Cerita Saya

Foto saya
Selalu belajar dan mencari ilmu yang berguna/bermanfaat untuk pribadi dan masyarakat.

Rabu, 22 September 2010

Mengapa Harus Membiarkan Pl a y b o y ?

assalaamu’alaikum wr. wb.

Ada banyak alasan yang dikemukakan oleh para pembela majalah Playboy Indonesia untuk berkelit dari segala tuduhan. Serangan dari pihak anti-Playboy sudah teramat jelas : Playboy dan segala produknya telah merusak moral banyak bangsa, dan kini juga mengancam Indonesia. Marilah kita tunaikan hak jawab para pendukung Playboy-isme ini dan menjawabnya dengan akal yang jernih dan sehat.

Ini adalah seni, bukan hawa nafsu !
Ini adalah pernyataan subjektif yang sulit sekali dicek kebenarannya, kecuali dengan
lie detector, hipnotis atau penggunaan obat-obatan tertentu untuk mencegah si pengucapnya berbohong. Bagaimana pun, Taufik Ismail pernah memberikan sebuah parameter sederhana untuk mengecek apakah suatu karya sastra itu porno atau tidak.Caranya adalah dengan mengganti semua karakter perempuan dalam karya tersebut dengan ibu, bibi, kakak perempuan, adik perempuan, dan putri-putri kita. Jika kita merasa tidak nyaman, maka itulah indikasi pertama adanya unsur kepornoan dalam sebuah cerita. Logika yang sama bisa digunakan untuk Playboy. Meski demikian, dalam sebuah peradaban yang sudah buta mata hatinya, bisa jadi cara ini sudah tidak ampuh lagi. Saya pribadi lebih memilih lie detector, hipnotis, atau obat-obatan. Kalau memang jujur, mengapa harus takut?

Sensual tidak ekivalen dengan porno
Lagi-lagi masalah kejujuran.
Ada orang yang bilang bahwa supermodel perempuan yang berpakaian bikini tidak membuatnya terangsang. Bisa jadi itu benar, dalam kasus kaum homoseksual. Akan tetapi, kebanyakan hanya sekedar lip service. Kenyataannya mereka hanya ingin agar para model tersebut memenuhi fantasi liarnya. Dan harus diakui, sebagian perempuan justru menikmati peran sebagai objek fantasi kotor lelaki sedunia.

Bagaimana pun kita mesti objektif dan melihat pada kenyataan di lapangan. Jaman sekarang, anak SMP memperkosa balita pun ada, bahkan mahasiswa yang menodai nenek-nenek pun ada.Polanya sudah kelihatan : mereka sama-sama mengkonsumsi video atau gambar-gambar porno sampai-sampai membuatnya tidak sabaran lagi. Dan produk-produk kotor semacam itu ada juga yang menyebutnya ‘adult entertainment’, ‘adult material’, ‘tujuh belas tahun ke atas’, dan sebagainya. Semua istilah tersebut (pada kenyataannya) merujuk pada satu hal : porno.

Kalau mau bicara soal kejujuran memang tidak akan ada habis-habisnya. Noam Chomsky pernah bercerita tentang sebuah buku tebal yang bercerita bahwa orang-orang Palestina bukanlah penduduk asli di tanah airnya itu, melainkan sama-sama pendatang sebagaimana orang-orang Yahudi. Buku itu dilengkapi dengan ratusan catatan kaki yang – setelah dicek secara seksama – semuanya fiktif! Manusia akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan mukanya, termasuk berbohong. Jadi, marilah kita bicara mengenai hal-hal yang kuantitatif, terukur, dan tidak subjektif.

Playboy Indonesia tidak bermuatan pornografi
Kata “tidak” pada pernyataan di atas semestinya diganti dengan kata “belum”. Bagaimana pun
brand Playboy sudah dikenal luas sebagai icon pornografi dunia. Jika memang tidak berniat memuat material pornografi, mengapa tidak berafiliasi dengan majalah-majalah lain saja? Masih banyak majalah lain yang tidak menyertakan muatan-muatan pornografi yang bisa dijual diIndonesia. Lagipula, batasan pornografi sendiri juga berkembang dari waktu ke waktu, jika memang harus mengikuti keinginan manusia. Dahulu, Marilyn Monroe yang terlihat sedikit betis dan pahanya karena gaunnya tertiup angin saja sudah dianggap kelewat batas. Sekarang, tubuh perempuan yang tidak ditutupi sehelai benang pun bisa-bisanya disebut karya seni. Begitulah jadinya kalau mau tunduk pada pada standar manusia yang tidak konsisten.

Bukan hanya Playboy ...
Seratus! Setuju sepenuhnya! Memang bukan hanya Playboy yang memuat pornografi! Oleh karena itu, setelah Playboy,
insya Allah akan banyak majalah, tabloid, koran dan bahan bacaan lainnya yang harus dihabisi. Masalah siapa yang kebagian giliran duluan, itu tidaklah terlalu masalah.Justru Playboy sebagai icon pornografi paling terkenal di dunia sangatlah layak untuk dijadikan sasaran tembak pertama dan utama.

Playboy Indonesia beda !
Ini sama saja dengan bir yang mengaku tidak mengandung alkohol. Anggaplah memang benar sebuah perusahaan bisa memproduksi bir tanpa alkohol, namun jika perusahaan tersebut tetap memproduksi bir standar (yaitu yang mengandung alkohol), maka produknya tetaplah haram.Mereka yang bilang bahwa minuman beralkohol sajalah yang haram berarti tidak paham syariat Islam yang sesungguhnya. Islam selalu memboikot keburukan dan pelakunya.
Khamr adalah suatu bagian dari sebuah dosa besar, dan karenanya, tidak hanya peminumnya yang mesti diluruskan, namun juga penjualnya, pabriknya, para pekerja di pabriknya, dewan direksi perusahaan produsennya, para pemegang saham di perusahaan tersebut, bahkan sampai tukang sapu dan satpam yang bekerja di perusahaan tersebut. Katakanlah Playboy Indonesia memang tidak memuat pornografi sebagaimana Playboy di negara lain, tetap saja tidak wajar bagi mereka untuk mengibarkan bendera Playboy dengan imbalan menyetor sekian persen dari keuntungan pada induk perusahaan yang memproduksi pornografi. Memberi uang pada pelaku kebejatan sama saja dengan mendukung usaha mereka.

Kalau tidak suka, jangan beli !
Nah, ini sudah jelas bukan ucapan orang yang mengerti Islam barang secuil pun. Dalam Islam, menolak dalam diam adalah bentuk terlemah dari iman. Ya, memang manusia dengan selemah-lemahnya iman pun tetap bisa dibilang beriman, dan setiap orang yang beriman pasti akan masuk surga, walaupun barangkali mesti ‘dicuci’ dulu dosa-dosanya di neraka. Akan tetapi, neraka bukanlah ancaman yang bisa dianggap remeh. Meskipun kemungkinan besar tidak akan abadi di
sana, namun orang beriman yang akalnya masih sehat tidak mau berjudi dengan nasibnya di akhirat. Karena itu, seorang Muslim yang otaknya masih berfungsi tidak akan puas hanya dengan selemah-lemahnya iman. Terlalu banyak hal yang dipertaruhkan disini, Bung!

Bagaimana dengan FPI dkk. ?
Playboy
Indonesia selalu merasa bahwa musuh besarnya adalah FPI dan semacamnya. Ini adalah bentuk dari pelarian, yaitu dengan menunjuk hidung orang lain yang mereka anggap lebih jelek daripada dirinya, padahal itu adalah soal lain lagi. Anti dengan Playboy tidak mesti sejalan dengan FPI. Jika mereka menganggap cara-cara yang dilakukan oleh FPI tidak baik, maka mereka juga harus diberi tahu bahwa banyak orang lain yang menggunakan cara-cara lain untuk menentang Playboy.

Cara pelarian seperti ini tipikal sekali untuk digunakan oleh kaum liberalis-sekularis untuk melarikan diri dari masalah. Ketika mempromosikan sekularisme, mereka akan segera merujuk pada tindakan-tindakan ekstrem yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka sebut ‘fanatikus agama’ atau ‘fundamentalis’. Padahal, tindakan yang dilakukan oleh kaum sekular fanatik juga tidak lebih baik. Apa yang dilakukan oleh para penjaga di penjara Abu Gharib bukanlah hasil perilaku orang-orang yang taat beragama, melainkan murni sekular. Kekejaman Zionisme juga bukan berasal dari keyakinan yang kuat terhadap agama Yahudi. Bahkan dengan sangat tidak masuk akalnya, ada pula yang melarang jilbab hanya karena ia menunjukkan simbol agamanya secara ‘ofensif’. Ofensif apanya? Siapa yang merasa diserang? Entahlah.

Jadi, berhentilah lari dari kenyataan. Playboy tetaplah Playboy yang misinya adalah menebar pornografi di seluruh dunia. Tidak mungkin berdamai dengan Islam.

wassalaamu’alaikum wr. wb.


semoga bermanfaat untuk kita

Kepemilikan Atas Sejarah : Para 'Pemenang Sementara'

assalaamu’alaikum wr. wb.

Setiap rejim yang mendapatkan gelar ‘pemenang sementara’ memang selalu memaksakan sejarah sebagaimana yang dikehendakinya. Orang-orang Eropa tidak mau mengaku bersalah atas invasinya terhadap masyarakat Asia dan Afrika yang sebenarnya telah menerima kedatangan mereka dengan tangan terbuka.Kaum Zionis berusaha menutup-nutupi kenyataan bahwa kemalangan mereka di Eropa dahulu sebenarnya tak ada hubungannya dengan rakyat Palestina yang kini mereka tindas. Mereka juga menutup semua celah agar rahasia konspirasi antara Nazi dan Zionisme Internasional tidak terbuka lebar.

Di Mesir, musuh rejim pemerintah yang paling utama adalah Ikhwanul Muslimin. Ribuan aktifisnya ditangkap, dipenjarakan, dan entah apa yang mereka alami di penjara-penjara yang kejamnya bukan main itu. Mereka diperlakukan bagai binatang ternak yang tidak tahu diri hendak mengkudeta pemiliknya. Padahal, Ikhwanul Musliminlah yang dahulu mempelopori perlawanan terhadap penjajah (yaitu Inggris) dan melawan Zionis yang mengancam semua negara di Timur Tengah. Sebaliknya, orang-orang yang kini menuduh mereka sebagai gerakan sektarian, fundamentalis, fanatik, justru tidak memiliki andil apa-apa dalam membebaskan negeri Mesir.

Apa yang terjadi setelah Turki memutuskan untuk menjadi negara sekuler? Apakah kedudukannya menjadi lebih terhormat di mata dunia? Apakah martabatnya semakin menjulang tinggi? Adakah negeri malang itu diterima di tengah-tengah dunia modern yang identik dengan Barat?Kenyataannya, hingga kini ia masih ‘diterima setengah hati’ oleh bangsa-bangsa Eropa, dan diperlakukan sebagai ‘negeri kelas tiga’. Tidak ada kehormatan bagi bangsa yang mengekor dan tunduk dengan segenap kerendahan diri di hadapan peradaban lain. Turki hanya bermartabat ketika Islam memerintah. Sayangnya, guru-guru sejarah di Indonesia masih kerap kali menyebut Mustafa Kemal (yang memberi dirinya sendiri gelar ‘Attaturk’ yang artinya “Bapak Turki”) sebagai tokoh reformis di negerinya. Wajar, karena untuk sementara ini rejim sekuler memang masih menjadi ‘pemenang’ di Turki.

Di negeri kita, ketika bicara soal terorisme di Poso, tiba-tiba saja semua perhatian tertuju pada sebuah pesantren. Banyak yang sudah lupa sama sekali bahwa justru pihak pesantrenlah yang dahulu disembelih oleh para teroris yang sebenarnya, dibantai dan dibuat bermandikan darah dengan demikian kejamnya. Rekayasa politik dan militer – seperti biasa – selalu memojokkan umat Islam dengan cara-cara yang demikian joroknya.

Setiap menjelang Hari Raya Natal, aparat disuruh berjaga-jaga di setiap Gereja besar. Lalu siapa yang menjaga masjid-masjid di Ambon, tempat terjadinya pembantaian keji di Hari Raya Idul Fitri bertahun-tahun silam? Sebuah bom di Gereja yang nyaris tak melukai siapa pun rupanya lebih pantas diingat oleh ‘para pemenang’ di negeri ini daripada sebuah pembantaian yang menewaskan ratusan Muslim di masjid-masjid di tanah Maluku.

Ketika bicara soal nasionalisme, maka umat Islam seolah berada di kutub yang berlawanan.Padahal, umat Islamlah yang dahulu berjuang habis-habisan demi negeri ini, bersama dengan umat lainnya. Jika sekarang banyak orang yang diarahkan untuk membenci orang-orang yang dianggap ‘fundamentalis agama’, maka sejarah seolah telah menghapus kenyataan bahwa begitu banyaknya orang yang gugur membela negeri ini karena ia adalah seorang ‘Muslim fundamentalis’.Alim ulamalah yang telah menggerakkan umat Islam se-Indonesia ke medan jihad untuk mengusir penjajah. Akan tetapi, Islam tidak pernah dikait-kaitkan dengan nasionalisme. Begitu banyak pengacau ‘sekuler’ (yaitu Muslim dan Non-Muslim yang tidak taat pada agamanya) di negeri ini, namun yang disorot selalu umat Islam yang ingin menjalankan ajaran agamanya dengan baik.Sekian banyak koruptor yang melenyapkan triliunan rupiah dari negeri ini (sebagian besar tidak beragama Islam), namun yang digembar-gemborkan selalu masalah isu ‘jihad’. Sejarah telah menghapus fakta bahwa para pejuang di negeri ini bertempur sambil meneriakkan takbir, bukan yang lainnya. Tanpa orang-orang yang mereka sebut sebagai ‘fundamentalis’, tidak akan ada Indonesia yang berdaulat.

Bom Bali yang menewaskan sekian banyak warga Australia memang patut dikecam (dan memang telah dikecam oleh Yusuf al-Qaradhawi, bahkan oleh Ustadz Ba’asyir yang tetap dicap sebagai teroris oleh Australia, meskipun tak pernah ada buktinya), namun hendaknya orang tidak lupa bahwa warga kulit putih pendatang dari Eropa juga sudah membunuh ribuan warga Aborigin tanpa ampun. Sekian banyak orang tewas pada peristiwa runtuhnya WTC hendaknya tidak membuat kita lupa menghitung jumlah korban jiwa di Afghanistan dan Irak. Jika menyebut bom bunuh diri sebagai sebuah tindak kekejian, lantas celaan apa yang tepat untuk dialamatkan pada para sipir di penjara Abu Gharib dan Guantanamo?

Jika seseorang boleh disebut gila jika fanatik terhadap agamanya sendiri, mengapa tidak ada yang mencela seorang sekuler yang fanatik dengan kesekulerannya sendiri? Jika membunuh atas nama agama tidak dibenarkan, apakah membantai dengan kedok sekularisme bukan sebuah kesalahan?

Marilah belajar dari sejarah. Bukan hanya menghapal sejarah, namun juga menarik pelajaran dari sejarah.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

semoga bermanfaat untuk kita.

http://akmal.multiply.com/journal/item/488

Tokoh internasional: Kepemilikan Atas Sejarah : Episode Pendiskreditan Edward W. Said

assalaamu’alaikum wr. wb.

Edward W. Said, seorang cendekiawan Kristen Palestina yang dikenal luas karena aktifitasnya dalam mempromosikan perdamaian sekaligus menentang pendudukan Zionisme di tanah Palestina, pernah mengungkapkan cara-cara kampungan yang digunakan oleh musuh-musuh politiknya untuk mendiskreditkan namanya. Dikisahkan, pada akhir bulan Juni sampai awal Juli tahun 2000, ia mengadakan kunjungan keluarga pribadi ke Lebanon, sekalian memberikan dua kuliah umum di sana. Ia dan keluarganya merasa amat tertarik untuk mengunjungi daerah di Lebanon Selatan yang ketika itu baru saja dikosongkan setelah selama 22 tahun diduduki secara militer oleh kaum Zionis. Tidak banyak yang tahu bahwa tentara negara Yahudi telah berhasil diusir keluar dari sana tanpa banyak gembar-gembor oleh perlawanan rakyat Lebanon. Ini adalah hasil kerja tipikal dari jaringan pemberitaan internasional yang dikuasai oleh kaum Zionis.

Said dan keluarga menyempatkan diri pula mengunjungi bekas penjara Khaim yang terkenal karena kekejamannya, tempat 8.000 lebih manusia dipenjarakan dan disiksa karena menentang pendudukan. Setelah itu mereka menyempatkan pula berkunjung ke bekas pos perbatasan yang kini sudah ditinggalkan oleh pasukan Zionis, tempat orang-orang biasa melempar batu-batu kecil sebagai bentuk perayaan kebebasan ke arah seberang perbatasan yang masih dibentengi tembok tebal.

Dalam kunjungannya yang hanya kurang lebih 10 menit itulah Said mengikuti sebuah ‘kompetisi’ tak berhadiah dengan anak-anak muda di sana dengan melempar batu ke arah puing-puing. Tentu saja tak ada orang yang terluka, apalagi Yahudi yang sudah jauh-jauh menyingkir. Kurang lebih sama dengan bangsa Indonesia yang mempersiapkan bambu runcing sebagai upaya seremonial dalam mengenang perjuangan mengusir penjajah. Tidak ada yang boleh memberi cap ekstremis pada orang Indonesia yang membuat bambu runcing untuk hiasan pada perayaan tujuh belasan, sebagaimana juga tidak ada yang pantas memberi cap jelek pada orang Palestina atau Lebanon yang melempar batu-batu kecil ke arah dinding-dinding bekas benteng Zionis yang telah ditinggalkan. Akan tetapi, justru momen beberapa menit itulah yang tertangkap oleh kamera seorang wartawan, dan akhirnya dipergunakannya dengan cara yang amat tidak ksatria.

Dua hari kemudian, foto-foto Edward W. Said yang sedang melempar batu ke puing-puing yang tak ada penduduk dalam jarak bermil-mil itu muncul di koran-koran Zionis dan di seluruh dunia Barat.Said diberi gelar teroris penyambit batu, pria yang gila kekerasan, dan berbagai predikat lainnya yang tidak kalah menakjubkan.

Simaklah sekelumit kata-kata Edward W. Said sebagaimana dirangkum dalam buku “Bukan-Eropa : Freud dan Politik Identitas Timur Tengah” yang di Indonesia dipublikasikan oleh penerbit Marjin Kiri di bawah ini :

Mengesampingkan 22 tahun pengrusakan Israel atas Lebanon Selatan, penghancurannya atas seisi desa, pembunuhan ratusan warga sipil, pemakaian tentara bayaran untuk menjarah dan menghukum, penerapan metode-metode penahanan dan penyiksaan paling tak manusiawi di Khiam dan manapun yang patut dicela – mengesampingkan itu semua, propaganda Israel (dibantu dan bersekongkol dengan media Barat yang korup) memilih untuk menyoroti tindakan saya yang tak berbahaya, menggelembungkannya sampai ke proporsi yang teramat absurd dengan menggambarkan saya sebagai fanatikus keji yang bermaksud membunuhi Yahudi. Konteksnya dicabut, begitu pula situasinya, yakni bahwa saya cuma melempar kerikil, bahwa tak ada orang Israel satupun hadir, bahwa tak ada ancaman keselamatan atau luka fisik bagi siapapun. Yang lebih aneh lagi, kampanye bulat-bulat yang lagi-lagi hasil rekayasa digalang untuk mencoba membuat saya didepak dari universitas tempat saya mengajar selama 38 tahun. Artikel-artikel pers, komentar, surat makian, dan ancaman pembunuhan semuanya dipakai untuk mengintimidasi atau membungkam saya, termasuk oleh kolega-kolega saya yang mendadak jadi setia pada negara Israel.

Dua tahun sebelum itu, orang-orang pro-Zionis juga menyewa seorang pengacara Amerika-Israel untuk melakukan ‘riset’ sepuluh tahun pertama dalam kehidupan Said untuk ‘membuktikan’ bahwa meskipun ia lahir di Yerusalem, namun ia tak pernah benar-benar berada di sana. Ia berusaha membuktikan bahwa semua orang Palestina adalah pendusta dan tidak bisa dipercaya jika mengklaim tanah sengketa itu sebagai miliknya. Bagaimana pun, hanya satu sekian banyak jurnal yang ia dekati mau mempublikasikan artikelnya. Redaktur jurnal itu bahkan secara blak-blakan menyatakan bahwa ia mau mencetak sampah murahan bikinan preman sewaan ini semata-mata karena ingin mendiskreditkannya lantaran Said punya banyak sidang pembaca.

Pada kesempatan yang sama, Said juga menceritakan betapa kejinya kekuatan Zionisme Internasional mengadakan pencekalan terhadap kegiatan akademisnya. Pada akhir Juli 2000, ia dihubungi oleh Direktur Institut dan Museum Freud di Wina dan ditanya kesediannya untuk mengisi ceramah di sana pada bulan Mei 2001, dan Said langsung mengiyakan. Pada bulan Agustus 2000, ia menerima undangan secara resmi untuk acara tersebut. Perlu diingat bahwa Said adalah satu dari sekian banyak cendekiawan yang sudah lama meneliti pemikiran dan kehidupan Sigmund Freud, tokoh psikologi yang beragama Yahudi yang pada awalnya anti-Zionis, namun pada akhir hayatnya berubah pikiran karena melihatnya sebagai sebuah solusi masuk akal untuk melarikan diri dari gerakan-gerakan pemusnahan kaum Yahudi di Eropa (lagi-lagi sebuah indikasi bahwa gerakan anti-Yahudi sebenarnya tidak lain dari rekayasa kaum Zionis itu sendiri).

Pada tanggal 8 Februari, Said menerima surat dari Kepala Institut, yaitu seorang sosiolog Wina bernama Schulein, yang mengatakan bahwa dewan memutuskan untuk membatalkan ceramahnya lantara kondisi politik Timur Tengah dan ‘konsekuensinya’. Said langsung merespon surat tersebut dengan sebuah surat yang hanya berisikan satu baris berisikan pertanyaan ; bagaimana bisa sebuah ceramah tentang Freud di Wina ada kaitannya dengan kondisi politik di Timur Tengah?

Schulein tidak pernah menjawab pertanyaan Said, namun ia berani mengungkit-ungkit suatu hal yang tidak berani dikatakannya pada Said, yaitu dalam sebuah wawancara dengan majalah Times.Dalam wawancara tersebut, Schulein menyoroti foto tersohor Said ketika berkunjung ke Lebanon Selatan tersebut, seraya mengatakan bahwa foto itulah (bersama dengan kecaman Said yang terus-menerus atas pendudukan Zionisme) sebagai alasan pembatalan ceramahnya. Komentar Said dalam hal ini cukup gamblang :

Bahwa seorang akademisi terhormat bisa mengucapkan omong kosong macam itu, hal ini membutuhkan imajinasi. Tapi bahwa ia mengatakannya sekalipun Israel sedang mengepung dan tanpa ampun membunuhi rakyat Palestina saban harinya – ini tidak lain adalah kecelakaan.(Dikutip dari buku “Bukan-Eropa : Freud dan Politik Identitas Timur Tengah dengan sedikit perubahan yang – Insya Allah – tidak mengubah arti).

wassalaamu'alaikum wr. wb.

Powered By Blogger

Entri Populer