Cerita Saya

Foto saya
Selalu belajar dan mencari ilmu yang berguna/bermanfaat untuk pribadi dan masyarakat.

Rabu, 22 September 2010

Kepemilikan Atas Sejarah : Para 'Pemenang Sementara'

assalaamu’alaikum wr. wb.

Setiap rejim yang mendapatkan gelar ‘pemenang sementara’ memang selalu memaksakan sejarah sebagaimana yang dikehendakinya. Orang-orang Eropa tidak mau mengaku bersalah atas invasinya terhadap masyarakat Asia dan Afrika yang sebenarnya telah menerima kedatangan mereka dengan tangan terbuka.Kaum Zionis berusaha menutup-nutupi kenyataan bahwa kemalangan mereka di Eropa dahulu sebenarnya tak ada hubungannya dengan rakyat Palestina yang kini mereka tindas. Mereka juga menutup semua celah agar rahasia konspirasi antara Nazi dan Zionisme Internasional tidak terbuka lebar.

Di Mesir, musuh rejim pemerintah yang paling utama adalah Ikhwanul Muslimin. Ribuan aktifisnya ditangkap, dipenjarakan, dan entah apa yang mereka alami di penjara-penjara yang kejamnya bukan main itu. Mereka diperlakukan bagai binatang ternak yang tidak tahu diri hendak mengkudeta pemiliknya. Padahal, Ikhwanul Musliminlah yang dahulu mempelopori perlawanan terhadap penjajah (yaitu Inggris) dan melawan Zionis yang mengancam semua negara di Timur Tengah. Sebaliknya, orang-orang yang kini menuduh mereka sebagai gerakan sektarian, fundamentalis, fanatik, justru tidak memiliki andil apa-apa dalam membebaskan negeri Mesir.

Apa yang terjadi setelah Turki memutuskan untuk menjadi negara sekuler? Apakah kedudukannya menjadi lebih terhormat di mata dunia? Apakah martabatnya semakin menjulang tinggi? Adakah negeri malang itu diterima di tengah-tengah dunia modern yang identik dengan Barat?Kenyataannya, hingga kini ia masih ‘diterima setengah hati’ oleh bangsa-bangsa Eropa, dan diperlakukan sebagai ‘negeri kelas tiga’. Tidak ada kehormatan bagi bangsa yang mengekor dan tunduk dengan segenap kerendahan diri di hadapan peradaban lain. Turki hanya bermartabat ketika Islam memerintah. Sayangnya, guru-guru sejarah di Indonesia masih kerap kali menyebut Mustafa Kemal (yang memberi dirinya sendiri gelar ‘Attaturk’ yang artinya “Bapak Turki”) sebagai tokoh reformis di negerinya. Wajar, karena untuk sementara ini rejim sekuler memang masih menjadi ‘pemenang’ di Turki.

Di negeri kita, ketika bicara soal terorisme di Poso, tiba-tiba saja semua perhatian tertuju pada sebuah pesantren. Banyak yang sudah lupa sama sekali bahwa justru pihak pesantrenlah yang dahulu disembelih oleh para teroris yang sebenarnya, dibantai dan dibuat bermandikan darah dengan demikian kejamnya. Rekayasa politik dan militer – seperti biasa – selalu memojokkan umat Islam dengan cara-cara yang demikian joroknya.

Setiap menjelang Hari Raya Natal, aparat disuruh berjaga-jaga di setiap Gereja besar. Lalu siapa yang menjaga masjid-masjid di Ambon, tempat terjadinya pembantaian keji di Hari Raya Idul Fitri bertahun-tahun silam? Sebuah bom di Gereja yang nyaris tak melukai siapa pun rupanya lebih pantas diingat oleh ‘para pemenang’ di negeri ini daripada sebuah pembantaian yang menewaskan ratusan Muslim di masjid-masjid di tanah Maluku.

Ketika bicara soal nasionalisme, maka umat Islam seolah berada di kutub yang berlawanan.Padahal, umat Islamlah yang dahulu berjuang habis-habisan demi negeri ini, bersama dengan umat lainnya. Jika sekarang banyak orang yang diarahkan untuk membenci orang-orang yang dianggap ‘fundamentalis agama’, maka sejarah seolah telah menghapus kenyataan bahwa begitu banyaknya orang yang gugur membela negeri ini karena ia adalah seorang ‘Muslim fundamentalis’.Alim ulamalah yang telah menggerakkan umat Islam se-Indonesia ke medan jihad untuk mengusir penjajah. Akan tetapi, Islam tidak pernah dikait-kaitkan dengan nasionalisme. Begitu banyak pengacau ‘sekuler’ (yaitu Muslim dan Non-Muslim yang tidak taat pada agamanya) di negeri ini, namun yang disorot selalu umat Islam yang ingin menjalankan ajaran agamanya dengan baik.Sekian banyak koruptor yang melenyapkan triliunan rupiah dari negeri ini (sebagian besar tidak beragama Islam), namun yang digembar-gemborkan selalu masalah isu ‘jihad’. Sejarah telah menghapus fakta bahwa para pejuang di negeri ini bertempur sambil meneriakkan takbir, bukan yang lainnya. Tanpa orang-orang yang mereka sebut sebagai ‘fundamentalis’, tidak akan ada Indonesia yang berdaulat.

Bom Bali yang menewaskan sekian banyak warga Australia memang patut dikecam (dan memang telah dikecam oleh Yusuf al-Qaradhawi, bahkan oleh Ustadz Ba’asyir yang tetap dicap sebagai teroris oleh Australia, meskipun tak pernah ada buktinya), namun hendaknya orang tidak lupa bahwa warga kulit putih pendatang dari Eropa juga sudah membunuh ribuan warga Aborigin tanpa ampun. Sekian banyak orang tewas pada peristiwa runtuhnya WTC hendaknya tidak membuat kita lupa menghitung jumlah korban jiwa di Afghanistan dan Irak. Jika menyebut bom bunuh diri sebagai sebuah tindak kekejian, lantas celaan apa yang tepat untuk dialamatkan pada para sipir di penjara Abu Gharib dan Guantanamo?

Jika seseorang boleh disebut gila jika fanatik terhadap agamanya sendiri, mengapa tidak ada yang mencela seorang sekuler yang fanatik dengan kesekulerannya sendiri? Jika membunuh atas nama agama tidak dibenarkan, apakah membantai dengan kedok sekularisme bukan sebuah kesalahan?

Marilah belajar dari sejarah. Bukan hanya menghapal sejarah, namun juga menarik pelajaran dari sejarah.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

semoga bermanfaat untuk kita.

http://akmal.multiply.com/journal/item/488

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar tidak mengandung unsur PORNOGRAFI dan SARA

Powered By Blogger

Entri Populer