Cerita Saya

Foto saya
Selalu belajar dan mencari ilmu yang berguna/bermanfaat untuk pribadi dan masyarakat.

Kamis, 14 Oktober 2010

KAJIAN SEJARAH TEKS AL-QUR’AN

ULASAN PENUTUP KAJIAN SEJARAH TEKS AL-QUR’AN DENGAN PERB. TEKS PERJANJIAN LAMA DAN BARU.

Posted by Bustamam Ismail on June 4, 2010

Siapa saja yang hendak menulis perihal Islam, hendaknya terlebih dahulu dia menarik sebuah keputusan percaya bahwa Muhammad adalah seorang Nabi. Para ilmuwan yang mengakui bahwa beliau benar-benar seorang Rasul dan yang paling mulia diantara para nabi, mereka bakal menikmati kepustaka an hadith yang mengagumkan dan wahyu ketuhanan yang dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi. Secara pasti mereka akan menemukan banyak ke samaan, bahkan sepenuhnya cocok dengan berbagai masalah yang sangat men dasar. Adapun perbedaan-perbedaan kecil yang muncul karena perubahan keadaan, hal ini dapat dianggap sebagai suatu yang alami dan kemanusiaan. Bagi mereka yang menolak pandangan ini, akibatnya mereka melihatnya (Muhammad) sebagai penipu majnun atau pendusta yang mengaku-ngaku jadi nabi. Hal ini merupakan refleksi sikap yang diambil oleh semua ilmuwan non Muslim, di mana upaya yang mereka lakukan perlu

dipilah-pilah: jika mereka tidak mau membuktikan ketidakjujuran Muhammad atau kesalahan Al-Qur’an, apakah yang menjadi penghalang bagi mereka untuk menerima Islam?

Dalam urusan keislaman, penelitian dunia Barat telah mengalami kemajuan dari sekadar subjektivitas kepada pemunculan dogma anti ajaran Islam. Pandangan ini berasal dari peristiwa masa lalu: persaingan agama yang sengit, abad-abad Perang Salib, penjajahan tanah air kaum Muslimin, dan kebanggaan penjajahan yang berubah menjadi penghinaan terang-terangan terhadap adat istiadat, kepercayaan, dan sejarah kaum Muslimin. Untuk hal ini, kita dapat menambahkan motif-motif baru juga: penanaman paham sekuler untuk menopang asimilasi Yahudi secara global dan menjamin kesatuan tanah Israel. Sejalan dengan garis keturunan nenek moyang, usaha-usaha mereka akan terus berjalan, melalui penyerangan terhadap Al-Qur’an dan menudingnya sebagai hasil karya masyarakat, seperti leluhur mereka membuat istilah yang mencerahkan `Muhammadans’ di mana seolah-olah kaum Muslimin sujud di depan berhala emas yang diberi nama demikian.

Kata-kata mutiara Ibn Sirin (w. 110 H.) dirasa lebih diperlukan saat ini ketimbang waktu sebelumnya:

Ilmu ini [mengenai agama] menjelma atau merupakan keimanan, dari itu, berhati-hatilah dari siapa anda belajar ilmu itu.1

Ini berarti Bahwa segala masalah yang berkaitan dengan Islam-baik Al Qur’an, tafsir, hadith, fiqih, sejarah,…dll.-hendaknya hanya tulisan kaum Muslimin yang komitmen terhadap ajaran agamanya yang layak diperhatikan. Hal ini, akan diterima maupun tidak, tergantung pada jasa dan kebaikan mereka.2 Tetapi untuk para individu yang jelas berasal dari luar komunitas Muslim, motif mereka terselubung di balik sikap dusta yang dipoles dengan istilah kejujuran, di mana kita hanya dapat melayani mereka dengan sikap antipati. Kita tidak boleh menganggap mereka sebagai syekh Islam,3 dan kita tidak dapat menerima anggapan mereka tentang gelar itu.

Dalam liputan pers tentang tuduhan Presiden Clinton beberapa tahun yang lalu, saya tidak pernah mendengar seorang pemain tenis ataupun peng kritik dunia seni (teater) yang diminta keterangan tentang pendapat hukum terhadap masalah tersebut, kendati naskah Undang-undang Dasar Amerika Serikat mudah didapat bagi semua yang berminat baca. Diskusi tentang hukum tentunya hanya terbatas di kalangan pakar bidang tersebut, guru besar undang undang, dan lain-lain. Para guru besar dari tempat lain tidak dibenarkan ber partisipasi, karena hal itu merupakan penentuan nasib masa depan internal negara Amerika Serikat. Malangnya, hal ini tidak seperti perlakuan mereka terhadap Islam. Bolehkah seorang komentator film-setelah membaca Undang undang Dasar dan mendengar ucapan para pengacara dalam liputan surat kabar-memiliki pandangan hukum setaraf dengan pandangan para ilmuwan? Tidak, namun ada orang di luar bidang akademik tertentu, seperti Toby Lester, menyuarakan pendapat dalam berbagai tulisan yang kemudian dielu-elukan menempati kedudukan yang sederajat dengan para ilmuwan. Adakah seorang guru besar hukum kebangsaan Jerman memiliki pengaruh untuk muncul di layar TV dan memberi instruksi pada orang-orang Amerika bagaimana men jalankan sistem perundang-undungan? Tidak, namun para ilmuawan Barat malah merasa berkewajiban menekan kaurn Muslimin bagaimana menatsirkan agama mereka.

Allah akan tetap agung, baik kita hidup di abad pertama, dua puluh satu, atau di abad akhir zaman, siapa yang berniat untuk menjatuhkan-Nya, walau merasa yakin dapat melakukan, hanya akan memusnahkan diri sendiri tanpa dapat menyentuh satu serat rambut dari Keagungan-Nya. Tidak ada satu orang pun yang boleh dipaksa untuk mempercayai kesucian Al-Qur’an; manusia harus menentukan jalan sendiri karena rnereka yang bakal menanggung risiko apa yang mereka lakukan di kemudian hari. Namun dalam hidup ini, tak dibenarkan orang luar menyeru kaum Muslimin dan membuat ketentuan hukum mengenai agama mereka. Hanya para ilmuwan Muslim yang pendapatnya pantas didengar. Jika hal ini tidak dianggap penting saat ini, maka komunitas Muslim harus slap menerima caci-maki di masa depan.

Kita hidup di zaman yang serba kritis, dan kemungkinan zaman serba sulit akan terus melaju: hanya Allah Yang Mahatahu. Satu atau dua dasawarsa yang lalu, kecenderungan ilmuwan Barat memaksa kaum Muslimin melenyapkan semua ayat-ayat Al-Qur’an mengenai orang-orang Yahudi, boleh jadi dirasa kan melompat terlalu jauh oleh kalangan tertentu, akan tetapi realitas yang ada sekarang, kita sedang dikepung oleh badai angin ribut yang mengerikan. Apa yang dilakukan para ilmuwan Barat, secara teori, pemerintah mereka me lakukan pencarian yang tak kenal menyerah di mana jerih payah mereka mernbuahkan hasil dalam bentuk nyata di sekeliling kita. Campur tangan pihak Barat dalam mendesain kurikulum Islam; pemaksaan sistem auditing pem bubaran [lembaga-lembaga Islam]; suatu anjuran secara terang-terangan minta agar menggusur ayat-ayat Al-Qur’an tentang seruan jihad atau semua yang membuat panas telinga orang-orang Yahudi dan Kristen; pengusiran tokoh tokoh gurem yang berbau kearaban (tidak perlu saya sebut di sini, karena tidak layak dipublikasikan); menuduh Islam dengan sebutan yang tak ada satu makhluk Muslim mengatakan sebelumnya; adanya “pakar terorisrne” yang muncul dalam media internasional untuk mengumumkan keputusan mereka mengenai teks-teks Islam; pemerintah sekuler Turki dilihat sebagai kelompok ideal yang perlu dicontoh, sementara pemerintah yang konservatif diproyeksi kan sebagai ancaman yang akan mendekati kenyataan. Dalam semua tataran, kini Al-Qur’an sedang mendapat serangan yang tak pernah terlintas di benak pikiran kita sebelumnya.

Apa yang bakal terjadi selanjutnya merupakan misteri dalam genggaman Allah, namun sekurang-kurangnya yang perlu kita lakukan adalah memahami prinsip-prinsip agama kita yang tidak mungkin dapat diubah oleh peredaran zaman. Di atas segalanya, kita harus menjadikan Al-Qur’an sebagai referensi kita. Bagian teks mana pun yang mungkin berlainan dengan Mushaf yang ada, terserah apa yang hendak mereka sebutkan, adalah bukan dan tidak akan menjadi bagian dari Al-Qur’an. Demikian halnya, segala upaya dari pihak non Muslim yang ingin mencekoki pikiran tentang dasar-dasar ajaran dan legitimasi agama kita, mesti kita tolak tanpa harus berpikir panjang. Bagaimana pun keadaan suhu politik, pandangan kaum Muslimin terhadap Kitab Suci ini mesti tetap tak akan tergoyahkan: ia adalah Kalam Allah, yang konstan, ter pelihara dari kesalahan, tak mungkin dapat diubah, dan mukjizat yang tak mungkin direkayasa.

Tamim ad-Dari meriwayatkan bahwa saya mendengar Nabi bersabda,

“(Agama ini] akan sampai pada apa yang dapat dicapai oleh siang dan malam, dan Allah tidak akan meninggalkan sebuah rumah apa pun, baik itu terbuat dari tanah atau bulu hewan [yaitu di kota atau di desa) sehingga Allah memasukkan agama ini ke dalamnya, baik melalui kebesaran orang-orang yang mulia ataupun melalui kerendahan orang yang di pandang rendah. Begitulah, Allah akan memberi karunia terhadap Islam, dan Allah akan merendahkannya disebabkan kekufuran.”4


Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyem purnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasu/-Nya (dengan membawa) petunjuk AI Qur’an dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.5

1. Muslim, Shahih, 1: 14.

2. Bahkan non-Muslim yang ingin belajar Islam perlu memulai dulu dengan membaca bahan ­bahan keislaman. Apabila mahasiswa universitas ingin mengkaji sosialismc contohnya, maka mereka selalu memulai dengan prinsip-prinsip utama manifestonya supaya dapat memahami subjek itu secara umum sebelum, mungkin, beranjak kepada membuat kritikan-kritikan terhadap teori sosialis. Hal yang sama diterapkan juga untuk kajian Injil. Jadi, untuk para pengkaji studi Islam yang memulai dan mengakhiri bidang ilmu mereka dengan tulisan-tulisan Barat, dan hampir mengabaikan keseluruhan sumber-sumber Muslim yang tradisional dan scmata-mata memanjangkan apa yang diajarkan oleh pengkaji Barat golongan revisionismc, adalah sungguh tidak masuk akal sama sekali.

3. Pada awal tahun 90an ketika mengajar di Universitas Princeton, ada satu peristiwa yang membuat saya menemukan kembali kepentingan pernyataan Ibn Sirin itu. Kepala Departemen Studi Agama, Prof L. Udovich, seorang sarjana Yahudi yang mahir dalam bahasa Arab dan Fiqih Islam (dan yang juga kawan baik saya), berkata kepada saya sambil bergurau, “Saya tahu bahasa Arab dan fiqih, jadi saya syekh.” Hal itu mengganggu pikiran saya; dan saya tidak tahu bagaimana seharusnya mengatasi kemungkinan adanya sebuah skenario di mana non-Muslim akan memberikan fatwa di masa depan. Setelah mencari jawaban beberapa hari saya ketemu dengan pedoman penting ini, dan tidak melupakannya sejak hari itu hingga kini.
4. Ibn Hanbal, Musnad, iv: 103, hadith no. 16998.
5. Al-Qur’an 9: 32-33.



semoga bermanfaat untuk kita

Aisyah dilanda Fitnah

Aisyah dilanda Fitnah

Posted by Bustamam Ismail on October 7, 2010

Sebenarnya tidak perlu sampai menjadi buah bibir; dia memasuki Medinah di depan mata orang banyak, di belakang pasukan tentara yang juga datang dalam waktu hampir bersamaan sehingga tidak perlu harus menimbulkan sesuatu prasangka. Dia datang disaksikan oleh orang banyak dengan wajah bersih dan berseri-seri, tak ada tanda-tanda yang akan menimbulkan kecurigaan. Seharusnya biarlah kota Medinah berjalan seperti biasa.

A. Juwairia bint’l-Harith jadi isteri Rasululloh

Biarlah hasil rampasan perang dan tawanan perang Banu Mushtaliq itu dibagi-bagi antara sesama kaum Muslimin, biarlah mereka menikmati hidup sejahtera, yang makin hari sudah makin terasa. Iman mereka pun makin dalam menanamkan rasa harga diri dalam menghadapi musuh, di samping adanya kesungguhan hati, keberanian menghadapi maut demi Allah, untuk agama dan untuk kebebasan orang lain menganut kepercayaan agamanya, kebebasan yang sebelum itu tidak pula dikenal oleh masyarakat Arab.

Juwairia bint’l-Harith termasuk salah seorang tawanan perang Banu Mushtaliq. Dia memang seorang wanita cantik dan manis. Ia jatuh menjadi bagian salah seorang Anshar. Dalam hal ini ia ingin menebus diri, tetapi mengetahui bahwa dia puteri seorang pemuka Banu Mushtaliq, dan ayahnya akan mampu menebus berapa saja diminta, maka tebusan yang diminta itu cukup tinggi. Kuatir akan membawa akibat yang melampaui batas, maka Juwairia sendiri segera pergi menemui Nabi, yang ketika itu sedang berada di rumah Aisyah.

“Saya Juwairia puteri al-Harith bin Abi Dzirar, pemimpin masyarakat,” katanya. “Saya mengalami bencana, seperti sudah tuan ketahui tentunya. Tetapi karena saya sudah menjadi milik si anu, maka saya telah memajukan penawaran guna membebaskan diri saya. Kedatangan saya kemari ingin mendapat bantuan tuan mengenai penawaran saya itu.”

“Maukah engkau dengan yang lebih baik dari itu?” tanya Nabi “Apa?” “Saya penuhi penawaranmu dan saya kawin dengan kau.”

Setelah berita itu tersiar, sebagai penghormatan kepada semenda Rasulullah dengan Banu Mushtaliq, tawanan-tawanan perang yang ada di tangan mereka segera mereka bebaskan; sehingga mengenai Juwairia ini Aisyah pernah berkata: Tak pernah saya lihat ada seorang wanita lebih besar membawa keuntungan buat golongannya seperti dia ini.

Demikianlah sebuah sumber menyebutkan Ada pula sumber lain yang mengatakan, bahwa al-Harith b. Abi Dzirar datang mengunjungi Nabi hendak menebus puterinya itu, dan dia sendiri pun masuk Islam setelah dia percaya akan ajaran Nabi, dan bahwa dia mengambil Juwairia puterinya yang juga lalu masuk Islam seperti ayahnya. Kemudian Muhammad meminangnya dan mengawininya, dengan mas kawin sebesar 400 dirham.

Seterusnya sumber ketiga menyebutkan, bahwa ayahnya tidak senang dengan perkawinan ini, bahkan dia tidak setuju, dan bahwa yang mengawinkannya dengan Nabi ialah salah seorang kerabatnya tanpa sekehendak ayahnya. Setelah Muhammad kawin dengan Juwairia, dibuatkannya rumah di samping rumah-rumah isterinya yang lain didekat mesjid. Dengan demikian ia menjadi Ibu kaum Muslimin pula.

B. Siti Aisyah dilanda Fitnah.

Sementara itu orang di luaran mulai pula berbisik-bisik kenapa Aisyah terlambat di belakang pasukan tentara dan datang bersama Shafwan menumpang untanya, sedang Shafwan seorang pemuda yang tampan dan tegap.

Saudara perempuan Zainab bt. Jahsy yang bernama Hamna, sudah mengetahui bahwa Aisyah dalam hati Muhammad mempunyai tempat melebihi saudaranya itu. Ia segera menyebarkan desas-desus orang tentang Aisyah ini. Ia mendapat dukungan Hassan b. Thabit, dan Ali b. Abi Talib juga menyambutnya.

Dengan demikian Abdullah b. Ubayy merasa mendapat tanah yang subur dalam usahanya menyebarkan bibit berita itu, yang sekaligus merupakan obat penawar pula terhadap api kebencian yang ada dalam hatinya. Mati-matian ia berusaha menyebar-luaskan berita itu. Akan tetapi dalam hal ini kalangan Aus telah menentukan sikap hendak membela Aisyah. Aisyah adalah lambang kesucian dan seorang wanita yang berakhlak tinggi, yang patut menjadi teladan Peristiwa ini hampir saja menjadi suatu fitnah di Medinah.

Berita-berita ini kemudian sampai juga kepada Muhammad. Ia jadi gelisah. Apa? Aisyah akan mengkhianatinya? Tidak mungkin! Itu adalah perbuatan keji dan bertentangan. Dengan rasa cinta dan kasihnya kepada Aisyah hal yang hanya didasarkan pada prasangka semacam itu adalah suatu dosa besar. Ya. Tetapi wanita! Cih! Siapa pula gerangan yang dapat menduga lubuk hati mereka. Lagi pula Aisyah masih muda belia. Kalung serupa apa benar yang hilang dan dicarinya pada malam buta serupa itu? Kenapa hal itu tidak disebut-sebut ketika mereka masih berada di markas? Nabi sendiri masih dalam kebingungan, belum tahu ia, akan percayakah atau tidak. Orang tak ada yang berani menyampaikan desas-desus itu kepada Aisyah, meskipun ia sendiri sudah merasa aneh melihat sikap suaminya yang kaku, yang belum pernah di lihatnya dan memang tidak sesuai dengan perangainya yang selalu lemah-lembut, selalu penuh kasih kepadanya.

Kemudian Aisyah jatuh sakit, sakit yang cukup keras. Bila ia datang menengoknya dan ibunya ada di tempat itu merawatnya, tidak lebih ia hanya berkata: “Bagaimana?” Sungguh pilu hati Aisyah merasakannya bila ia melihat sikap Nabi begitu kaku kepadanya. Ia bicara dengan hatinya sendiri, tidakkah karena Juwairia yang sekarang menggantikan tempatnya dalam hati suaminya? Begitu sesak dadanya karena sikap Muhammad yang kaku kepadanya itu, sehingga pernah ia berkata: “Kalau kauijinkan, aku akan pindah ke rumah ibu, supaya ia dapat merawatku.”

Ia pun pindah ke tempat ibunya. Sikapnya yang berlebih-lebihan itu menimbulkan kepedihan pula dalam hatinya sendiri. Lebih dari duapuluh hari ia menderita sakit, baru kemudian ia sembuh. Segala pembicaraan orang yang terjadi tentang dirinya, dia tidak tahu.

Sebaliknya Muhammad, ia merasa sangat terganggu karena berita-berita yang disebarkan orang itu. Sekali ia mengucapkan pidato ini di hadapan orang banyak. “Saudara-saudara, kenapa orang-orang mengganggu saya mengenai keluarga saya. Mereka mengatakan hal-hal yang tidak sebenarnya mengenai diri saya. Padahal yang saya ketahui mereka itu orang baik-baik. Lalu mereka mengatakan sesuatu yang ditujukan kepada seseorang, yang saya ketahui, demi Allah, dia juga orang baik; tak pernah ia datang ke salah satu rumah saya hanya jika bersama dengan saya.”

Kemudian Usaid b. Hudzair berdiri seraya berkata:

Rasulullah, kalau mereka itu dan saudara-saudara kami kalangan Aus, biarlah kami selesaikan, dan kalau mereka itu dan saudara-saudara kami golongan Khazraj perintahkanlah juga kepada kami. Sungguh patut leher mereka itu dipenggal.”

Akan tetapi Sa’d b. ‘Ubada lalu menjawab, bahwa dia berani mengatakan itu karena dia mengetahui bahwa mereka dari golongan Khazraj. Kalau mereka itu dari Aus tentu takkan mengatakannya. Orang ramai lalu mengadakan berundingan dan hampir-hampir terjadi suatu bencana fitnah, kalau tidak karena Rasul segera campur tangan dengan suatu kebijaksanaan yang baik sekali.

Akhirnya, berita itu pun sampai juga kepada Aisyah, diceritakan oleh seorang wanita dari Muhajirin. Terkejut sekali mendengar berita itu, hampir-hampir ia jatuh pingsan. Ia menangis tersedu-sedu, tak dapat lagi ia menahan airmata yang begitu deras berderai, sehingga terasa seolah pecah jantungnya. Ia pergi menjumpai ibunya, dengan membawa beban perasaan yang cukup berat, hampir-hampir terbawa jatuh terhuyung.

Ampun, Ibu,” katanya, dengan suara tersekat oleh air mata. “Orang-orang sudah begitu rupa bicara di luar, tapi samasekali tidak ibu katakan kepada saya.”

Melihat kesedihan yang begitu menekan perasaan, ibunya berusaha hendak meringankannya. “Anakku,” katanya, “Jangan terlampau gundah. Seorang wanita cantik yang dimadu, yang dicintai suami, tidak jarang menjadi buah bibir madunya dan buah bibir orang.”

Akan tetapi dengan kata-kata itu Aisyah belum terhibur juga. Kembali ia merasa lebih pedih lagi bila teringat sikap Nabi kepadanya yang terasa kaku, padahal tadinya sangat lemah-lembut. Ia merasa, bahwa berita itu tampaknya terkesan juga dalam hati Nabi, dan karenanya ia jadi curiga. Tetapi, gerangan apa yang akan dapat diperbuatnya? Akan dimulainya sajakah ia yang bicara serta menyebutkan berita itu, dan akan bersumpah bahwa ia sama sekali tidak berdosa? Jadi kalau begitu ia menuduh diri sendiri, kemudian menyanggah tuduhan itu dengan sumpah dan permohonan. Ataukah sudah saja membuang muka seperti dia, dan juga membalasnya bersikap kepadanya seperti dia, pula? Tetapi dia adalah Rasul Allah, dia telah memilihnya diatas isteri-isterinya yang lain. Bukan salah dia kalau orang sampai menyiarkan desas-desus tentang dirinya, karena dia telah terlambat dari pasukan tentara dan kembali pulang dengan Shafwan. Ya Allah! Berikanlah jalan keluar kepadanya dalam suasana yang demikian rumit itu, supaya terbuka kepada Muhammad keadaan yang sebenarnya tentang dirinya itu, supaya ia pun kembali seperti dalam suasana semula, penuh cinta, penuh kasih dan selalu lemah-lembut kepadanya.

Tetapi keadaan Muhammad sebenarnya tidak lebih enak dari Aisyah. Ia merasa tersiksa karena percakapan orang mengenai dirinya itu, sehingga akhirnya terpaksa ia meminta pendapat sahabat-sahabatnya yang terdekat: apa yang akan diperbuatnya.

Ia pergi ke ramah Abu Bakr, Ali dan Usama bin Zaid dipanggilnya akan dimintai pendapat. Usama ternyata menolak sama sekali segala tuduhan yang dilemparkan orang kepada Aisyah itu. Itu bohong dan tidak punya dasar. Sebagaimana Nabi mengenalnya, orang lain pun juga mengenal dia sebagai seorang wanita yang sangat baik. Sebaliknya Ali. Ia berkata: “Rasulullah, wanita yang lain banyak.” Lalu sarannya supaya menanyai bujang pembantu Aisyah, kalau-kalau ia dapat dipercaya. Pembantu rumah itu pun dipanggil. Ali berdiri menghampirinya, lalu memukulnya yang cukup membuat bujang itu merasa kesakitan seraya berkata: “Katakanlah yang sebenarnya kepada Rasulullah!” “Demi Allah yang saya ketahui dia adalah baik,” jawab pembantu rumah itu. Segala tuduhan jahat yang ditujukan kepada Aisyah dibantahnya.

Akhirnya tak ada jalan lain Muhammad harus menemui sendiri isterinya dan dimintanya supaya mengaku. Ia masuk menemui Aisyah; di tempat itu ada ayahnya dan seorang wanita dari Anshar. Aisyah sedang menangis dan wanita itu juga turut pula menangis. Tiada terderita olehnya betapa dalamnya kesedihannya itu mencabik hati, tergetar ia setelah mengetahui bahwa oleh Muhammad ia dicurigai. Dicurigai oleh itu laki-laki yang sangat dicintainya, dipujanya, laki-laki yang sangat dipercayainya, tempat dia rela mati untuknya.

Melihat kedatangannya itu, disekanya airmatanya, dan terdengar olehnya ketika ia berkata:“Aisyah, engkau sudah mengetahui apa yang menjadi pembicaraan orang. Hendaknya engkau takut kepada Allah jika engkau telah melakukan suatu kejahatan seperti apa yang dikatakan orang. Bertaubatlah engkau kepada Allah, sebab Allah akan menerima segala taubat yang datang dari hambaNya.”

Selesai kata-kata itu diucapkan, Aisyah merasa darahnya sudah mendidih. Airmatanya jadi kering.Ia menoleh ke arah ibunya dan ke arah ayahnya. Ia menunggu bagaimana mereka akan menjawab. Tetapi ternyata mereka diam, tiada sepatah kata pun yang keluar dari mereka. Hati Aisyah makin panas, seraya katanya:

Kenapa kalian tidak menjawab?”Sungguh kami tidak tahu bagaimana harus kami jawab,” jawab mereka.

Lalu mereka berdua kembali terdiam lagi. Ketika itulah ia tak dapat menahan diri. Ia menangis lagi tersedu-sedu. Airmatanya itu telah dapat meredakan api amarah yang menyala-nyala seolah hendak membakar jantungnya. Sambil menangis itu kemudian ia bicara, ditujukan kepada Nabi:

Demi Allah, sama sekali saya tidak akan bertaubat kepada Tuhan seperti yang kausebutkan itu. Saya tahu, kalau saya mengiakan apa yang dikatakan orang itu, sedang Tuhan mengetahui bahwa saya tidak berdosa, berarti saya mengatakan sesuatu yang tak ada. Tetapi kalau pun saya bantah, kalian takkan percaya.” Ia diam sebentar. Kemudian sambungnya lagi: “Saya hanya dapat berkata seperti apa yang dikatakan oleh ayah Yusuf: ‘Maka sabar itulah yang baik, dan hanya Allah tempat meminta pertolongan atas segala yang kamu ceritakan itu!”

Sejenak jadi sunyi, setelah terjadi pergolakan itu. Orang tidak tahu pasti sampai berapa lama hal itu berjalan. Akan tetapi begitu Muhammad hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba ia terlelap oleh kedatangan wahyu, seperti biasanya. Pakaiannya segera diselimutkan kepadanya dan sebuah bantal dari kulit diletakkan di bawah kepalanya.

Dalam hal ini Aisyah berkata: “Saya sendiri sama sekali tidak merasa takut dan tidak peduli setelah melihat kejadian ini. Saya sudah mengetahui, bahwa saya tidak berdosa dan Allah tidak akan berlaku tidak adil terhadap diri saya. Sebaliknya orangtua saya, setelah Rasulullah s.a.w. terjaga, saya kira nyawa mereka akan terbang karena ketakutan, kalau-kalau wahyu dari Allah akan memperkuat apa yang dikatakan orang.”

Setelah Muhammad terjaga, ia duduk kembali, dengan bercucuran keringat. Sambil menyeka keringat dari dahi ia berkata: “Gembirakanlah hatimu, Aisyah! Tuhan telah membebaskan kau dari tuduhan.” “Alhamdulillah,” kata Aisyah.

Kemudian Muhammad pergi ke mesjid, dan membacakan ayat-ayat berikut ini kepada kaum Muslimin:”Mereka yang datang membawa berita bohong itu sebenarnya dari golonganmu juga. Jangan kamu mengira ini suatu bencana buat kamu, tetapi sebaliknya, suatu kebaikan juga buat kamu. Setiap orang dari mereka itu akan mendapat ganjaran hukum atas dosa yang mereka perbuat. Dan orang yang mengetuai penyiarannya diantara mereka itu akan mendapat siksa yang berat. Mengapa orang-orang beriman - laki-laki dan perempuan - ketika mendengar berita itu, tidak berprasangka baik terhadap sesame mereka sendiri, dan mengatakan: ini adalah suatu berita bohong yang nyata sekali? Mengapa dalam hal ini mereka tidak membawa empat orang saksi. Kalau mereka tak dapat membawa saksi-saksi itu, maka mereka itu disisi Allah adalah orang-orang pendusta.

Dan sekiranya bukan karena kemurahan Tuhan dan kasih-sayangNya juga kepadamu – di dunia dan di akhirat – niscaya siksa Allah yang besar akan menimpa kamu, karena fitnah yang kamu lakukan itu. Tatkala kamu menerima berita itu dari mulut ke mulut, dan kamu katakan pula dengan mulut kamu sendiri apa yang tidak kamu ketahui dengan pasti, dan kamu mengiranya hanya soal kecil saja, padahal pada Allah itu adalah perkara besar. Dan tatkala kamu mendengarnya, mengapa tidak kamu katakan saja: tidak sepatutnya kami membicarakan masalah ini. Maha Suci Tuhan. Ini adalah kebohongan besar. Allah memperingatkan kamu, jangan sekali-kali hal serupa itu akan terulang jika kamu memang orang-orang yang beriman. Allah menjelaskan keterangan-keterangan itu kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Mereka yang suka melihat tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, akan mengalami siksaan pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qur’an, 24 : 11-19)

Dalam hubungan ini pula datangnya ketentuan hukuman terhadap orang yang melemparkan tuduhan buta kepada kaum wanita yang baik-baik.

Dan mereka yang melemparkan tuduhan keji kepada wanita-wanita yang baik-baik, lalu mereka tak dapat membawa empat orang saksi, maka deralah mereka dengan delapan puluh kali pukulan, dan jangan sekali-kali menerima lagi kesaksian mereka itu. Mereka itu adalah orang-orang yang jahat.” (Qur’an, 24: 4)

Untuk melaksanakan ketentuan Qur’an, mereka yang telah menyebarkan berita keji itu – Mistah b. Uthatha, Hassan b. Thabit dan Hamna bt. Jahsy, masing-masing mendapat hukuman dera delapanpuluh kali. Sekarang kembali Aisyah seperti dalam keadaannya semula, dalam rumah tangga dan dalam hati Muhammad.

Sebagai komentar atas peristiwa ini Sir William Muir menyebutkan sebagai berikut: “Sejarah Aisyah, baik sebelum atau sesudah peristiwa itu mengharuskan kita mengambil keputusan yang pasti bahwa dia, adalah bersih dari segala tuduhan itu dan mengharuskan kita pula untuk tidak ragu-ragu lagi menggugurkan segala macam prasangka terhadap dirinya.”

Akan tetapi sesudah itu pun Hassan b. Thabit kembali diterima dan mendapat kasih sayang Muhammad lagi. Demikian juga Muhammad minta kepada Abu Bakr, supaya jangan mengurangi kasih-sayangnya kepada Mistah seperti yang sudah-sudah. Sejak itu selesailah peristiwa itu dan tidak lagi meninggalkan bekas di seluruh Medinah. Aisyah pun cepat pula sembuh dari sakitnya, lalu kembali ke rumahnya di tempat Rasul, dan kembali pula ke dalam hati Rasul, kembali dalam kedudukannya yang tinggi dalam hati sahabat-sahabatnya seluruh kaum Muslimin. Dengan demikian Nabi dapat kembali mengabdikan diri kepada ajarannya dan kepada pengarahan kaum Muslimin sebagai suatu persiapan guna menghadapi perjanjian Hudaibiya. Semoga Allah memberikan kemenangan yang nyata kepada umat Muslimin.

Catatan kaki:

1 Qur’an 53

2 Sebuah desa atau pangkalan air terletak antara Mekah dengan Medinah, kira-kira 66 km dari Mekah (A).

3 min ka’abat’l-munqalab, ‘menarik diri dari perjalanan dan kembali ke kampung halaman, yakni ia kembali ke rumah dengan melihat segala sesuatu yang menyedihkan’ (N), (A).

4 Aslinya secara harfiah: ‘Gemukkan anjingmu, engkau akan dimakannya.’ (A)


semoga bermanfaat untuk kita

Antara Perang Khandaq dan Hudaibiyah (bagi II)

Antara Perang Khandaq dan Hudaibiyah (bagi II)

Posted by Bustamam Ismail on October 3, 2010

Demikian inilah persiapan kehidupan sosial yang baru yang dikehendaki oleh Islam untuk suatu masyarakat umat manusia. Landasannya ialah mengubah sama-sekali pandangan masyarakat itu akan hubungan laki-laki dengan wanita. Ia menghendaki dihapusnya segala tanggapan tentang sex (libido) yang menguasai pikiran manusia selama ini, dan dalam segala hal menganggapnya sebagai satu-satunya yang berkuasa. Dengan demikian yang dikehendaki ialah mengarahkan masyarakat itu sesuai dengan tujuan hidup umat manusia yang lebih tinggi dengan tidak mengurangi kesenangan hidupnya, yaitu kesenangan hidup yang tidak akan mengurangi pula kebebasannya untuk berkeinginan – apalagi sampai akan menghilangkan kebebasan untuk berkeinginan ini - dan yang akan melahirkan hubungan manusia dengan semesta alam. Dari tingkat hidup mengolah tanah, dari tingkat hidup usaha perindustrian dan perdagangan, yang bagaimana pun, ke tingkat yang lebih tinggi, setaraf dengan kehidupan orang-orang suci, dan akan berkomunikasi dengan cara malaikat. Puasa, salat, zakat yang telah ditentukan oleh Islam, ialah alat untuk mencapai taraf ini; yang akan mencegah perbuatan keji, kemungkaran serta pelanggaran. Sekaligus ia akan membersihkan jiwa dan hati orang dari segala penyakit menghambakan diri selain kepada Allah, disamping memperkuat tali persaudaraan antara sesame orang beriman, memperkuat hubungan antara manusia dengan segala yang ada dalam semesta alam ini.

A. Islam menyusun Masyarakat baru

Penyusunan suatu kehidupan sosial secara berangsur-angsur sebagai suatu persiapan kearah transisi besar yang telah disediakan oleh Islam bagi umat manusia ini, tidak mengurangi pihak Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya dalam menantikan kesempatan hendak menghancurkan Muhammad.

Tetapi juga Muhammad tidak kurang pula selalu waspada. Cepat-cepat ia bergerak untuk menanamkan rasa takut dalam hati pihak musuh, bila dianggap perlu.

Itu sebabnya, enam bulan kemudian setelah Banu Quraiza dapat dihancurkan, ia sudah merasakan adanya suatu gerakan lain di sekitar Mekah. Terpikir olehnya akan membalas kematian Khubaib b. ‘Adi dan kawan-kawannya yang telah dibunuh oleh Banu Lihyan di Raji’ dua tahun yang lalu itu. Akan tetapi maksudnya ini tidak diumumkan, kuatir pihak musuh akan segera berjaga-jaga. Untuk dapat menyergap pihak musuh ia pura-pura pergi ke Syam.

Dengan membawa perlengkapan perang ia berangkat menuju ke arah utara. Setelah yakin sekali bahwa Quraisy dan sekutu-sekutunya yang berdekatan tak ada yang menyadari maksudnya, ia pun membelok ke arah Mekah dengan berjalan lebih cepat lagi. Tetapi sesampainya di perkampungan Banu Lihyan di ‘Uran, masyarakat setempat telah melihatnya ketika pertama kali ia menyusur jalan ke selatan. Dari mereka inilah Banu Lihyan mengetahui bahwa ia menuju ke tempat mereka. Mereka pun segera berlindung ke puncak-puncak bukit dengan membawa harta-benda yang ada. Nabi tidak sampai berhasil menyergap mereka.

Ketika itu ia lalu menugaskan Abu Bakr dengan membawa seratus orang pasukan menuju ‘Usfan2 tidak jauh dari Mekah. Rasulullah sendiri kemudian kembali ke Medinah. Ketika itu panas musim sedang sampai di puncaknya, sehingga Nabi berkata: “Yang kembali dan yang bertobat jika dikehendaki Allah kiranya kepada Tuhan juga kami memuji syukur. Saya berlindung kepada Allah dari perjalanan yang sangat meletihkan ini, serta kedukaan karena diri kembali dari perjalanan3 dengan keburukan yang tampak pada keluarga dan harta-benda.”

B. Uyaina b Hishn menyerang pinggir kota Madinah

Baru beberapa malam saja Muhammad kembali ke Medinah, tiba-tiba datang ‘Uyaina b. Hishn menyerang pinggiran kota itu. Di tempat tersebut ada beberapa ekor unta yang digembalakan, dijaga oleh seorang laki-laki dengan isterinya. Laki-laki itu oleh ‘Uyaina dan kawan-kawannya dibunuh, unta diambil dan perempuan itu dibawa. Mereka segera pergi dengan perkiraan bahwa mereka telah dapat menyelamatkan diri dari pengejaran. Tetapi sebenarnya Salama b. ‘Amr bin’l-Akwa’ yang sudah lebih dulu memacu kudanya menuju hutan dengan bersenjatakan panah dan busur, ketika melintasi Thaniat’l-Wada’ dan menjenguk ke bawah dari arah bukit Sal’ rombongan yang sedang menggiring unta dan membawa wanita itu dilihatnya. Ketika itu pula ia berteriak meminta bantuan sambil terus mengikuti jejak rombongan itu. Ia melepaskan anak panahnya ke arah mereka, setelah ia berada agak lebih dekat.

Dalam pada itu tiada henti-hentinya ia berteriak. Dan teriakan Salama itu akhirnya sampai juga kepada Muhammad. Maka kemudian ia pun memanggil-manggil penduduk Medinah: Ada bahaya! Ada bahaya! Seketika itu juga pahlawan-pahlawan kota datang dari segenap penjuru. Setelah mendapat perintah mereka pun berangkat mengikuti jejak gerombolan itu. Dia sendiri mempersiapkan pasukannya lalu berangkat menyusul mereka. Ia berhenti di sebuah gunung di bilangan Dhu Qarad.

Sementara itu ‘Uyaina dan anak buahnya sudah mempercepat langkah, ingin lekas-lekas bergabung dengan Ghatafan dan melepaskan diri dari pengejaran Muslimin. Akan tetapi pasukan Medinah berhasil mencapai barisan belakang mereka. Sebahagian unta itu dapat diselamatkan kembali dari tangan mereka. Kemudian Muhammad datang menyusul dan memberikan bantuannya. Wanita beriman yang dibawa oleh orang-orang Arab itu pun selamat pula.

Ada beberapa orang dari sahabat-sahabat Nabi, terdorong oleh rasa panas hati, ingin terus mengejar ‘Uyaina. Tetapi dilarang oleh Rasulullah, sebab sudah diketahuinya bahwa ‘Uyaina dan anak buahnya sudah sampai ke tempat Ghatafan dan berlindung kepada mereka. Bila kaum Muslimin kemudian kembali ke Medinah, isteri penjaga itu pun datang pula menyusul di atas seekor unta kepunyaan kaum Muslimin. Wanita itu sudah bernadar, bahwa kalau unta itu dapat diselamatkan, akan disembelihnya seekor sebagai kurban buat Tuhan. Tetapi setelah nadanya disampaikan kepada Nabi’

Nabi berkata: “Suatu balasan yang buruk sekali, Tuhan sudah mengantarkan engkau dan menyelamatkan engkau dengan unta itu, lalu unta itu yang akan kausembelih. Nadar dengan berdosa kepada Tuhan tidak berlaku, juga atas sesuatu yang tidak kaupunyai.”

Sesudah itu Muhammad tinggal di Medinah hampir dua bulan sudah. Kemudian terjadi suatu ekspedisi terhadap Banu Mushtaliq di Muraisi’ – suatu ekspedisi yang telah dijadikanbahan studi oleh setiap ahli sejarah dan penulis sejarah hidup Nabi. Soalnya bukan karena ekspedisi itu sangat penting, atau karena kedua belah pihak – Muslimin dan musuhnya - bertempur mati-matian sampai melampaui batas, tetapi karena kenyataan adanya malapetaka yang kemudian hampir menjalar kedalam tubuh

Muslimin sendiri kalau tidak segera Rasul mengambil langkah yang sangat baik sekali, tegas dan meyakinkan; juga karena kemudian Rasul kawin dengan Juwairiah bt. al-Harith, dan karena ekspedisi ini telah pula menimbulkan hadith’l-ifk -peristiwa kebohongan - tentang diri Aisyah. Peristiwa ini telah menempatkannya kedalam persoalan iman dan kekuatan hati – sementara usianya masih enambelas tahun – sehingga segalanya tidak akan berdaya, hanya karena keagungan iman dan kekuatan hati itu jugalah.

Bahwa kegiatan Banu Mushtaliq – yang merupakan bagian dari Khuza’a - yang telah mengadakan persepakatan dalam perkampungan mereka di dekat Mekah, beritanya telah sampai pula kepada Muhammad. Mereka sedang mengerahkan segala potensi dengan maksud hendak membunuh Muhammad dengan dipimpin oleh komandan mereka Al-Harith b. Abi Dzirar. Rahasia ini diperoleh Muhammad dari salah seorang orang badwi. Maka iapun cepat-cepat berangkat sementara mereka sedang lengah, seperti biasanya bila ia menghadapi musuh. Pimpinan pasukan Muhajirin di tangan Abu Bakr dan pimpinan pasukan Anshar di tangan Sa’d b. ‘Ubada. Pihak Muslimin ketika itu sudah berada di sebuah pangkalan air yang bernama Muraisi’, tidak jauh dari wilayah Banu Mushtaliq. Kemudian Banu Mushtaliq dikepung. Pihak-pihak yang tadinya datang hendak memberikan pertolongan sekarang mereka sudah lari. Dari Banu Mushtaliq sepuluh orang terbunuh’ dari Muslimin seorang, konon bernama Hisyam b. Shubaba, dibunuh oleh salah seorang dari Anshar, yang keliru dikira dari pihak musuh.

Setelah terjadi sedikit saling hantam dengan panah, tak ada jalan lain buat Banu Mushtaliq mereka harus menyerah dibawah tekanan pihak Muslimin yang kuat dan bergerak cepat itu. Mereka dibawa sebagai tawanan perang, begitu juga wanita mereka, unta dan binatang ternak yang lain. Dalam pasukan tentara itu Umar ibn’l-Khattab mempunyai orang upahan yang bertugas menuntunkan kudanya. Selesai pertempuran orang ini pernah berselisih dengan salah seorang dari kalangan Khazraj karena soal air. Mereka jadi berkelahi dan sama-sama berteriak. Pihak Khazraj berkata: “Saudara-saudara Anshar!” Sedang orang sewaan Umar berkata pula: “Saudara-saudara Muhajirin!”

C. Abdullah b. Ubayy pemimpin Munafiq

Teriakan demikian itu terdengar juga oleh Abdullah b. Ubayy, yang ketika itu bersama-sama dengan orang-orang munafik turut pula dalam ekspedisi dengan harapan akan beroleh bagian rampasan perang. Dendamnya kepada pihak Muslimin dan kepada Muhammad segera timbul. Dalam hal ini ia berkata kepada kawan-kawannya:

Di kota kita ini sudah banyak kaum Muhajirin. Penggabungan kita dengan mereka akan seperti kata peribahasa: ‘Membesarkan anak harimau.’4 Sungguh, kalau kita sudah kembali ke Medinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina.”

Kemudian kepada golongannya yang hadir waktu itu ia berkata: “Inilah yang telah kamu perbuat sendiri. Kamu benarkan mereka tinggal di negerimu ini, dan kamu bagi harta-bendamu dengan mereka. Demi Allah, kalau apa yang ada pada kamu itu kamu pertahankan, pasti mereka akan beralih ke tempat lain.”

Percakapannya itu dibawa orang kepada Rasulullah, yang ketika itu baru selesai menghadapi musuh. Ketika itu Umar ibn’l-Khattab hadir. Mendengar itu Umar marah sekali. “Perintahkan kepada Bilal supaya membunuhnya,” katanya.

Seperti biasanya, disini Nabi memperlihatkan sikap sebagai seorang pemimpin yang sudah matang, bijaksana dan punya pandangan jauh. Berpaling kepada Umar ia berkata: “Umar bagaimana kalau sampai menjadi pembicaraan orang dan orang mengatakan, bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri?”

Akan tetapi dalam pada itu ia sudah mempertimbangkan, bahwa soalnya akan jadi rumit sekali kalau tidak segera diambil langkah yang tegas. Oleh karena itu diperintahkannya agar diumumkan untuk segera berangkat dalam waktu yang tidak biasanya kaum Muslimin meninggalkan tempat itu. Berita yang disampaikan orang kepada Nabi itu sampai juga kepada Ibn Ubayy. Cepat-cepat ia menemui Nabi hendak membantah adanya berita yang dihubungkan kepadanya itu. Ia bersumpah atas nama Tuhan, bahwa dia tidak mengatakan dan tidak pernah bicara begitu. Tetapi ini tidak mengubah keputusan Muhammad hendak meninggalkan tempat itu. Bahkan sepanjang hari hingga sore dan sepanjang malam hingga pagi harinya lagi terus-menerus ia memimpin perjalanan itu hingga pada pertengahan hari kedua tatkala terik matahari sudah terasa sangat mengganggu.

Setelah sampai, karena sudah sangat lelah, begitu badan mereka menyentuh lantai, mereka pun segera tertidur. Karena sangat lelah orang sudah lupa cakap Ibn Ubayy. Sesudah itu mereka pulang ke Medinah dengan membawa rampasan perang dan orang-orang tawanan Banu Mushtaliq, diantaranya Juwairia bint’l-Harith b. Abi Dzirar, pemimpin dan komandan daerah yang sudah dikalahkan itu. Kaum Muslimin sudah sampai di Medinah. Abdullah ibn Ubayy pun sudah di sana. Ia sudah tidak pernah tenang, hatinya gelisah selalu, terbawa oleh rasa dengki kepada Muhammad dan kepada Muslimin. Pura-pura ia sebagai orang Islam, bahkan sebagai orang beriman, meskipun masih gigih ia membantah berita yang bersumber dari dia ditujukan kepada Rasulullah di Muraisi’ itu. Pada waktu itulah Surah Munafiqin ini turun:

“Mereka itulah yang berkata: “Jangan memberikan bantuan apa-apa kepada mereka yang di sekitar Rasulullah, supaya mereka berpisah.” Padahal segala perbendaharaan langit dan bumi milik Allah. Tetapi orang-orang munafik itu tidak mengerti. Kata mereka: “Kalau kita sudah kembali ke Medinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina.” Padahal sebenarnya kekuasaan itu milik Allah dan Rasul-Nya beserta orang-orang yang beriman, hanya saja orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (Qur’an, 63: 7-8)

D. Putra Abdullah b. Ubay memohon kepada Nabi UntukMembunuh bapak yang munafiq.

Dengan demikian lalu ada orang-orang yang mengira bahwa ayat-ayat itu merupakan hukuman terhadap Abdullah bin Ubayy, dan Muhammad pasti akan memerintahkan supaya ia dibunuh. Ketika itu Abdullah b. Abdullah b. Ubayy, yang sudah menjadi seorang Muslirn yang baik, datang dengan mengatakan:

Rasulullah,saya mendengar tuan ingin supaya Abdullah b. Ubayy itu dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah pekerjaan itu kepada saya. Akan saya bawakan kepalanya kepada tuan. Orang-orang Khazraj sudah mengetahui, tak ada orang yang begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya lakukan. Saya kuatir tuan akan menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, maka saya takkan dapat menahan diri, membiarkan orang yang membunuh ayah saya itu berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh dia dan berarti saya membunuh orang beriman yang membunuh orang kafir. Maka saya akan masuk neraka.”

Begitulah kata-kata Abdullah b. Abdullah b. Ubayy kepada Muhammad. Saya rasa tak ada suatu kata-kata yang lebih dalam dari ucapannya itu dengan begitu kuat meskipun singkat dalam melukiskan suasana batin yang sedang gelisah, batin yang dibawa oleh pengaruh pergolakan yang dahsyat sekali dalam jiwanya: gelisah karena pengaruh rasa berbakti kepada ayah dan pengaruh iman yang sungguh-sungguh disamping rasa harga diri sebagai orang Arab serta rasa cintanya akan kesejahteraan Muslimin supaya jangan tirnbul dendam yang berlarut-larut.

Inilah perasaan seorang anak yang melihat ayahnya akan dibunuh. Dia tidak minta kepada Nabi supaya ayahnya jangan dibunuh, sebab dia Nabi, dia akan tunduk kepada perintah Tuhan, dan yakin pula akan keingkaran ayahnya. Tetapi karena kuatir akan sampai menuntut balas kepada orang yang kelak akan membunuh ayahnya yang diharuskan oleh rasa baktinya kepada ayah dan oleh rasa kehormatan dan harga diri - maka dia sendirilah yang akan memikul beban itu, dia sendiri yang akan membunuh ayahnya; kepalanya akan dibawanya sendiri kepada Nabi, betapapun itu akan sangat menyayat hati dan perasaannya.

Dengan imannya itu ia merasa agak mendapat hiburan juga menghadapi hal luar biasa yang menekan perasaan itu.Ia kuatir akan masuk neraka apabila ia membunuh seorang mukmin yang telah mendapat perintah Nabi membunuh ayahnya. Sungguh suatu perjuangan yang sangat dahsyat antara iman di satu pihak dengan perasaan dan moral di pihak lain. Suatu perjuangan batin yang sungguh fatal menghunjam ke dalam hati, sungguh tragis! Tetapi, tahukah kita betapa jawaban Nabi kepada Abdullah setelah mendengar itu?

Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama dia masih bersama dengan kita.”

Memaafkan. Sungguh indah dan agung maaf itu. Muhammad berlaku begitu baik kepada orang yang telah menghasut penduduk Medinah supaya memusuhinya dan memusuhi sahabat-sahabatnya. Biarlah sikap baiknya dan kemaafannya itu memberi bekas yang lebih dalam daripada kalau ia menjatuhkan hukuman kepada orang itu.

Sejak itu apabila Abdullah b. Ubayy mencoba mau bermain api, golongannya sendiri menegurnya, menyalahkannya dan membuatnya ia merasa bahwa sisa hidupnya itu dari pemberian Muhammad.

Tatkala pada suatu hari Nabi sedang bicara-bicara dengan Umar mengenai masalah-masalah kaum Muslimin, sampai juga menyebut-nyebut Abdullah b. Ubayy’ begitu juga tentang golongannya sendiri yang menegurnya dan menyalahkannya itu.

Umar, bagaimana pendapatmu,” kata Muhammad. “Ya, kalau kau bunuh dia ketika kaukatakan kepadaku supaya dibunuh saja, tentu akan jadi gempar karenanya. Kalau sekarang kusuruh bunuh tentu akan kaubunuh.” Sungguh sudah saya ketahui, bahwa perintah Rasulullah lebih besar artinya daripada perintah saya.”

Semua peristiwa itu terjadi setelah kaum Muslimin – dengan membawa tawanan dan rampasan perang – kembali ke Medinah. Akan tetapi lalu ada suatu peristiwa yang pada mulanya tidak memberi bekas apa-apa, tetapi kemudian menjadi pembicaraan yang panjang juga. Soalnya ialah Nabi mengadakan undian terhadap isteri-isterinya bila akan berangkat mengadakan ekspedisi. Barangsiapa yang keluar namanya maka dialah yang ikut serta. Sorenya pada waktu mau mengadakan ekspedisi terhadap kepada Banu Mushtaliq, maka yang keluar ialah nama Aisyah. Jadi dia yang dibawa. Aisyah adalah seorang wanita yang berperawakan kecil, ringan. Bila pelangkin sudah diantarkan orang sampai di depan pintu rumahnya, dia pun naik. Lalu mereka membawanya pada punggung unta. Karena ringannya, mereka hampir tidak dapat merasakan.

Selesai Nabi dari tugas perjalanan itu, dengan rombongannya ia berangkat lagi meneruskan perjalanan yang panjang dan sangat meletihkan seperti sudah kita sebutkan. Sesudah itu ia menuju Medinah. Sampai di suatu tempat dekat kota ia berhenti dan bermalam di tempat itu. Kemudian diumumkan kepada rombongan, perjalanan akan diteruskan lagi.

E.Aisyah ketinggalan dari rombongan

Karena hendak menunaikan hajat, Aisyah ketika itu sedang keluar dari kemah Nabi, sedang pelangkin sudah menunggu di depan kemah, menantikan ia masuk kembali. Aisyah mengenakan seutas kalung yang ketika sedang menyelesaikan keperluannya, kalung itu lepas dari lehernya. Sesudah siap kembali ia akan berangkat, dirabanya kalung itu sudah tidak ada. Ia kembali menyusur jalan sambil mencari-carinya. Dan barangkali lama juga ia mencarinya, baru kemudian benda itu diketemukannya kembali. Mungkin sementara itu ia terlena karena sudah begitu lelah selepas perjalanan itu. Bila ia kembali ke markas untuk kemudian naik ke atas pelangkin, ternyata pelangkin itu sudah dipasang kembali di punggung unta dengan perkiraan bahwa dia sudah berada didalamnya lalu mereka berangkat juga dengan anggapan bahwa mereka sedang membawa Umm’l-Mu’minin, isteri yang sangat dekat ke dalam hati Nabi. Dalam markas itu orang yang akan dapat ditanyai tidak ada. Dia tidak merasa takut bahkan dia yakin bahwa apabila rombongan itu nanti mengetahui dia tidak ada, tentu mereka akan kembali ke tempatnya semula.

Jadi lebih baik dia tidak meninggalkan tempat itu; daripada mengarungi padang pasir tanpa pedoman; ia akan sesat karenanya. Tanpa merasa takut, dengan berselimutkan pakaian luarnya ia berbaring di tempat itu, sambil menunggu orang yang akan datang mencarinya.

Sementara ia sedang berbaring itu, Shafwan bin’l-Mu’attal lewat di tempat tersebut, yang juga terlambat dari rombongan tentara karena harus menunaikan urusannya pula. Ia sudah pernah melihatnya sebelum ada ketentuan hijab terhadap isteri-isteri Nabi. Setelah melihatnya, ia terkejut sekali dan surut sambil berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un! Isteri Rasulullah s.a.w.? Kenapa sampai tertinggal? Semoga rahmat Tuhan juga.” Aisyah tidak menjawab. Didekatkannya untanya itu dan dia sendiri mundur sambil berkata: “Naiklah.”

Setelah Aisyah naik kemudian ia berangkat dengan unta itu cepat-cepat hendak menyusul rombongan yang lain. Tetapi tidak terkejar juga, karena ternyata mereka mempercepat perjalanan, ingin segera sampai di Medinah, agar dapat beristirahat setelah mengalami perjalanan yang cukup meletihkan, yang juga diperintahkan oleh Rasulullah guna menghindarkan fitnah yang hampir-hampir terjadi akibat perbuatan Ibn Ubayy itu.

Shafwan memasuki Medinah pada siang hari disaksikan oleh orang banyak sementara Aisyah di atas untanya. Sampai di depan rumahnya dalam rangkaian rumah isteri-isteri Rasul, ia pun masuk. Tak terlintas dalam pikiran orang bahwa hal ini akan dijadikan buah bibir, atau akan menimbulkan syak karena ia terlambat dari rombongan, juga dalam hati Rasul tidak terlintas suatu prasangka buruk terhadap Shafwan, seorang orang mukmin yang beriman teguh.

Sumber: S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D

oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980

Powered By Blogger

Entri Populer