدينة ودخلوا من جوانبها فقالت له كف يدك اقتل على هذا الدم حتى يسكن فانطلقت به إلى دم يحيى وهو على تراب كثير فقتل عليه حتى سكن فقتل سبعين ألف رجل وامرأة فلما سكن الدم قالت له كف يدك فإن الله عز وجل إذا قتل نبي لم يرض حتى يقتل من قتله ومن رضي قتله

Demikianlah kondisi orang-orang terlaknat yang tidak menahan diri untuk tidak membunuh nabi-nabi Allah. Bagaimana mereka tidak dilaknat? Sedangkan Nabi-nabi Allah itu penyulut hidayah dan pemegang bendera kebenaran dan Tauhid, sedangkan iblis terlaknat itu pembawa bendera neraka dan panji-panji kekafiran serta syirik. (Dipetik dari Al-Muwajahah as-Shiro’ ma’as Syaithon wa Hizbihi oleh Hasan Ahmad Qothomisy, Darut Thibah Ar-Riyadh cet I, 1415H / 1995 M)

3. Isteri Al-Aziz serta Yusuf `alaihis salam

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ(23)وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ(24)وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ قَالَتْ مَا جَزَاءُ مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوءًا إِلَّا أَنْ يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ(25)

"Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggali di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: `Marilah ke sini, Yusuf berkata, Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang zhalim tidak akan beruntung."

"Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih."

"Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata, Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?" (QS Yusuf [12] : 23-25)

Firman Allah subhanahu wata’ala lagi:

فَلَمَّا رَأَى قَمِيصَهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُ مِنْ كَيْدِكُنَّ إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ(28)يُوسُفُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا وَاسْتَغْفِرِي لِذَنْبِكِ إِنَّكِ كُنْتِ مِنَ الْخَاطِئِينَ(29)

"Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu (wanita) adalah besar."

"(Hai) Yusuf: Berpalinglah dari ini, dan (kamu hai isteri) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah." (QS Yusuf [12] : 28-29)

Sesungguhnya kisah Yusuf ’alaihis salam adalah contoh terbesar dalam menjelaskan konsentrasi iblis atas kalangan penguasa, dan iblis menguasai mereka dari segi syahwat seks melalui wanita. Sampai anak lelaki yang dibeli pun kemudian dirayu untuk menzinai isteri tuannya. Allah menunjukkan bukti betapa iblis menggoda lewat wanita terhadap manusia pilihan, yaitu Yusuf as, yang secara keturunan adalah tertingi di kalangan para nabi. (Lihat hadits Nabi Muhammad saw dalam Shahih Al-Bukhari, kitab al-anbiya’)

Karena Nabi Yusuf as adalah nabi, bin nabi, bin nabi, bin nabi. Yaitu Nabi Yusuf as, bin Nabi Ya’qub as, bin Nabi Ishaq as, bin Nabi Ibrahim as. Secara keteguhan agama, Yusuf yang dipelihara tuannya di Mesir itu adalah calon nabi, yaitu orang yang dipercaya oleh Allah swt untuk membawa risalah kepada umatnya. Namun orang yang luhur derajatnya secara agama dan keturunan itupun diupayakan oleh Iblis untuk digarap, agar terjerumus ke perbuatan nista, perzinaan; hanya saja Allah swt tetap menyelamatkannya. Akibatnya Yusuf as dipenjarakan karena tak memenuhi hasrat isteri penguasa itu. Jadi, orang yang menyelamatkan diri dari perbuatan nista dan kotor, justru dipenjara.

Kisah ahsanal qoshosh, sebagus-bagusnya kisah itu difirmankan Allah swt dalam satu surat khusus di Al-Qur’an, surat Yusuf, tentu agar menjadi peringatan. Dengan membaca ayat-ayat tentang kisah itu tidak perlu keterangan tambahan. Tetapi di sini tampak bagi kita gambaran dari kalangan papan atas (at-thobaqotur rooqiyyah) di masa ribuan tahun lalu, seakan-akan aksi jahat iblis lewat wanita itu adalah yang ada pada hari ini pula, dengan leluasa dalam mengarahkan penyelewengan seks, dan kecenderungan untuk menutup-nutupinya dari masyarakat. Dan inilah pentingnya semua kisah itu. (Dari buku Hartono Ahmad Jaiz, Sumber-Sumber Penghancur Akhlaq Islam, Pustaka Nahi Munkar, Surabaya- Jakarta, 2010)

Mensyukuri Segala Nikmat

Aplikasi nyata mensyukuri nikmat.

Di antara hal yang perlu untuk senantiasa kita ingat dalam hal mensyukuri nikmat adalah perwujudan rasa syukur itu sendiri. Kebanyakan kita beranggapan, bahwa mensyukuri nikmat hanya diwujudkan semata dengan mengucapkan "Alhamdulillah" dengan lisan. Ini adalah anggapan yang kurang tepat, karena syukur nikmat memiliki perwujudan yang sangat banyak, di antaranya:

Mengucapkan alhamdulillah, atau ucapan yang semakna. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan hadits, di antaranya pada firman Allah Ta'ala,

الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

"Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam."

Ibnu Jarir rahimahullah berkata, "Makna ucapan "Alhamdulillah" adalah bersyukur sepenuhnya hanya kepada Allah Yang Maha Agung dan tanpa sesembahan-sesembahan lain atau sesama makhluk lainnya. Kita bersyukur kepada Allah Ta'ala atas segala kenikmatan yang tiada terhitung jumlahnya dan tiada makhluk yang menghitungnya. Di antara kenikmatan-Nya ialah kita dikaruniai anggota tubuh yang sehat sehingga dengan mudah kita dapat menjalankan ketaatan kepada-Nya. Berbagai rezeki yang telah disiapkan untuk kita dalam kehidupan dunia, kehidupan yang bahagia. Padahal Allah tidak berkewajiban untuk melakukan itu semua untuk kita. Di tambah lagi, Allah Ta'ala juga telah menurunkan untuk kita syariat agama-Nya yang dengannya kita dapat bahagia dan kekal di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan abadi. Oleh karenanya, hanya Allah yang berhak untuk mendapatkan segala ucapan puji syukur kita." (Tafsir at-Thabari, 1/59).

Menggunakan harta kekayaan untuk mendukung peribadahan kepada Allah Ta'ala, oleh karena itu dahulu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan shalat malam hingga kedua kaki beliau menjadi bengkak. Dan tatkala istri beliau tercinta 'Aisyah radhiallahu 'anha berkata kepada beliau,

لِمَ تَصْنَعُ هذا يا رَسُولَ اللَّهِ؟ وقد غَفَرَ الله لك ما تَقَدَّمَ من ذَنْبِكَ وما تَأَخَّرَ؟

"Mengapa engkau melakukan ini ya Rasulullah? Padahal Allah telah mengampuni seluruh dosa-dosamu, baik yang terdahulu ataupun yang akan datang?" Beliau menjawab,

أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

"Tidakkah layak bagiku untuk menjadi seorang hamba yang bersyukur?” (HR. Muttafaqun 'alaih).

Demikianlah praktik Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mensyukuri karunia Allah Ta'ala, yang berupa diampuninya dosa-dosa beliau. Semakin besar kenikmatan yang beliau terima, semakin gigih dalam menjalankan ibadah.

Melakukan sujud syukur setiap kali mendapatkan kenikmatan baru atau terhindar dari musibah.

(أَنَّهُ كان إذا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أو بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجة وغيرهم

"Dahulu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila mendapatkan suatu hal yang menggembirakan, atau diberi kabar gembira tentangnya, beliau segera bersujud sebagai ungkapan syukur kepada Allah." (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya).

Al-Munawi berkata, "Sujud adalah puncak sikap tawadhu' dan rendah diri seorang hamba di hadapan Allah, yaitu dengan meletakkan wajahnya yang terhormat dan menunggingkan anggota tubuhnya. Demikianlah sepantasnya sikap seorang mukmin. Setiap kali Allah menambahkan kepadanya suatu kenikmatan, maka ia semakin bertambah merendah diri dan semakin erat dalam menggantungkan segala kebutuhannya kepada Allah. Dengan cara inilah kenikmatan dipikat dan diupayakan untuk berlipat ganda." (Faidhul Qadir, 5/118).

Demikianlah salah satu teladan yang diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kita. Dan ini merupakan dalil lain yang menjelaskan bahwa amal ketaatan adalah wujud nyata dari rasa syukur atas kenikmatan.

Menampakkan kenikmatan yang telah kita dapatkan, yaitu dengan menceritakan kenikmatan tersebut kepada orang lain. Allah Ta'ala berfirman,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

"Adapun dengan nikmat -nikmat Tuhanmu, maka hendaknya engkau sebut-sebut." (Qs. adh-Dhuha: 11).

Berdasarkan ayat ini, dahulu para sahabat beranggapan bahwa termasuk kesempurnaan sikap syukur seseorang atas suatu kenikmatan ialah dengan menyebut-nyebutnya (Tafsir Ibnu Katsir, 4/524). Oleh karena itu, dahulu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kepada para sahabatnya kenikmatan besar yang telah beliau terima,

أنا سيد ولد آدم ولا فخر

"Aku adalah pemimpin anak keturunan Adam, dan tiada berbangga-banggaan." (HR. Ahmad dan lainnya).

Pada hadits lain, beliau juga menceritakan akan kenikmatan lain yang telah dikaruniakan Allah kepadanya,

أُعْطِيتُ خَمْسًا لم يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ من أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لي الْمَغَانِمُ ولم تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وكان النبي يُبْعَثُ إلى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إلى الناس عَامَّةً. متفق عليه

"Aku dikaruniai lima hal yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabipun sebelumku; Aku ditolong dengan dicampakkannya rasa takut pada musuh-musuhku sejak aku masih berjarak perjalanan satu bulan dari mereka. Bumi dijadikan bagiku sebagai tempat shalat (masjid) dan juga alat bersuci, maka dari itu, barangsiapa dari umatku yang mendapatkan shalat, maka hendaknya ia segera mendirikannya (dimanapun ia berada-pen.), rampasan perang dihalalkan untukku, padahal sebelumku tidak pernah dihalalkan untuk seorang nabipun, aku dikaruniai syafa'at (kubra'), dan nabi-nabi sebelumku senantiasa diutus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada seluruh umat manusia." (HR. Muttafaqun 'alaih).

Menceritakan kenikmatan semacam ini disyariatkan untuk kita lakukan, bila lawan bicara kita tidak memiliki sifat iri dan hasad.

Akan tetapi bila kita merasa, bahwa lawan bicara kita memiliki sifat hasad atau iri, seyogyanya kita tidak melakukannya, dan lebih baik menyembunyikan kenikmatan tersebut tanpa harus berdusta.

(استَعِيْنُوا عَلَى إِنْجَاحِ الْحَوَائِجِ بِالْكِتْمَانِ فَإِنَّ كُلَّ ذِي نِعْمَةً مَحْسُودٌ (رواه الطبراني وغيره وحسنه الألباني

"Berupayalah untuk mewujudkan kebutuhanmu dengan merahasiakan kebutuhanmu; karena setiap orang yang mendapatkan kenikmatan pasti dihasadi oleh orang lain." (HR. ath-Thabrani dan dihasankan oleh al-Albani).

Di antara bentuk menampakkan kenikmatan yang merupakan wujud nyata dari syukur nikmat ialah dengan menggunakan kenikmatan tersebut, baik berupa pakaian, alas kaki, kendaraan, rumah dan makanan.

Pada suatu hari, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyaksikan seorang sahabat beliau yang berpakaian kusut dan berdebu. Menyaksikan penampilan sahabatnya yang tidak menarik tersebut, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya,

أَلَكَ مَالٌ؟ قال: نعم، قد آتَانِي اللَّهُ من كل الْمَالِ، قال: (من أَيِّ الْمَالِ؟) قال: آتَانِي اللَّهُ مِنَ الْخَيْلِ وَالرَّقِيقِ، فقال له صلّى الله عليه وسلّم: (إذا آتَاكَ اللَّهُ مَالا، فَلْيُرَ عَلَيْكَ أَثَرُ نِعْمَتِهِ وَكَرَامَتِهِ) رواه أحمد والطبراني وغيرهما وصححه الألباني

"Apakah engkau memiliki harta kekayaan?" Sahabat itu menjawab, “Ya, sungguh Allah telah mengaruniaiku segala harta benda.” Nabi kembali bertanya, "Harta apa saja yang engkau miliki?" Sahabat itu kembali menjawab, “Allah telah mengaruniaku kuda, dan budak.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, "Bila Allah telah mengaruniaimu harta kekayaan, maka hendaknya nampak pada dirimu pertanda kenikmatan dan karunia-Nya itu." (HR. Ahmad, ath- Thabrani dan lainnya, dan hadits ini dishahihkan oleh al-Albani).

Di antara wujud nyata sikap syukur nikmat ialah dengan senantiasa menyadari, bahwa segala kenikmatan adalah karunia Allah Ta'ala yang wajib untuk disyukuri. Sebagaimana kita juga menyadari, bahwa kita tidak akan pernah kuasa untuk menjalankan kewajiban bersyukur kepada-Nya dengan sepenuhnya. Kenikmatan Allah yang kita terima lebih besar dan lebih banyak dibanding sikap syukur yang kita lakukan. Bahkan, sikap syukur itu sendiri merupakan kenikmatan baru yang wajib disyukuri.

Diriwayatkan dalam sebagian riwayat (Israiliyat), bahwa tatkala Nabi Musa 'alaihissalam diperintahkan untuk bersyukur kepada Allah, ia berkata, "Ya Allah, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan sikap syukurku kepada-Mu adalah karunia baru dari-Mu yang aku terima? Allah menjawab ucapan Nabi Musa 'alaihissalam ini dengan berfirman, 'Wahai Dawud, saat inilah engkau telah mensyukuri kenikmatan-Ku', yaitu tatkala engkau menyadari, bahwa engkau tidak kuasa untuk mensyukuri kenikmatan-Nya dengan sepenuhnya (Faidhul Qadir, 4/512).

Inilah yang mendasari Imam asy-Syafi'i untuk berkata,

الحمد لله الذي لا يؤدى شكر نعمة من نعمه الا بنعمة منه توجب مؤدي ماض نعمه بادائها نعمة حادثة يجب عليه شكره بها

"Segala puji hanya milik Allah, yang kita tidak akan dapat mensyukuri suatu kenikmatan-Nya, kecuali bila kita mendapatkan kenikmatan-Nya yang lain. Dan kenikmatan yang telah menjadikannya dapat mensyukuri kenikmatan yang telah lalu tersebut mengharuskannya untuk kembali bersyukur kepada Allah karenanya." (Ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i, 7).

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Cara Mengembalikan Harta Curian

Boleh jadi, ada di antara kita yang--sebelum mendapatkan hidayah ketika masa SMA--menganggap enteng perbuatan mengambil harta orang lain tanpa jalan yang benar. Selepas pelajaran olah raga, langsung masuk ke kantin sekolah. Kondisi kantin yang ramai dengan anak-anak yang baru selesai pelajaran olah raga menyebabkan ada yang memanfaatkan kesempatan untuk berbuat dosa. Dia mengaku makan tiga potong gorengan padahal sebenarnya makan lima potong, atau mengaku minum satu gelas es padahal sebenarnya minum dua gelas. Setelah sekarang mendapatkan hidayah dan bertobat, apakah dia harus mencari ibu penjaga kantin sekolah lalu menyerahkan sejumlah uang pengganti gorengan atau es yang diambil dengan cara yang tidak benar, sambil berkata jujur menceritakan duduk permasalahan di masa lalu? Duh, malunya .... Adakah solusi lain?

Bagaimana pula dengan buku perpustakaan sekolah yang sampai saat ini belum kita pulangkan? Haruskah kita menemui penjaga perpustakaan dan menceritakan permasalah kita? Adakah solusi lain agar tidak terlalu merasa malu?

Simak jawabannya dari tanya-jawab berikut ini:

Pertanyaan, "Suamiku membeli beberapa barang dari orang kafir dengan menggunakan kartu kredit VISA, namun dia tidak menyerahkan uang pembayaran. Apakah perbuatan tersebut termasuk kategori pencurian?"

Jawaban, “Tidaklah diragukan bahwa siapa saja yang membeli sesuatu namun tidak menyerahkan uang pembayaran maka dia telah melakukan perbuatan yang haram dan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Adapun status pelakunya sudah tergolong pencuri atau bukan, boleh jadi dia tidak termasuk pencuri, dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan mencuri--yang hukumannya dalam Islam potong tangan sebagaimana dalam QS. Al-Maidah:38--itu memiliki ketentuan-ketentuan, yang bisa saja, ketentuan tersebut tidak terpenuhi dalam kasus di atas. Meski demikian, bukan berarti perbuatan tersebut halal. Bahkan, perbuatan tersebut jelas-jelas haram!

Allah telah mewajibkan semua orang yang mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Siapa saja yang tidak melakukannya maka dia berhak mendapatkan hukuman dan kehinaan.

فعن أبي حميد الساعدي قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (والله لا يأخذ أحد منكم شيئاً بغير حقه إلا لقي الله يحمله يوم القيامة ، فلأعرفن أحداً منكم لقي الله يحمل بعيراً له رغاء ، أو بقرةً لها خوار ، أو شاة تيعر ، ثم رفع يده حتى رئي بياض إبطه يقول : اللهم هل بلغت ؟) رواه البخاري (6578) ومسلم (1832) .

Dari Abu Humaid As-Sa’idi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Demi Allah, semua orang yang mengambil sesuatu tanpa menggunakan cara yang benar itu pada hari kiamat nanti akan menghadap Allah sambil memikul sesuatu yang dia ambil tersebut. Sungguh, aku akan mengenal salah seorang kalian yang menghadap Allah sambil memikul unta yang bersuara, sapi yang bersuara, atau kambing yang sedang mengembik.' Nabi kemudian mengangkat tangannya sehingga putihnya ketiak beliau pun tampak, lalu beliau berkata, 'Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan?' (HR. Bukhari dan Muslim)

Orang yang mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar itu bisa mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya dengan cara-cara yang tepat tanpa harus mempermalukan diri sendiri.

Jika orang yang hartanya diambil itu, saat ini, berdomisili di suatu tempat yang kita tidak bisa mencapainya atau kita tidak mengetahui keberadaan orang tersebut maka uang senilai harta tersebut kita sedekahkan atas nama pemilik harta. Jika pada akhirnya kita berjumpa dengan pemilik maka kita sampaikan kepadanya dua opsi pilihan, yaitu rela dengan sedekah atas nama orang tersebut ataukah tetap meminta haknya. Jika dia memilih sedekah maka pahala sedekah tersebut untuk dirinya. Jika dia tidak rela dengan sedekah maka kita wajib memberikan haknya kepadanya sedangkan pahala sedekah itu menjadi hak kita jika kita telah benar-benar bertobat.

Syekh Ibnu Utsaimin mengatakan, 'Jika Anda mencuri harta milik seorang individu atau pihak tertentu maka Anda berkewajiban untuk menemui orang tersebut dan menyampaikan kepadanya, 'Ada harta Anda dalam tanggungan saya dengan nilai sekian,' kemudian perdamaian antara keduanya adalah sebagaimana kesepakatan yang terjadi di antara keduanya.

Akan tetapi, cara di atas boleh jadi berat bagi banyak orang. Tidak mungkin bagi seorang mantan pencuri untuk menemui pemilik harta lalu secara langsung dan terus terang mengatakan, 'Dahulu, aku mencuri harta milik Anda senilai sekian,' atau mengatakan, 'Dahulu, aku mengambil milik Anda dengan nilai sekian.' Jika demikian kondisinya maka harta curian tersebut bisa Anda kembalikan dengan cara lain: dengan cara tidak langsung.

Misalnya: Anda serahkan harta tersebut kepada seseorang yang menjadi kawan dari pemilik harta lalu Anda sampaikan kepadanya bahwa harta ini adalah milik Fulan. Kemudian, Anda sampaikan kisah harta tersebut, lalu Anda tutup kisah tersebut dengan mengatakan, 'Sekarang, saya sudah bertobat. Saya berharap agar Anda menyerahkan harta ini kepada Fulan (tanpa Anda perlu menceritakan kisah harta tersebut).'

Jika pencuri tersebut telah melakukan hal di atas maka sungguh Allah berfirman,

(وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً (الطلاق/2

'Barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka akan Allah berikan kepadanya jalan keluar dari permasalahan yang dia hadapi.' (QS. Ath-Thalaq:2)

(وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً (الطلاق/4

'Barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberika kemudahan untuk urusannya.' (QS. Ath-Thalaq:4)

Akan tetapi, jika Anda mencuri harta milik seseorang yang saat ini tidak Anda ketahui keberadaannya maka solusinya lebih mudah daripada kasus di atas. Cukup Anda sedekahkan harta curian tersebut kepada fakir miskin dengan niat pahala sedekah tersebut diperuntukkan pemilik harta. Dengan demikian, Anda telah bebas dari masalah.

Kisah yang dituturkan oleh Penanya mengharuskan kita untuk menjauhi perbuatan semisal itu. Boleh jadi, ada seseorang yang mencuri karena tidak berpikir panjang dan tanpa menimbang dampak buruknya. Setelah itu, dia mendapatkan hidayah. Akhirnya, dia harus bersusah payah agar terbebas dari dosa mengambil harta milik orang lain.' (Fatawa Islamiyyah, juz 4, hlm. 162)

Terkait dengan kasus seorang tentara yang pernah mencuri, para ulama yang duduk di Lajnah Daimah mengatakan, 'Jika dia mengetahui keberadaan pemilik harta atau mengenal orang yang mengetahui keberadaan pemilik harta maka wajib bagi mantan pencuri tersebut untuk melacak keberadaan pemilik harta lalu menyerahkan uang curian atau harta yang senilai dengan uang curian tersebut atau sejumlah harta yang menjadi kesepakatan di antara keduanya.

Jika dia tidak mengetahui keberadaan pemilik harta dan dia sudah putus asa untuk bisa melacaknya maka harta curian tersebut atau uang senilai harta curian tersebut disedekahkan kepada fakir miskin atas nama pemilik harta.

Jika pada akhirnya, pemilik harta bisa dilacak keberadaannya maka mantan pencuri tadi wajib menceritakan perbuatan yang telah dia lakukan. Jika pemilik harta rela dengan sedekah maka itulah yang diharapkan. Namun, jika ternyata dia tidak setuju dengan sedekah dan tetap meminta uangnya maka mantan pencuri wajib mengganti harta yang telah disedekahkan sedangkan pahala harta yang telah terlanjur disedekahkan itu menjadi milik orang yang bersedekah. Di samping itu, mantan pencuri ini wajib memohon ampunan kepada Allah serta bertobat dan mendoakan kebaikan untuk pemilik harta yang dulu pernah dia curi.' (Fatawa Islamiyyah, juz 4, hlm. 165)"

Diterjemahkan dari http://www.islamqa.com/ar/ref/31234

Artikel www.PengusahaMuslim.com
Powered By Blogger

Entri Populer