Cerita Saya

Foto saya
Selalu belajar dan mencari ilmu yang berguna/bermanfaat untuk pribadi dan masyarakat.

Rabu, 15 April 2009

Cerita Poligami

Bahaya Menentang Poligami

Syari`at Islam adalah perkara yang harus menjadi keyakinan mutlak bagi seorang muslim. Mengingkari sebagian atau bahkan keseluruhan dari syari`at Islam, mengakibatkan pelakunya terancam kufur dan batal keislamannya. Ini harus kita fahami dan menjadi dasar pandang kita dalam memahami segala permasalahan di dalam agama ini. Dan termasuk ketika kita berbicara tentang poligami, maka sesungguhnya kita sedang berbicara tentang salah satu bagian dari syari`at Islam, sebab poligami diakui ataupun tidak adalah termasuk perkara yang diatur di dalam Islam.
Polemik Seputar Hukum Poligami
Allah Ta`ala berfirman di dalam surat An Nisaa` (3):
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Para ulama diantaranya Asy Syaikh Ibn Baaz Rahimahullah menjelaskan bahwa ayat diatas menunjukkan bahwa hukum asal pernikahan bagi laki-laki adalah poligami bagi laki-laki yang mampu dan tidak ada kekhawatiran untuk tidak terjerumus kedalam kedzhaliman. Sebab di dalam ayat tersebut disebutkan perintah menikah itu dengan perintah menikahi “dua, tiga atau empat” wanita. Ini adalah kondisi normal pada laki-laki. Adapun bila laki-laki itu berada di dalam kondisi abnormal (tidak normal) yakni khawatir tidak bisa berbuat adil (adil dalam hal yang mampu yakni giliran menginap dan nafkah, adapun dalam hal cinta dan kehangatan, maka tidak dituntut untuk berlaku adil karena khusus untuk masalah hati, Allah-lah yang membolak-balikkan dan mengaturnya, bahkan Rasulullah shalallahu `Alayhi Wasallam sendiri mengatakan bahwa beliau lebih cenderung kepada `Aisyah daripada istri beliau yang lainnya) kepada istri-istrinya, maka dilarang menikah lebih dari satu, sebab bila laki-laki abnormal bertindak sebagai pria normal, yakni menikah lebih dari satu, maka akan menimbulkan kerusakan yakni ia akan terjatuh kedalam perbuatan dzhalim. Maka sesungguhnya Allah menciptakan bagi laki-laki itu membutuhkan lebih dari satu istri dan Allah menciptakan wanita itu mencukupkan diri dengan satu suami. Demikianlah ketentuan dari Allah Ta`ala kepada masing-masing pria dan wanita dan kita dituntut bersabar di dalam menjalani ketentuan tersebut. Bahkan di dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam mengancam orang yang tidak menyukai perihidup Nabi Shalallahu `Alayhi Wasallam ini:
“Mengapakah orang-orang ada satu di antaranya mengatakan, “Adapun saya akan selalu berpuasa tidak akan berbuka,” dan ada lainnya mengatakan, “Adapun saya akan selalu bangun malam tidak akan tidur,” dan orang lainnya berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita,” dan yang lainnya mengatakan, “Saya tidak akan makan daging.” Tetapi saya sendiri (Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam) berpuasa dan berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi para wanita, makan daging, maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku (perihidupku ini), maka bukanlah ia termasuk golonganku.” H.R. Bukhari dan Muslim di dalam Shahih keduanya.
Pemahaman dan Pengamalan Para Shahabat Nabi
Allah dan RasulNya mengajak kita menafsirkan agama Islam dengan penafsiran yang baku dan standar yakni pemahaman para shahabat nabi Shalallahu `Alalayhi Wasallam, sebab para shahabat nabi adalah orang yang paling faham tentang agama ini dibandingkan dengan generasi sesudahnya dan mustahil agama ini sampai kepada kita kecuali melalui para shahabat nabi. Dalam hal ini Al Imam Al Bukhary meriwayatkan di dalam Shahihnya bahwa ketika Ibnu Abbaas mendapati Sa`ied Bin Jubair, Ibnu Abbaas mengatakan kepada Sa`ied Bin Jubair seorang tabi`in:”apakah kamu sudah nikah?” kata Sa`id:”belum” Ibnu Abbas:”menikahlah, karena sesungguhnya orang yang terbaik di ummat ini ialah yang paling banyak istrinya”. Kemudian Ibnu hajar Al `Atsqalaany mengomentari riwayat ini:”coba kita lihat, orang-orang terbaik dari ummat ini, Rasulullah Shalallahu `layhi Wasallam adalah orang yang paling banyak istrinya diantara kita, kemudian Abu Bakar Ash Shiddiiq adalah orang yang paling banyak istrinya setelah Rasulullah Shalallahu `Alalyhi Wasallam, kemudian setelah itu Umar Ibnul Khaththaab, kemudian Utsman Ibn Affaan, kemudian `Ali Ibn Abi Thaalib sepeninggal Fathimah Bintu Rasulillah Shalallahu `Alalyhi Wasallam.” Ini adalah pemahaman dan pengamalan para sahabat nabi tentang keutamaan berpoligami. Maka sangat lucu kalau ada orang yang mengatakan bahwa poligami itu haram atau tidak disyari`atkan sementara orang-orang terbaik dalam ummat ini (Islam) yakni Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam dan para shahabatnya melakukannya.
Poligami, Sunnah yang Ditinggalkan
Setelah kita memahami bahwa poligami merupakan sunnah (prilaku hidup) orang-orang terbaik di muka bumi ini yakni Nabi Shalallahu `Alayhi Wasallam dan para shahabatnya, maka bila kita melihat kepada kenyataan sekarang, kita akan dapati bahwa poligami itu merupakan sunnah yang telah ditinggalkan (assunnah al mahjuurah). Sedemikian asingnya amalan ini, hingga sampai pada tingkat mayoritas orang menilai jelek orang yang melakukannya (berpoligami) dan mengejek mereka dengan sebutan nafsu besar, kedzhaliman, selingkuh dan ucapan-ucapan yang jelek lainnya.
Manfaat Poligami
Manfaat poligami sesungguhnya bukan hanya dapat dirasakan bagi laki-laki, namun juga bagi wanita.
Bagi Laki-laki
Berpoligami dengan tujuan menyalurkan syahwat, ini lebih utama lagi. Karena didasari kekhawatiran akan terjatuh kepada yang haram. Jejaka yang normal pasti memiliki rasa penasaran kepada perempuan, biasanya standarnya masih rendah, yakni asal wanita. Begitu dia menikah, maka rasa penasaran kepada perempuan itupun tertunaikan dan akhirnya dengan menikah itu dapat menahan pandangannya dari yang haram. Namun terkadang rasa penasaran itu masih tetap muncul lagi. Sehingga kadang muncul pertanyaan di dalam dirinya, apakah perempuan lain berbeda rasanya dengan yang ia miliki?, maka ketika penasaran itu muncul, ia diberi peluang oleh Islam untuk menikahi istri ke-2. Setelah menikah untuk ke-dua kalinya, rasa penasaran itupun tertunaikan dan ternyata ia merasakan perempuan itu kurang lebih rasanya sama. Sehingga dengan pengalaman yang demikian itu menjadikan ia lebih kuat kemampuannya untuk menundukkan pandangan dari yang haram. Bila rasa penasaran dan syahwat kepada perempuan itu ternyata masih demikian deras mengalir di dalam dirinya, maka ia masih diberi kesempatan untuk istri ke-3 dan terakhir yang ke-4. Maka seseorang yang berpoligami akan memiliki benteng berlapis yang kokoh yang akan melindungi dia dari dahsyatnya salah satu fitnah terbesar di dunia ini yakni fitnah syahwat.
Bagi Wanita
Suatu hal yang manusiawi dan tidak bisa dipungkiri, bahwa ketika dimadu, seorang wanita pasti merasakan kecewa, keberatan dan sakit hati. Hal ini tidak jauh berbeda dengan laki-laki, tatkala Allah ta`ala mewajibkan kaum laki-laki untuk qital (jihad dalam bentuk perang/membunuh), maka kaum laki-lakipun sebenarnya tidak senang bahkan membenci amalan tersebut. Isi hati kaum laki-laki ini dibongkar dan diakui sendiri oleh Allah Ta`ala didalam surat Al Baqarah 216:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Namun demikian itulah syari`at Allah. Dimana kita dituntut untuk menundukkan segala bentuk hawa nafsu, suka dan tidak suka, serta kepuasan dan kekecewaan kita itu untuk dikontrol oleh syari`at Allah. Hal itu konsekwensi logis terhadap pengakuan keimanan kita kepada Allah Ta`ala. Makanya Allah Ta`ala menegaskan bahwa belum tentu sesuatu yang kita benci itu jelek bagi kita dan sebaliknya belum tentu yang kita sukai itu baik bagi kita, sebab hanya Allah-lah satu-satunya pihak yang paling mengetahui baik buruknya sesuatu bagi hambanya.
Dalam hal ini ujian semacam itu dialami oleh kaum wanita dalam bentuk syari`at poligami. Dimana perasaan dan naluri wanita tidak menyukai amalan tersebut. Namun justru disinilah letak ujian bagi keimanan seorang wanita mukmin. Kekecewaan wanita kepada suaminya yang memadunya bila disalurkan kepada sunnah, yakni menyikapinya dengan ikhlash dan sabar menghadapai ketentuan Allah atas dirinya itu, maka akan meningkatkan derajatnya menjadi khairun nisa` (wanita shalihah), akan tetapi bila kekecewaan itu disalurkan kepada hawa nafsu syaithaniyyah yakni lepas dari kontrol agama dalam meluapkan kekecewaan tersebut dan semata-mata mengikuti naluri kewanitaannya, maka sikap tersebut akan menghancurkan hidupnya dan akan menyebabkan perceraian serta malapetaka dalam hidupnya.
Tentang khairun Nisa`, Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam bersabda:
“Dan di antara kebahagiaan adalah wanita shalihah, engkau memandangnya lalu engkau kagum dengannya, dan engkau pergi daripadanya tetapi engkau merasa aman dengan dirinya dan hartamu. Dan di antara kesengsaraan adalah wanita yang apabila engkau memandangnya engkau merasa enggan, lalu dia mengungkapkan kata-kata kotor kepadamu, dan jika engkau pergi daripadanya engkau tidak merasa aman atas dirinya dan hartamu” Hadits riwayat Ibnu Hibban dan lainnya, dalam As-Silsilah Ash- Shahihah, hadits no. 282
Al imam As Sindi dalam menjelaskan hadits ini mengatakan: pengertian “bila dipandang engkau kagum” ini adalah di dalam akhlaqnya (selalu senyum, malayani suaminya dengan kata-kata yang indah dan sebagainya), bentuk tubuhnya (menjaga bentuk tubuh seperti yang disenangi suaminya, bersolek dan sebagainya) dan pakaiannya (berpakaian dengan yang paling disenangi suaminya agar suaminya jangan memandang perempuan-perempuan seksi yang lainnya yang haram baginya dan sebagainya).”
Diantara hikmah Allah adalah menciptakan kecemburuan di balik cinta. Kadang-kadang suami istri tidak menyadari bahwa keduanya telah dijalin cinta dan rasa saling membutuhkan. Dan setelah suaminya meninggal dunia atau menikah lagi, baru ia sadari bahwa ternyata diantara keduanya telah terjalin cinta, sehingga munculah rasa kehilangan, cemburu dan kecewa. Maka ketika ia kecewa suaminya menikah lagi, namun ia menyalurkannya kepada tuntunan sunnah (Islam), yakni mencoba bersabar dan bahkan bersiap-siap bersaing diantara istri-istri suaminya yang lain untuk berlomba-lomba mendapatkan keridhaan suaminya dengan cara memperbaiki akhlaq, bentuk tubuh dan pakaiannya seperti yang diinginkan suaminya, yang tentunya dengan adanya kompetisi seperti ini, upaya para istri mendapatkan ridho suami akan lebih seru karena ada saingannya dan tersalur pada persaingan yang sehat, tentu sikap yang seperti ini menjadikan suaminya akan lebih mencintai istri paling semangat merebut ridha sang suami tersebut. Sikap sabar dan semangat inilah yang akan mengangkat derajat wanita tersebut kepada derajat khairun Nisa` sebagaimana yang didefinisikan oleh Al Imam As Sinndi diatas. Adapun bila istri yang pertama itu meyalurkan kekecewaannya kepada hawa nafsu, maka rumah tangga itupun akan rusak dan iapun akan melakukan tindakan-tindakan yang haram yang melanggar sunnah Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam, bahkan akan digiring oleh syaithan untuk benci kepada sunnah Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam tersebut. Dan ketika seseorang membenci salah satu sunnah Rasulullah shalallahu `Alayhi Wasallam yang berarti juga membenci salah satu syari`at Islam, maka ia terancam batal keislamannya dan ini tentu sebuah malapetaka yang amat besar. Na`udzubillah Min Dzaalik.
Beberapa Subhat (Kerancuan)
Ada banyak syubhat (kerancuan pemahaman) yang dilontarkan seputar masalah ini. Diantaranya adalah pertanyaan:”memang poligami itu sunnah, tapi mengapa hanya itu saja yang dipikirkan, bukankah masih banyak sunnah-sunnah yang lainnya? Maka jawabannya adalah sabda Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam: ”
…Dan hati-hatilah engkau dari urusan keumuman masyarakat. Karena hidup di tengah-tengah mereka itu adalah Ayyamush Shabr (hari-hari kesabaran). Orang yang berhasil sabar di kalangan mereka dalam terus menempuh kebenaran, adalah seperti orang yang sedang memegang bara api. Dan orang yang terus beramal (dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah) di tengah masyarakat demikian, adalah seperti orang yang mendapat pahala lima puluh kali lipat dari amalan kalian (yakni para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ).” (HR. Abu Dawud dalam Sunan nya hadits ke 4341, dan Tirmidzi dalam Sunan nya hadits ke 3058, dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani).
Hadits diatas menerangkan kepada kita tentang akan tibanya masa keterasingan Islam. Dan masa-masa itu diistilahkan oleh Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam dengan ayyamush shabr. Dan pada saat itu, menghidupkan sunnah yang telah mati yakni yang telah ditinggalkan orang, merupakan amalan yang agung, karena demikian asingnya suatu sunnah tersebut serta demikian sulitnya mengamalkan sunnah tersebut sehingga Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam menggambarkan orang yang beramal dengan sunnah itu ibarat sedang menggenggam bara api karena saking berat dan sulitnya mengamalkannya. Sehingga semakin sunnah itu ditinggalkan orang, atau bahkan sampai pada tingkat dipandang negatif, maka semakin tinggi nilai dan pahala amalan tersebut, sampai digambarkan oleh Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam setara dengan nilai pahala amalan 50 orang shahabat, dan termasuk ke dalam Assunnah al Mahjurah (sunnah yang ditinggalkan) ini ialah poligami (ta`addud). Tentu mengamalkan amalan ini lebih tinggi nilainya daripada shalat malam dan amalan-amalan sunnah lainnya. Sementara itu, Hidup, waktu dan kemampuan kita serba terbatas, sehingga kita perlu mengamalkan amalan yang sedikit tapi nilai pahalanya berlipat-lipat ganda di sisi Allah Ta`ala, diantaranya adalah amalan poligami ini. Selain itu Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam juga pernah bersabda: “Sesungguhnya besarnya pahala itu beserta besarnya malapetaka. (HSR. At-Tirmidzi , Ibnu Majah dan lain-lainnya dari Anas bin Malik radliyallahu `anhu. Maka dalam hal ini para pria yang ingin berpologami harus siap dan sabar dalam menghadapi kebodohan dan kemarahan perempuan yang sangat mungkin muncul sebagai konsekwensi ketika mengamalkan sunnah ini, dan berdoa kepada Allah agar istrinya sadar dengan kenyataan bahwa laki-laki memang berbeda dengan perempuan. Allah berfirman di dalam surat Al baqarah 228:
“Dan bagi laki-laki (suami), mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.”
Demikianlan sesungguhnya syari`at poligami ini pada saat-saat ini seakan-akan menjadi ujian yang sangat berat terhadap kekuatan iman seorang mukmin khususnya mukminah, dimana di dalam menghadapi ujian ini ada yang sukses yakni mereka yang mampu menyalurkan kekecewaannya kepada sunnah (tuntunan Islam), dan ada pula yang gagal yakni mereka yang menyalurkan kekecewaannya terhadap poligami ini kepada hawa nafsu syaithaniyyah yang akhirnya berujung kepada kebencian kepada sunnah Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam ini atau bahkan kekufuran dan batalnya keislamannya dengan sebab mengingkari adanya syari`at poligami ini. Na`udzubillahi Min dzalik, hanya mereka yang dirahmati Allah-lah yang akan dimudahkan melalui ujian ini dengan sukses. Wallahu A`lamu Bish Shawaab.

Ditulis dalam Manhaj
Powered By Blogger

Entri Populer